…
untuk yang kesekian kalinya terbongkar lagi kasus korupsi di negeri ini.
Menurut data yang kami dapatkan, negara mengalami kerugian yang sangat besar
sekali jumlahnya. Salah satu bukti penyelewengan uang negara mencapai dua ratus
milyar. Namun dugaan kuat, dan bukti-bukti penyelewengan lainnya yang belum
terungkap dan masih dalam penyelidikan, diperkirakan mencapai lebih dari satu
trilyun. Pihak-pihak aparat sudah menetapkan seorang tersangka yang menjadi
dalang dalam tindak korupsi ini, yang tak lain dan tak bukan adalah salah satu
pejabat penting di pemerintahan. Saat ini tersangka masih aktif menjabat
sebagai menteri
“Hai! Kau itu
apa-apaan lagi sih! Baru datang kok sudah main ambil remote control, apa kau
tidak lihat aku sedang melihat berita di televisi itu!” Isteriku mengomel tidak
karuan, suaranya lebih keras daripada penyiar di televisi.
Aku menghempaskan
pantatku ke sofa. “Isteri macam apa kau itu,” kataku, “Suaminya datang bukannya
menyediakan minuman, tapi kau malah menyambut dengan ocehan tidak karuan.”
“Maafkan aku,
Sayang,” ucap isteriku, “mau dibuatkan minum apa?”
“Sudah hilang hausku,” jawabku tidak bersemangat.
“Ya sudah kalau kau
tidak mau…” sahut isteriku lagi, “Sekarang kemarikan remote controlnya, ada
berita baru di televisi. Cepat, nanti beritanya keburu selesai!”
“Berita apa…” kataku,
“Berita di televisi itu tidak ada yang menarik. Lagipula setiap hari yang
diberitakan hanya soal yang itu-itu saja. Basi!”
“Ini berita terbaru!”
isteriku bersikukuh, “Aku hanya ingin tahu siapa pelaku koruptor, itu saja.”
“Apa untungnya
buatmu,” kataku, “memangnya kalau pelaku koruptor tertangkap, ia tidak bisa lepas
lagi!”
“Terserahlah,”
isteriku menggerutu. “Lagipula beritanya pasti sudah habis…” Isteriku menggeser
duduknya dan mendekat padaku. “Kasihan negeri ini. Masyarakatnya sudah sangat
miskin, tapi para pejabat pemerintah yang dipercaya untuk membangun negeri ini
malah tega menghianatinya. Sekarang saja masyarakat yang ingin menyekolahkan
anak-anaknya saja masih banyak yang tidak mampu. Belum lagi ditambah masyarakat
yang tinggal di pelosok desa, mereka yang mati kelaparan saja tak terhitung
jumlahnya. Apa jadinya negeri ini kelak.”
“Kamu belum puas juga
ngoceh,” sahutku sedikit kesal, “Sudahlah…”
“Aku hanya ungkapkan
emosiku saja!”
“Sebaiknya kita tidak
usah ikut campur soal korupsi di negeri ini! Lagipula ini bukan yang pertama
kalinya terjadi. Bagaimana kalau aku mengusulkan kita pergi berlibur?”
“Bukankah baru
seminggu kita pulang dari Perancis!”
“Kita harus sering
menenangkan diri,” aku memberi usul, “Kau bisa lihat sendiri keadaan negeri
ini, di jalan-jalan setiap hari ada saja yang berdemonstrasi. Belum lagi
ditambah persoalan dan pekerjaanku di kantor yang seabrek, aku bisa
stress dan cepat tua.”
“Memangnya kita mau
berlibur kemana lagi?”
“Aku sudah
mempersiapkan, paspor, tiket, dan segala keperluannya,” kataku meyakinkan
isteriku. “Sekitar satu jam lagi, supir akan menjemput kita, dan mengantarkan
kita ke airport.”
“Sekarang juga?”
Isteriku menatap diriku dengan sorot mata tajam, “Lihatlah, Aku belum
bersiap-siap, lagipula kenapa harus buru-buru? Apa tidak sebaiknya besok saja,
jadi aku bisa —”
“Aku sudah tidak
sanggup, pikiranku kacau sekali. Pokoknya kau tidak usah khawatir, semua sudah
aku persiapkan dengan matang. Nanti kalau supirnya sudah datang, kau sekalian
jemput anak-anak di sekolahnya.”
“Anak-anak sedang
tidak libur sekolah,” ucap isteriku memberi penjelasan. “Memang kita akan pergi
berapa lama?”
“Sudahlah, kau tidak
usah banyak tanya!” sahutku dengan volume suara sedikit besar, “Kau turuti saja
apa yang aku katakan. Lagipula anak-anak sekolah itu hanya untuk formalitas
saja, nanti kalau mereka sudah ingin bekerja, aku yang akan mencarikannya. Kalau
mereka tidak mau bekerja juga tidak apa-apa, kekayaan kita masih cukup banyak
untuk hidup mereka.”
“But—”
“Sudahlah…” potongku,
“Kita harus menikmati hidup ini semaksimal mungkin.” Aku memandang wajah
isteriku. “Oh iya, kau dan anak-anak berangkat dulu. Aku akan menyusul besok
pagi, kar—”
“Kenapa bisa begitu!
“Aku bisa benar-benar
stress, kalau kau banyak bertanya terus!” Aku membesarkan volume suaraku, “Aku
lupa kalau kalau masih ada urusan yang belum kuselesaikan.”
“Baiklah,” kata
isteriku sambil tersenyum.
Akhirnya aku bisa
terlepas juga dari jeratan ocehan isteriku yang tiada henti-hentinya. Dan
sekarang aku bisa bernafas lega, karena isteri dan anak-anakku sudah berangkat
ke airport. Sejujurnya aku tidak membenci isteriku, tapi seringkali aku dibuat
jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan diriku. Dan yang paling
membuatku geram dan tak habis pikir, ia sangat cerewet sekali. Padahal dulu
sebelum menikah, ia tidak seperti itu sifatnya.
Sejujurnya kalau aku
mau, mudah saja aku menceraikan isteriku, terlebih aku juga tidak mencintainya.
Tapi permasalahannya tidak segampang itu, karena aku sebagai orang terhormat di
negeri ini, jadi aku hanya menghindari omongan buruk dari masyarakat. Aku tidak
mau mereka menilai diriku sebagai orang yang tidak setia dan gonta-ganti
isteri.
Sejujurnya aku memang
butuh wanita, tapi hanya soal seks saja, tidak lebih dari itu. Isteri bagiku
hanyalah sebagai pendamping saja, singkatnya untuk formalitas saja. Sedangkan
kebutuhan biologisku, aku bisa melakukan dengan wanita-wanita lain, di manapun
dan kapan saja aku mau. Tapi sudahlah itu bukanlah masalah penting, karena
sampai detik ini isteriku yang bodoh itu tidak mencium akal bulus yang telah aku sembunyikan selama ini.
Tokk…
Tokk… Tokk…
“Siapa?” tanyaku pada
seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
“Maaf, Tuan,”
katanya. “Saya hanya ingin menyampaikan, kalau Mr. Plinplan sudah datang.”
“Maksudmu,
pengacaraku?” tanyaku lagi.
“Iya, Tuan,”
jawabnya.
“Pelayan,” kataku,
“Tolong suruh dia masuk, dan katakan padanya untuk menunggu sebentar. Aku
sedang ganti pakaian.”
“Baik, Tuan,”
katanya.
Mr. Plinplan
adalah pengacaraku yang sangat handal. Setiap kali aku menghadapi masalah, ia
selalu bisa membela dan membebaskan aku dari jeratan hukum. Sudah
bertahun-tahun aku menggunakan jasanya, dan sampai detik ini aku masih bisa
menghirup udara bebas, tentu saja aku juga menikmati hidup ini. Kalau hanya
menikmati udara bebas, tapi hidup sengsara, itu sama saja bodoh namanya.
“Aku tidak akan
memperpanjang cerita,” kataku pada Mr. Plinplan, “Untuk yang kesekian kalinya
aku membutuhkan bantuanmu lagi.”
“Korupsi lagi, Boss,”
tebaknya.
“Begitulah kira-kira…
Aku sudah menghubungi dokter pribadiku, surat-surat yang menyatakan aku sakit
juga sudah lengkap di sini.” Aku menyodorkan map kepadanya.
“Strategi lama Boss,”
katanya, “sakit apa lagi sekarang?”
“Iya, tentu saja… Kau
tahu strategi ini sudah lama sekali kupakai. Dulu ketika aku masih sekolah,
kebetulan aku mempunyai kenalan seorang dokter. Jadi aku bisa membolos sesuka
hatiku, dan aku selalu minta surat keterangan sakit dari dokter kenalanku
itu. Dan ternyata sampai sekarang…”
“Boss memang pintar,”
dia mengacungkan jempolnya.
“Oh iya,” kataku,
“Nanti kalau ada kekurangan yang kau butuhkan, kau hubungi dokter pribadiku
saja. Terserah kau mau mengatakan aku sakit jantung, radang usus, tumor otak,
atau apa saja boleh… Terserah kau saja. Dan katakan kepada penyidik kalau aku
sedang menjalani perawatan di rumahsakit di luar negeri.”
“Luar negerinya mana,
Boss?” tanyanya.
“Terserah!” kataku,
“Oh iya, sekali lagi, selama aku pergi, kalau kau butuh dana operasional untuk
menyuap polisi, jaksa, dan para setan yang lainnya. Kau menghubungiku saja,
nanti aku akan segera mentransfer ke rekeningmu.”
Ia menganggukan
kepalanya.
“Keluargaku semuanya
sudah berangkat, dan besok pagi aku akan menyusul mereka. Jadi kalau kau
membutuhkan sesuatu, katakan saja sekarang…”
“Tidak, tidak, tidak…
Terima kasih banyak Boss. Sementara ini sudah cukup, tapi, nanti, kalau ada
kebutuhan mendesak saya akan secepatnya menghubungi anda, Boss.”
“Serius tidak ada
sesuatu yang kau butuhkan?” tanyaku meyakinkan dirinya, “Soalnya sebentar lagi
aku akan mengadakan pesta perpisahan dengan kawan-kawanku, daripada…”
“Sementara ini belum,
terima kasih, Boss…”
“Sama-sama…”
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar