Selasa, 14 Februari 2012

Strategi lama tapi masih cukup ampuh untuk mengelabui banyak orang


… untuk yang kesekian kalinya terbongkar lagi kasus korupsi di negeri ini. Menurut data yang kami dapatkan, negara mengalami kerugian yang sangat besar sekali jumlahnya. Salah satu bukti penyelewengan uang negara mencapai dua ratus milyar. Namun dugaan kuat, dan bukti-bukti penyelewengan lainnya yang belum terungkap dan masih dalam penyelidikan, diperkirakan mencapai lebih dari satu trilyun. Pihak-pihak aparat sudah menetapkan seorang tersangka yang menjadi dalang dalam tindak korupsi ini, yang tak lain dan tak bukan adalah salah satu pejabat penting di pemerintahan. Saat ini tersangka masih aktif menjabat sebagai menteri
—Pet!!

“Hai! Kau itu apa-apaan lagi sih! Baru datang kok sudah main ambil remote control, apa kau tidak lihat aku sedang melihat berita di televisi itu!” Isteriku mengomel tidak karuan, suaranya lebih keras daripada penyiar di televisi.
Aku menghempaskan pantatku ke sofa. “Isteri macam apa kau itu,” kataku, “Suaminya datang bukannya menyediakan minuman, tapi kau malah menyambut dengan ocehan tidak karuan.”
“Maafkan aku, Sayang,” ucap isteriku, “mau dibuatkan minum apa?”
“Sudah hilang hausku,” jawabku tidak bersemangat.
“Ya sudah kalau kau tidak mau…” sahut isteriku lagi, “Sekarang kemarikan remote controlnya, ada berita baru di televisi. Cepat, nanti beritanya keburu selesai!”
“Berita apa…” kataku, “Berita di televisi itu tidak ada yang menarik. Lagipula setiap hari yang diberitakan hanya soal yang itu-itu saja. Basi!”
“Ini berita terbaru!” isteriku bersikukuh, “Aku hanya ingin tahu siapa pelaku koruptor, itu saja.”
“Apa untungnya buatmu,” kataku, “memangnya kalau pelaku koruptor tertangkap, ia tidak bisa lepas lagi!”
“Terserahlah,” isteriku menggerutu. “Lagipula beritanya pasti sudah habis…” Isteriku menggeser duduknya dan mendekat padaku. “Kasihan negeri ini. Masyarakatnya sudah sangat miskin, tapi para pejabat pemerintah yang dipercaya untuk membangun negeri ini malah tega menghianatinya. Sekarang saja masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya saja masih banyak yang tidak mampu. Belum lagi ditambah masyarakat yang tinggal di pelosok desa, mereka yang mati kelaparan saja tak terhitung jumlahnya. Apa jadinya negeri ini kelak.”
“Kamu belum puas juga ngoceh,” sahutku sedikit kesal, “Sudahlah…”
“Aku hanya ungkapkan emosiku saja!”
“Sebaiknya kita tidak usah ikut campur soal korupsi di negeri ini! Lagipula ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Bagaimana kalau aku mengusulkan kita pergi berlibur?”
“Bukankah baru seminggu kita pulang dari Perancis!”
“Kita harus sering menenangkan diri,” aku memberi usul, “Kau bisa lihat sendiri keadaan negeri ini, di jalan-jalan setiap hari ada saja yang berdemonstrasi. Belum lagi ditambah persoalan dan pekerjaanku di kantor yang seabrek, aku bisa stress dan cepat tua.”
“Memangnya kita mau berlibur kemana lagi?”
“Aku sudah mempersiapkan, paspor, tiket, dan segala keperluannya,” kataku meyakinkan isteriku. “Sekitar satu jam lagi, supir akan menjemput kita, dan mengantarkan kita ke airport.”
“Sekarang juga?” Isteriku menatap diriku dengan sorot mata tajam, “Lihatlah, Aku belum bersiap-siap, lagipula kenapa harus buru-buru? Apa tidak sebaiknya besok saja, jadi aku bisa —”
“Aku sudah tidak sanggup, pikiranku kacau sekali. Pokoknya kau tidak usah khawatir, semua sudah aku persiapkan dengan matang. Nanti kalau supirnya sudah datang, kau sekalian jemput anak-anak di sekolahnya.”
“Anak-anak sedang tidak libur sekolah,” ucap isteriku memberi penjelasan. “Memang kita akan pergi berapa lama?”
“Sudahlah, kau tidak usah banyak tanya!” sahutku dengan volume suara sedikit besar, “Kau turuti saja apa yang aku katakan. Lagipula anak-anak sekolah itu hanya untuk formalitas saja, nanti kalau mereka sudah ingin bekerja, aku yang akan mencarikannya. Kalau mereka tidak mau bekerja juga tidak apa-apa, kekayaan kita masih cukup banyak untuk hidup mereka.”
“But—”
“Sudahlah…” potongku, “Kita harus menikmati hidup ini semaksimal mungkin.” Aku memandang wajah isteriku. “Oh iya, kau dan anak-anak berangkat dulu. Aku akan menyusul besok pagi, kar—”
“Kenapa bisa begitu!
“Aku bisa benar-benar stress, kalau kau banyak bertanya terus!” Aku membesarkan volume suaraku, “Aku lupa kalau kalau masih ada urusan yang belum kuselesaikan.”
“Baiklah,” kata isteriku sambil tersenyum.

Akhirnya aku bisa terlepas juga dari jeratan ocehan isteriku yang tiada henti-hentinya. Dan sekarang aku bisa bernafas lega, karena isteri dan anak-anakku sudah berangkat ke airport. Sejujurnya aku tidak membenci isteriku, tapi seringkali aku dibuat jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan diriku. Dan yang paling membuatku geram dan tak habis pikir, ia sangat cerewet sekali. Padahal dulu sebelum menikah, ia tidak seperti itu sifatnya.
Sejujurnya kalau aku mau, mudah saja aku menceraikan isteriku, terlebih aku juga tidak mencintainya. Tapi permasalahannya tidak segampang itu, karena aku sebagai orang terhormat di negeri ini, jadi aku hanya menghindari omongan buruk dari masyarakat. Aku tidak mau mereka menilai diriku sebagai orang yang tidak setia dan gonta-ganti isteri.
Sejujurnya aku memang butuh wanita, tapi hanya soal seks saja, tidak lebih dari itu. Isteri bagiku hanyalah sebagai pendamping saja, singkatnya untuk formalitas saja. Sedangkan kebutuhan biologisku, aku bisa melakukan dengan wanita-wanita lain, di manapun dan kapan saja aku mau. Tapi sudahlah itu bukanlah masalah penting, karena sampai detik ini isteriku yang bodoh itu tidak mencium akal bulus yang telah aku sembunyikan selama ini.

Tokk… Tokk… Tokk…

“Siapa?” tanyaku pada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
“Maaf, Tuan,” katanya. “Saya hanya ingin menyampaikan, kalau Mr. Plinplan sudah datang.”
“Maksudmu, pengacaraku?” tanyaku lagi.
“Iya, Tuan,” jawabnya.
“Pelayan,” kataku, “Tolong suruh dia masuk, dan katakan padanya untuk menunggu sebentar. Aku sedang ganti pakaian.”
“Baik, Tuan,” katanya.
 Mr. Plinplan adalah pengacaraku yang sangat handal. Setiap kali aku menghadapi masalah, ia selalu bisa membela dan membebaskan aku dari jeratan hukum. Sudah bertahun-tahun aku menggunakan jasanya, dan sampai detik ini aku masih bisa menghirup udara bebas, tentu saja aku juga menikmati hidup ini. Kalau hanya menikmati udara bebas, tapi hidup sengsara, itu sama saja bodoh namanya.
“Aku tidak akan memperpanjang cerita,” kataku pada Mr. Plinplan, “Untuk yang kesekian kalinya aku membutuhkan bantuanmu lagi.”
“Korupsi lagi, Boss,” tebaknya.
“Begitulah kira-kira… Aku sudah menghubungi dokter pribadiku, surat-surat yang menyatakan aku sakit juga sudah lengkap di sini.” Aku menyodorkan map kepadanya.
“Strategi lama Boss,” katanya, “sakit apa lagi sekarang?”
“Iya, tentu saja… Kau tahu strategi ini sudah lama sekali kupakai. Dulu ketika aku masih sekolah, kebetulan aku mempunyai kenalan seorang dokter. Jadi aku bisa membolos sesuka hatiku, dan aku selalu minta surat keterangan sakit dari dokter kenalanku itu. Dan ternyata sampai sekarang…”
“Boss memang pintar,” dia mengacungkan jempolnya.
“Oh iya,” kataku, “Nanti kalau ada kekurangan yang kau butuhkan, kau hubungi dokter pribadiku saja. Terserah kau mau mengatakan aku sakit jantung, radang usus, tumor otak, atau apa saja boleh… Terserah kau saja. Dan katakan kepada penyidik kalau aku sedang menjalani perawatan di rumahsakit di luar negeri.”
“Luar negerinya mana, Boss?” tanyanya.
“Terserah!” kataku, “Oh iya, sekali lagi, selama aku pergi, kalau kau butuh dana operasional untuk menyuap polisi, jaksa, dan para setan yang lainnya. Kau menghubungiku saja, nanti aku akan segera mentransfer ke rekeningmu.”
Ia menganggukan kepalanya.
“Keluargaku semuanya sudah berangkat, dan besok pagi aku akan menyusul mereka. Jadi kalau kau membutuhkan sesuatu, katakan saja sekarang…”
“Tidak, tidak, tidak… Terima kasih banyak Boss. Sementara ini sudah cukup, tapi, nanti, kalau ada kebutuhan mendesak saya akan secepatnya menghubungi anda, Boss.”
“Serius tidak ada sesuatu yang kau butuhkan?” tanyaku meyakinkan dirinya, “Soalnya sebentar lagi aku akan mengadakan pesta perpisahan dengan kawan-kawanku, daripada…” 
“Sementara ini belum, terima kasih, Boss…”
“Sama-sama…”

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar