Minggu, 19 Februari 2012

Mereka bilang, aku Tuhan


Padahal ketika aku hidup, aku pernah berpesan kepada seluruh saudara, teman dan juga tetanggaku; Jika aku mati, aku tidak mau mayatku dimandikan. Aku juga tidak mau mayatku dikubur di dalam tanah. Hanya itu saja pesanku yang paling utama, selebihnya mayatku terserah mau diapakan saja boleh. Mayatku mau dibuang ke laut dan dimakan hiu, atau dilemparkan ke rawa untuk makanan buaya, atau ditinggalkan begitu saja, dan menjadi rebutan anjing, aku sama sekali tidak keberatan. Aku tidak peduli. Lagipula aku sudah mati, jadi aku tidak akan merasakan sakit.
Tapi ketika aku benar-benar mati, menurutku sih begitu, karena aku tidak mampu menggerakkan bagian anggota tubuhku sejengkal pun. Ternyata pesanku ketika aku masih hidup tidak dilaksanakan orang-orang yang sudah aku berikan kepercayaan. Aku tidak tahu, apakah mereka lupa, atau sengaja berbuat seperti itu kepadaku. Aku pun ditelanjangi dan ditonton banyak orang. Mereka mulai memandikanku, menyabuni dan keramas rambutku. Mulut, gigi, wajah, punggung, telinga, dan bagian-bagian lain di tubuhku dibersihkan dan disikat. Bahkan lubang anus dikorek dan dikeluarkan sisa kotorannya. Pokoknya semua anggota tubuhku dibersihkan tanpa terkecuali, mungkin lebih mengkilat daripada porselin.
“Percuma kalian memandikan tubuhku!” Aku berteriak, “Meskipun kalian habiskan sabun dan sampo satu kontainer sekalipun, tubuhku tetap tidak mungkin wangi. Aku tidak akan mungkin bersih. Percuma!”
Setelah mereka selesai memandikan tubuhku. Mereka juga mengenakan celana, pakaian, jas, dasi pada tubuhku. Dan kakiku pun lengkap pula dengan sepatu hitam mengkilat. Padahal selama hidupku aku tidak pernah mengenakan sepatu, atau berpakaian seperti ini. Ternyata yang mereka lakukan tidak sampai situ saja, mereka bahkan merias wajahku.
Sumpah panasnya minta ampun.
Kemudian mereka menidurkanku di dalam peti. Mereka duduk memandang ke arahku, dan memperlihatkan wajahnya yang pucat dan sedih. Aku sendiri tidak tahu kenapa mereka memperlihatkan wajah seperti itu kepadaku. Semula aku bergembira dengan kematianku ini, karena aku sudah terbebas dari hidup yang telah memenjarakan jiwaku. Tapi setelah melihat wajah orang-orang di sekitarku yang sedih itu, aku jadi ikut sedih juga.
Tidak berapa lama kemudian, datang seorang laki-laki membawa buku. Kemudian semua orang yang ada di ruangan ini mengikuti semua yang diucapkan oleh laki-laki yang baru datang itu. Mereka bersama-sama memanjatkan doa untukku.
“Jangan kalian doakan aku!” Aku kembali berteriak lebih keras dari sebelumnya. “Sekalipun kalian panggil orang yang paling suci di jagad ini, semua akan percuma! Semua tidak akan merubah apa-apa! Aku sudah mati!”
Tapi mereka terus saja memanjatkan doa tiada henti, dan suara mereka sangat berisik sekali. Padahal aku sudah mulai mengantuk, maklum biasanya kalau hari siang seperti ini aku selalu tidur siang. Tapi karena suara mereka yang terlampau sangat keras dan sangat berisik, membuat konsentrasi tidurku menjadi buyar.
Kurang lebih sekitar satu jam kemudian, mereka mengangkat tubuhku secara beramai-ramai dan meletakannya ke dalam mobil putih. Asyik, aku sekarang bisa tidur dengan tenang, pikirku. Namun ketika mobil itu mulai bergerak, seketika gendang telingaku serasa pecah dan ditusuk-tusuk paku, terdengar bunyi sirine yang sangat keras sekali.
Aku pun tidak jadi tidur. “Hidup sudah menyakitkan, dan ternyata mati juga lebih menyakitkan,” kataku geram. “Hufffhh, sial…”
Ternyata mereka membawaku keliling kota. Dan beberapa mobil dan kendaraan bermotor mengikuti di belakang, sepert pawai. Aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Waktu aku masih hidup saja, aku tidak mau pergi ke kota, kenapa mereka sekarang membawaku ke kota. Apa hebatnya di kota? Lagipula, aku kan sudah mati. Kenapa mereka membuatku senang baru sekarang? Kenapa tidak ketika aku masih hidup? Aku benar-benar tidak tahu, apa maksud mereka berbuat seperti ini kepadaku.
Mobil berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang. Kemudian beberapa orang kembali mengangkat tubuhku. “Aku mau kalian bawa ke mana?” tanyaku pada orang-orang yang mengerumuniku. Tapi mereka cuek saja, mereka sama sekali tidak menggubris pertanyaanku.
“Hey tunggu sebentar!” kataku, saat melihat batu nisan. Tapi mereka tetap saja memasukanku ke dalam tanah yang sudah digali. “Jangan kalian kubur aku di dalam tanah! Aku mohon jangan lakukan padaku, JANGAN!” Aku berteriak sekuat tenaga. Tapi mereka tetap saja menimbun tubuhku dengan tanah. Aku berusaha berteriak lagi, lagi, dan lagi… Tapi semua usahaku tidak ada hasilnya. Aku putus-asa, karena mereka sama sekali tidak menggubris, atau mendengar suaraku. Mungkin karena aku sudah mati kali ya?
Tidak ada yang bisa kulakukan lagi, selain diam dan pasrah menjalani kesendirianku yang panjang di dalam liang kubur. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini; sebelum aku mati, aku akan lari ke dalam hutan dan bersembunyi. Paling tidak, aku tidak mau mati di depan orang yang mengenalku. Sekarang apa enaknya sendiri di dalam gelap dan tertimbun tanah. Tidak ada sesuatu yang menarik apa pun yang dapat kulihat, yang ada hanya hitam, hitam, hitam… sangat gelap… dan sangat sunyi.
Hari pertama. Aku hanya bisa ngomel-ngomel sendiri di dalam liang kubur. Aku tahu meskipun yang kulakukan itu tidak ada gunanya dan percuma, tapi entah kenapa aku tetap melakukannya. Aku juga tidak bisa tidur, padahal aku sangat mengantuk sekali.
Hari berikutnya. Aku mulai gelisah dan mulai merasakan udara panas, dan pengap. Aku jadi tidak betah untuk berlama-lama tinggal di dalam liang kubur. Pasti karena pakaian sialan ini, pikirku. Lagipula, aku kan tidak bertemu dengan siapa-siapa, kenapa aku harus dikenakan pakaian rapi seperti ini segala. Orang-orang bodoh! Aku terus mengomel-ngomel sendiri, menumpahkan kekesalanku kepada orang-orang yang telah menguburku.
Detik demi demi detik yang berlalu, aku mulai tidak betah tinggal berlama-lama di dalam liang kubur. Hal utama yang paling membuatku tidak betah, dikarenakan oleh belatung yang mulai datang dan menyusup lewat sela peti kayu. Suaranya sangat berisik dan menyayat hati.
Dalam sekejap saja gerombolan belatung itu sudah berhasil masuk ke dalam peti, mereka mulai mengerumuniku. Mula-mula aku iseng mencoba untuk menggerakkan tanganku untuk menepis seekor belatung di pipiku, tapi alangkah kagetnya aku, ternyata aku berhasil! Tanganku bisa bergerak lagi. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi, aku mulai menepis belatung-belatung yang mengerumuni tubuhku.
Hari ketiga. Aku semakin dibuat kewalahan oleh kedatangan belatung-belatung yang mengganggu istirahatku. Seakan-akan setiap detik jumlah mereka semakin bertambah banyak, mereka berbondong-bondong menyerbu tubuhku dari setiap sudut. Mereka mencongkel dan memaksa masuk ke dalam tubuhku, melalui lubang pori-pori. Semakin aku berusaha menepisnya, mereka malah semakin gencar melancarkan serangannya. Aku diam, tapi serangan mereka malah semakin beringas. Aku jadi semakin tidak tahan dibuatnya, aku pun berontak sekuat tenaga. Aku gedor peti sempit yang telah menyekap tubuhku. Tanganku menghantam. Kakiku menendang. Aku gerakan tangan dan kaki dengan mengerahkan ke segala penjuru arah, dengan seluruh tenagaku yang tersisa.
Akhirnya aku berhasil keluar dari liang kubur yang telah menyekap-ku.
Sesampainya aku di atas, —maksudku, kakiku sudah kembali berpijak di atas tanah. Suasana di sekitarku sepi, tak ada seorang pun kulihat, ada hanyalah batu-batu nisan berdiri tegak di antara hamparan rumput hijau. Kupandangi diriku sendiri; celana dan pakaian yang kukenakan sudah hancur tidak karuan dan sangat compang-camping. Sepatu yang kukenakan pun hanya tinggal sebelah kiri saja, dan itu pun sudah robek bagian bawahnya. Sepatu itu lalu kulepas dari kaki, dan kubuang begitu saja.
Aku sama sekali tidak menyesali dengan keadaanku yang sekarang ini, malah aku senang-senang saja. Karena selama hidupku, aku pun berpenampilan seperti sekarang ini, bahkan kadang malah lebih parah lagi. Maklum aku hanya orang miskin, jadi yang kukenakan pun seadanya.
Sekarang aku sedang marah besar. Tapi kemarahanku bukan karena penampilanku yang compang-camping ini, sama sekali bukan itu! Melainkan aku marah dikarenakan pesanku jika aku mati tidak digubris. Sejujurnya untuk soal perbuatan mereka yang sudah memandikanku, aku sungguh masih bisa memaafkan, tapi soal aku dikubur di dalam tanah, ini benar-benar tidak bisa dimaafkan. Mereka pikir aku ini barang paket? Mesti dikemas dan dimasukan ke dalam peti. Bukan apa-apa, dan bukan sakit yang  menjadi akar permasalahan, kalau hanya sakit saja aku sudah terbiasa menghadapinya. Yang paling membuatku marah, dikarenakan selama hidup aku paling benci digelitik oleh siapapun, tanpa terkecuali, termasuk binatang belatung seperti yang baru saja kualami.
Aku pun segera meninggalkan makam. Aku melangkah pulang dengan segunung api kemarahan. Aku ingin melampiaskan kemarahanku kepada mereka yang tidak menggubris pesanku, dan telah menguburku.
Tapi, pada saat aku sampai di gerbang gapura kampung halamanku, kemarahanku seperti api yang disiram air. Kemudian muncul asap yang membubung ke udara, lalu lenyap entah ke mana.
Orang-orang melihatku dengan tatapan tak percaya, mereka terdiam lama seperti patung hidup. Seandainya saja saat ini ada cermin, pasti aku akan segera melihat diriku sendiri, mungkin ada sesuatu yang aneh pada diriku. Tapi setelah kuperhatikan mereka satu per satu, tatapan mereka sepertinya lain. Mereka menatapku dengan, —terpesona. Maaf lho ini, soalnya menurutku sih begitu.
“Tuhan! Tuhan telah datang!” Orang-orang berteriak histeris. Lalu mereka semua yang ada di hadapanku duduk bersimpuh di tanah dan menyembahku.
Pada saat itu aku diam dan kebingungan. Secara spontan aku pun menoleh ke kiri dan ke kanan, ke belakangku juga. Tapi karena di sekitarku tidak ada siapa-siapa, aku jadi semakin bingung, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Karena mereka tetap berteriak dan menyembahku, aku akhirnya memberanikan diri untuk tersenyum kecil. Dan secara tiba-tiba, wajah mereka yang semula tampak pucat ketakutan, berangsur-angsur mulai normal, mereka pun menyambutku dengan tersenyum juga.
Mereka lalu membawaku ke sebuah rumah yang paling besar yang ada di kampung ini. Padahal dulu rumahku letaknya masih jauh di belakang kampung ini. Bahkan rumahku pun sangat kecil, hanya terbuat bambu, dan itupun warisan orang-tuaku. Terakhir kali aku melihat rumahku, bentuknya sudah tidak seperti rumah pada umumnya. Rumahku tidak berdiri tegak, melainkan sedikit doyong ke kanan. Apabila dua puluh enam orang meniup secara bersama-sama, aku yakin rumahku pasti akan ambruk.
Mereka mulai membawakanku kain, pakaian, makanan, dan apa saja yang mereka miliki, dan semuanya diserahkan kepadaku secara cuma-cuma. Mereka juga menyediakan seluruh keperluanku. Setiap kali mereka datang, sekitar tiga meter dari tempatku duduk, mereka sudah berjalan jongkok dan mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali, menyembahku. Lalu mereka pun tak segan-segan mencium kakiku.
Semula aku sangat bingung dan risih. Karena sepanjang hidupku hingga sampai detik ini, aku belum pernah sekalipun memimpikan ada orang-orang mencium kakiku. Tapi lama-lama aku mulai belajar membiasakan diri dengan menerima keadaanku yang sekarang kualami ini. Bahkan suatu kali aku pernah iseng untuk menyentuh kepala mereka yang sedang mencium kakiku, tapi anehnya mereka malah tampak sangat senang dan gembira. Lalu mereka pun mulai berdiri berderet-deret dalam antrian panjang, seperti gerbong kereta, hanya untuk mencium kakiku, dan minta kusentuh kepalanya.
Sungguh, orang-orang bodoh! Kenapa kalian pikir aku Tuhan! Apa kalian tidak punya pikiran lain? Kalian seharusnya sadar, kalau kalian itu hanya manusia biasa. Dosa kalian itu banyak, jadi mana mungkin kalian bisa melihat Tuhan di dunia ini? Kalau kalian dewasa, tentunya kalian akan binasa bertatapan langsung dengan Tuhan. Orang-orang tolol! Kalau pikiran kalian sehat dan waras, tentunya kalian tidak akan menyebut dan menganggapku sebagai Tuhan, hanya karena aku bangkit dari kubur. Aku bangkit dari kubur, karena hanya tidak tahan geli.
Tapi itu semua hanya kukatakan di dalam hati. Aku sama sekali tidak mengatakan kepada mereka. Tentunya, aku tidak bodoh seperti mereka. Lihatlah! Sekarang hidupku menjadi sangat nyaman sekali, hidupku jauh lebih nyaman sembilanpuluh sembilan persen dibandingkan hidupku sebelumnya. Aku tidak perlu bekerja membanting tulang dari pagi hingga larut malam hanya untuk mendapatkan sesuap makanan. Sekarang setiap hari sudah ada yang menyediakan makanan untukku, bahkan mereka ada dengan yang sukarela memandikan dan memijat tubuhku. Aku juga diberikan tempat tinggal yang mewah. Dan kalau cuaca sedang panas, beberapa orang dengan suka rela mengipas tanpa aku menyuruhnya.
Sungguh sekarang hidupku lebih hebat dari sang raja dari manapun.
Ketika aku menulis cerpen ini, terpaksa aku harus sembunyi-sembunyi. Bukan apa-apa, mereka yang berdatangan sangat banyak sekali, jadi waktuku tidak banyak. Aku sendiri tidak tahu, mereka yang datang itu dari mana saja. Mereka mengantri ingin mencium kakiku, atau minta kusentuh kepalanya. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka juga minta nasehat kepadaku. Nasehat seperti apa, pikirku. Sebelum kejadian yang menimpaku sekarang ini, hidupku dulu sangat berantakan. Jadi kalau ada yang minta nasehatku, aku hanya asal ucap saja. Tapi yang lebih aneh lagi, setiap kata yang aku ucapkan mereka percaya begitu saja. Bahkan mereka pun menjalani segala apapun yang kuperintahkan. Kadang aku jadi tertawa-tawa sendiri kalau mengingatnya.
Orang-orang dungu! kataku dalam hati.
Kalau kalian sudah baca cerpen ini, tolong jangan bocorkan rahasiaku kepada mereka. Soalnya kalau mereka sampai tahu siapa sebenarnya aku, bisa kacau! Hidupku bakal tidak nyaman lagi. Maaf, aku tidak bisa menulis cerita ini lebih panjang lagi, dan tidak semuanya bisa kuceritakan pada kalian. Waktuku benar-benar sempit sekali. Sekarang saja sudah banyak orang yang sudah menungguku. Maafkan aku, aku harus pamit dulu. Bye-bye...

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar