Padahal ketika aku hidup, aku pernah
berpesan kepada seluruh saudara, teman dan juga tetanggaku; Jika aku mati,
aku tidak mau mayatku dimandikan. Aku juga tidak mau mayatku dikubur di dalam
tanah. Hanya itu saja pesanku yang paling utama, selebihnya mayatku
terserah mau diapakan saja boleh. Mayatku mau dibuang ke laut dan dimakan hiu,
atau dilemparkan ke rawa untuk makanan buaya, atau ditinggalkan begitu saja,
dan menjadi rebutan anjing, aku sama sekali tidak keberatan. Aku tidak peduli.
Lagipula aku sudah mati, jadi aku tidak akan merasakan sakit.
Tapi
ketika aku benar-benar mati, menurutku sih begitu, karena aku tidak mampu
menggerakkan bagian anggota tubuhku sejengkal pun. Ternyata pesanku ketika aku
masih hidup tidak dilaksanakan orang-orang yang sudah aku berikan kepercayaan.
Aku tidak tahu, apakah mereka lupa, atau sengaja berbuat seperti itu kepadaku.
Aku pun ditelanjangi dan ditonton banyak orang. Mereka mulai memandikanku,
menyabuni dan keramas rambutku. Mulut, gigi, wajah, punggung, telinga, dan
bagian-bagian lain di tubuhku dibersihkan dan disikat. Bahkan lubang anus dikorek dan dikeluarkan sisa kotorannya. Pokoknya semua anggota tubuhku
dibersihkan tanpa terkecuali, mungkin lebih mengkilat daripada porselin.
“Percuma
kalian memandikan tubuhku!” Aku berteriak, “Meskipun kalian habiskan sabun dan
sampo satu kontainer sekalipun, tubuhku tetap tidak mungkin wangi. Aku tidak
akan mungkin bersih. Percuma!”
Setelah
mereka selesai memandikan tubuhku. Mereka juga mengenakan celana, pakaian, jas,
dasi pada tubuhku. Dan kakiku pun lengkap pula dengan sepatu hitam mengkilat.
Padahal selama hidupku aku tidak pernah mengenakan sepatu, atau berpakaian
seperti ini. Ternyata yang mereka lakukan tidak sampai situ saja, mereka bahkan
merias wajahku.
Sumpah
panasnya minta ampun.
Kemudian
mereka menidurkanku di dalam peti. Mereka duduk memandang ke arahku, dan
memperlihatkan wajahnya yang pucat dan sedih. Aku sendiri tidak tahu kenapa
mereka memperlihatkan wajah seperti itu kepadaku. Semula aku bergembira dengan
kematianku ini, karena aku sudah terbebas dari hidup yang telah memenjarakan
jiwaku. Tapi setelah melihat wajah orang-orang di sekitarku yang sedih itu, aku
jadi ikut sedih juga.
Tidak
berapa lama kemudian, datang seorang laki-laki membawa buku. Kemudian semua
orang yang ada di ruangan ini mengikuti semua yang diucapkan oleh laki-laki
yang baru datang itu. Mereka bersama-sama memanjatkan doa untukku.
“Jangan
kalian doakan aku!” Aku kembali berteriak lebih keras dari sebelumnya. “Sekalipun
kalian panggil orang yang paling suci di jagad ini, semua akan percuma! Semua
tidak akan merubah apa-apa! Aku sudah mati!”
Tapi
mereka terus saja memanjatkan doa tiada henti, dan suara mereka sangat berisik
sekali. Padahal aku sudah mulai mengantuk, maklum biasanya kalau hari siang
seperti ini aku selalu tidur siang. Tapi karena suara mereka yang terlampau
sangat keras dan sangat berisik, membuat konsentrasi tidurku menjadi buyar.
Kurang
lebih sekitar satu jam kemudian, mereka mengangkat tubuhku secara beramai-ramai dan
meletakannya ke dalam mobil putih. Asyik, aku sekarang bisa tidur dengan
tenang, pikirku. Namun ketika mobil itu mulai bergerak, seketika gendang
telingaku serasa pecah dan ditusuk-tusuk paku, terdengar bunyi sirine yang
sangat keras sekali.
Aku
pun tidak jadi tidur. “Hidup sudah menyakitkan, dan ternyata mati juga lebih menyakitkan,”
kataku geram. “Hufffhh, sial…”
Ternyata
mereka membawaku keliling kota. Dan beberapa mobil dan kendaraan bermotor
mengikuti di belakang, sepert pawai. Aku belum pernah mengalami hal seperti
ini. Waktu aku masih hidup saja, aku tidak mau pergi ke kota, kenapa mereka sekarang
membawaku ke kota. Apa hebatnya di kota? Lagipula, aku kan sudah mati. Kenapa
mereka membuatku senang baru sekarang? Kenapa tidak ketika aku masih hidup? Aku
benar-benar tidak tahu, apa maksud mereka berbuat seperti ini kepadaku.
Mobil
berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang. Kemudian beberapa orang kembali
mengangkat tubuhku. “Aku mau kalian bawa ke mana?” tanyaku pada orang-orang
yang mengerumuniku. Tapi mereka cuek saja, mereka sama sekali tidak menggubris
pertanyaanku.
“Hey
tunggu sebentar!” kataku, saat melihat batu nisan. Tapi mereka tetap saja
memasukanku ke dalam tanah yang sudah digali. “Jangan kalian kubur aku di dalam
tanah! Aku mohon jangan lakukan padaku, JANGAN!” Aku berteriak sekuat tenaga.
Tapi mereka tetap saja menimbun tubuhku dengan tanah. Aku berusaha berteriak lagi,
lagi, dan lagi… Tapi semua usahaku tidak ada hasilnya. Aku putus-asa, karena
mereka sama sekali tidak menggubris, atau mendengar suaraku. Mungkin karena aku
sudah mati kali ya?
Tidak
ada yang bisa kulakukan lagi, selain diam dan pasrah menjalani kesendirianku
yang panjang di dalam liang kubur. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini;
sebelum aku mati, aku akan lari ke dalam hutan dan bersembunyi. Paling tidak,
aku tidak mau mati di depan orang yang mengenalku. Sekarang apa enaknya sendiri
di dalam gelap dan tertimbun tanah. Tidak ada sesuatu yang menarik apa pun yang
dapat kulihat, yang ada hanya hitam, hitam, hitam… sangat gelap… dan sangat sunyi.
Hari
pertama. Aku hanya bisa ngomel-ngomel sendiri di dalam liang kubur. Aku tahu
meskipun yang kulakukan itu tidak ada gunanya dan percuma, tapi entah kenapa
aku tetap melakukannya. Aku juga tidak bisa tidur, padahal aku sangat mengantuk
sekali.
Hari
berikutnya. Aku mulai gelisah dan mulai merasakan udara panas, dan pengap. Aku
jadi tidak betah untuk berlama-lama tinggal di dalam liang kubur. Pasti karena
pakaian sialan ini, pikirku. Lagipula, aku kan tidak bertemu dengan
siapa-siapa, kenapa aku harus dikenakan pakaian rapi seperti ini segala. Orang-orang
bodoh! Aku terus mengomel-ngomel sendiri, menumpahkan kekesalanku kepada
orang-orang yang telah menguburku.
Detik
demi demi detik yang berlalu, aku mulai tidak betah tinggal berlama-lama di
dalam liang kubur. Hal utama yang paling membuatku tidak betah, dikarenakan
oleh belatung yang mulai datang dan menyusup lewat sela peti kayu. Suaranya sangat
berisik dan menyayat hati.
Dalam
sekejap saja gerombolan belatung itu sudah berhasil masuk ke dalam peti, mereka
mulai mengerumuniku. Mula-mula aku iseng mencoba untuk menggerakkan tanganku
untuk menepis seekor belatung di pipiku, tapi alangkah kagetnya aku, ternyata
aku berhasil! Tanganku bisa bergerak lagi. Kemudian tanpa membuang-buang waktu
lagi, aku mulai menepis belatung-belatung yang mengerumuni tubuhku.
Hari
ketiga. Aku semakin dibuat kewalahan oleh kedatangan belatung-belatung yang
mengganggu istirahatku. Seakan-akan setiap detik jumlah mereka semakin
bertambah banyak, mereka berbondong-bondong menyerbu tubuhku dari setiap sudut.
Mereka mencongkel dan memaksa masuk ke dalam tubuhku, melalui lubang pori-pori.
Semakin aku berusaha menepisnya, mereka malah semakin gencar melancarkan
serangannya. Aku diam, tapi serangan mereka malah semakin beringas. Aku jadi
semakin tidak tahan dibuatnya, aku pun berontak sekuat tenaga. Aku gedor peti
sempit yang telah menyekap tubuhku. Tanganku menghantam. Kakiku menendang. Aku gerakan
tangan dan kaki dengan mengerahkan ke segala penjuru arah, dengan seluruh
tenagaku yang tersisa.
Akhirnya
aku berhasil keluar dari liang kubur yang telah menyekap-ku.
Sesampainya
aku di atas, —maksudku, kakiku sudah kembali berpijak di atas tanah. Suasana di
sekitarku sepi, tak ada seorang pun kulihat, ada hanyalah batu-batu nisan
berdiri tegak di antara hamparan rumput hijau. Kupandangi diriku sendiri; celana
dan pakaian yang kukenakan sudah hancur tidak karuan dan sangat
compang-camping. Sepatu yang kukenakan pun hanya tinggal sebelah kiri saja, dan
itu pun sudah robek bagian bawahnya. Sepatu itu lalu kulepas dari kaki, dan
kubuang begitu saja.
Aku
sama sekali tidak menyesali dengan keadaanku yang sekarang ini, malah aku
senang-senang saja. Karena selama hidupku, aku pun berpenampilan seperti sekarang
ini, bahkan kadang malah lebih parah lagi. Maklum aku hanya orang miskin, jadi
yang kukenakan pun seadanya.
Sekarang
aku sedang marah besar. Tapi kemarahanku bukan karena penampilanku yang
compang-camping ini, sama sekali bukan itu! Melainkan aku marah dikarenakan
pesanku jika aku mati tidak digubris. Sejujurnya untuk soal perbuatan mereka
yang sudah memandikanku, aku sungguh masih bisa memaafkan, tapi soal aku
dikubur di dalam tanah, ini benar-benar tidak bisa dimaafkan. Mereka pikir aku
ini barang paket? Mesti dikemas dan dimasukan ke dalam peti. Bukan apa-apa, dan
bukan sakit yang menjadi akar permasalahan, kalau hanya sakit saja aku sudah terbiasa
menghadapinya. Yang paling membuatku marah, dikarenakan selama hidup aku paling
benci digelitik oleh siapapun, tanpa terkecuali, termasuk binatang belatung
seperti yang baru saja kualami.
Aku
pun segera meninggalkan makam. Aku melangkah pulang dengan segunung api
kemarahan. Aku ingin melampiaskan kemarahanku kepada mereka yang tidak
menggubris pesanku, dan telah menguburku.
Tapi,
pada saat aku sampai di gerbang gapura kampung halamanku, kemarahanku seperti
api yang disiram air. Kemudian muncul asap yang membubung ke udara, lalu lenyap
entah ke mana.
Orang-orang
melihatku dengan tatapan tak percaya, mereka terdiam lama seperti patung hidup.
Seandainya saja saat ini ada cermin, pasti aku akan segera melihat diriku
sendiri, mungkin ada sesuatu yang aneh pada diriku. Tapi setelah kuperhatikan
mereka satu per satu, tatapan mereka sepertinya lain. Mereka menatapku dengan, —terpesona.
Maaf lho ini, soalnya menurutku sih begitu.
“Tuhan!
Tuhan telah datang!” Orang-orang berteriak histeris. Lalu mereka semua yang ada
di hadapanku duduk bersimpuh di tanah dan menyembahku.
Pada
saat itu aku diam dan kebingungan. Secara spontan aku pun menoleh ke kiri dan
ke kanan, ke belakangku juga. Tapi karena di sekitarku tidak ada siapa-siapa,
aku jadi semakin bingung, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Karena
mereka tetap berteriak dan menyembahku, aku akhirnya memberanikan diri untuk
tersenyum kecil. Dan secara tiba-tiba, wajah mereka yang semula tampak pucat
ketakutan, berangsur-angsur mulai normal, mereka pun menyambutku dengan
tersenyum juga.
Mereka
lalu membawaku ke sebuah rumah yang paling besar yang ada di kampung ini.
Padahal dulu rumahku letaknya masih jauh di belakang kampung ini. Bahkan
rumahku pun sangat kecil, hanya terbuat bambu, dan itupun warisan orang-tuaku.
Terakhir kali aku melihat rumahku, bentuknya sudah tidak seperti rumah pada
umumnya. Rumahku tidak berdiri tegak, melainkan sedikit doyong ke kanan.
Apabila dua puluh enam orang meniup secara bersama-sama, aku yakin rumahku
pasti akan ambruk.
Mereka
mulai membawakanku kain, pakaian, makanan, dan apa saja yang mereka miliki, dan
semuanya diserahkan kepadaku secara cuma-cuma. Mereka juga menyediakan seluruh
keperluanku. Setiap kali mereka datang, sekitar tiga meter dari tempatku duduk,
mereka sudah berjalan jongkok dan mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali, menyembahku.
Lalu mereka pun tak segan-segan mencium kakiku.
Semula
aku sangat bingung dan risih. Karena sepanjang hidupku hingga sampai detik ini,
aku belum pernah sekalipun memimpikan ada orang-orang mencium kakiku. Tapi
lama-lama aku mulai belajar membiasakan diri dengan menerima keadaanku yang
sekarang kualami ini. Bahkan suatu kali aku pernah iseng untuk menyentuh kepala
mereka yang sedang mencium kakiku, tapi anehnya mereka malah tampak sangat
senang dan gembira. Lalu mereka pun mulai berdiri berderet-deret dalam antrian
panjang, seperti gerbong kereta, hanya untuk mencium kakiku, dan minta kusentuh
kepalanya.
Sungguh,
orang-orang bodoh! Kenapa kalian pikir aku Tuhan! Apa kalian tidak punya
pikiran lain? Kalian seharusnya sadar, kalau kalian itu hanya manusia biasa.
Dosa kalian itu banyak, jadi mana mungkin kalian bisa melihat Tuhan di dunia
ini? Kalau kalian dewasa, tentunya kalian akan binasa bertatapan langsung
dengan Tuhan. Orang-orang tolol! Kalau pikiran kalian sehat dan waras, tentunya
kalian tidak akan menyebut dan menganggapku sebagai Tuhan, hanya karena aku
bangkit dari kubur. Aku bangkit dari kubur, karena hanya tidak tahan geli.
Tapi
itu semua hanya kukatakan di dalam hati. Aku sama sekali tidak mengatakan
kepada mereka. Tentunya, aku tidak bodoh seperti mereka. Lihatlah! Sekarang
hidupku menjadi sangat nyaman sekali, hidupku jauh lebih nyaman sembilanpuluh
sembilan persen dibandingkan hidupku sebelumnya. Aku tidak perlu bekerja
membanting tulang dari pagi hingga larut malam hanya untuk mendapatkan sesuap
makanan. Sekarang setiap hari sudah ada yang menyediakan makanan untukku, bahkan
mereka ada dengan yang sukarela memandikan dan memijat tubuhku. Aku juga diberikan
tempat tinggal yang mewah. Dan kalau cuaca sedang panas, beberapa orang dengan
suka rela mengipas tanpa aku menyuruhnya.
Sungguh
sekarang hidupku lebih hebat dari sang raja dari manapun.
Ketika
aku menulis cerpen ini, terpaksa aku harus sembunyi-sembunyi. Bukan apa-apa,
mereka yang berdatangan sangat banyak sekali, jadi waktuku tidak banyak. Aku
sendiri tidak tahu, mereka yang datang itu dari mana saja. Mereka mengantri
ingin mencium kakiku, atau minta kusentuh kepalanya. Bahkan yang lebih parah
lagi, mereka juga minta nasehat kepadaku. Nasehat seperti apa, pikirku. Sebelum
kejadian yang menimpaku sekarang ini, hidupku dulu sangat berantakan. Jadi
kalau ada yang minta nasehatku, aku hanya asal ucap saja. Tapi yang lebih aneh
lagi, setiap kata yang aku ucapkan mereka percaya begitu saja. Bahkan mereka
pun menjalani segala apapun yang kuperintahkan. Kadang aku jadi tertawa-tawa
sendiri kalau mengingatnya.
Orang-orang
dungu! kataku dalam
hati.
Kalau
kalian sudah baca cerpen ini, tolong jangan bocorkan rahasiaku kepada mereka.
Soalnya kalau mereka sampai tahu siapa sebenarnya aku, bisa kacau! Hidupku
bakal tidak nyaman lagi. Maaf, aku tidak bisa menulis cerita ini lebih panjang
lagi, dan tidak semuanya bisa kuceritakan pada kalian. Waktuku benar-benar
sempit sekali. Sekarang saja sudah banyak orang yang sudah menungguku. Maafkan aku, aku harus pamit dulu. Bye-bye...
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar