“Bangsat!”
“BANGSAT!”
Aku mengumpat sekuat tenagaku.
Pagi
seperti ini, aku harus terbangun dari tidurku yang nyenyak. Ini sungguh mimpi
paling buruk dalam sejarah hidupku. Suara keras dan sangat berisik bagai
ratusan petir berada di luar rumahku. Padahal belum pernah ada sejarahnya aku bangun
tidur pagi seperti ini. Dan yang lebih parah lagi, aku bangun tidur bukan
karena kemauanku sendiri. Ini benar-benar hal yang sangat kubenci.
Kami
ingin keadilan!
Kami
bukan hewan kurban!
Kami
ingin…
Aku pun segera keluar dari kamarku. Tapi tak kulihat siapa pun.
Aku pun segera keluar dari kamarku. Tapi tak kulihat siapa pun.
Kami
ingin kesejahteraan!
Kami
bukan budak!
Kami
ingin hidup damai!
Kami
bukan…
“PENGAWAL!”
Teriakku dengan amarah yang tidak terkendali.
Tidak
lama kemudian pintu rumahku pun terbuka. Pengawal pribadiku pun masuk dan
menghampiri aku. “Selamat pagi, Bapak Presiden!”
“Apa
yang terjadi?” kataku, “Kau dengar, apa yang terjadi dengan suara berisik di
luar sana itu?”
“Maafkan
saya, Bapak Presiden,” Pengawal itu menundukkan kepala. “Rakyat sedang dibakar murka,
mereka datang berbondong-bondong ingin bertemu dengan Bapak Presiden.”
“Memangnya
mereka mau apa?” Tanyaku bingung, marah, bercampur aduk.
“Maafkan
saya, Bapak Presiden,” Jawabnya dengan suara gemetar.
“Jawab
yang jelas!” kataku lebih lantang. “Jangan membuatku lebih marah.”
“Rakyat
minta dikembalikan tanah mereka yang telah digusur ol—”
“Setan
Alas!” potongku, “Kau itu tak lebih dari Pengawal Dungu! Percuma saja aku
membayarmu mahal. Kau punya anak buah banyak, lalu apa yang kau kerjakan selama
ini? Bagaimana rakyat bisa datang kemari?”
Pengawalku
semakin ketakutan. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat yang mengucur deras
dari dahinya. Kakinya juga gemetar. Ia hanya menunduk melihat ujung sepatunya
sendiri, tidak berani menatap ke arahku.
“Sekarang,
kau bisa lihat sendiri,” kataku lagi menjelaskan. “Aku ini presiden yang harus
kau jaga! Nyawamu itu taruhannya! Bukan malah diam saja, membiarkan rakyat
membangunkan tidurku nyenyak.”
“Sekali
lagi ampuni saya, Bapak Presiden,”
Ini
bukan pekerjaan mudah, pikirku. Biasanya rakyat kalau sudah datang, sulit untuk
disuruh pulang begitu saja. Kalau rakyat sedang dibakar murka seperti ini
sangat sulit untuk dipadamkan. Kalau saja para pengawalku pintar, seharusnya
mereka bisa mencegat rakyat di tengah jalan, menghalangi tujuannya, dan jangan sampai
ke sini. Seumpama rakyat masih bersikeras meneruskan tujuannya, mereka bisa
memberikan beberapa tembakan, beberapa orang mati, pasti yang lainnya akan lari
ketakutan. Seharusnya para pengawalku tahu gunanya memiliki senjata api, lagipula
mereka sudah terlatih untuk membunuh, jadi tidak akan terlalu sulit
melakukannya. Tapi kalau sekarang rakyat yang ada di depan rumahku itu dibunuh
semua, rakyat di seluruh negeri ini akan tahu, dan menudingku sebagai presiden
yang tidak punya perikemanusiaan. Bisa kacau citra baikku sebagai presiden di
mata dunia.
“Sekarang,
aku maafkan kau,” Aku mengecilkan volume suaraku. “Tapi ingat! Ini kejadian
terakhir, dan aku tidak mau melihat yang seperti ini lagi.”
“Terima
kasih banyak, Bapak Presiden,” Ia mengangguk-anggukan kepalanya berulangkali.
“Saya tunggu perintah selanjutnya…”
“Sekarang
katakan kepada seluruh rakyat untuk menungguku sebentar,” Aku memandangi
pengawalku, “Kau tahu sendiri kebiasaan yang kulakukan setelah bangun tidur,
aku harus minum kopi dan merokok dulu.”
“Saya
siap menjalankan perintah Bapak Presiden,” Ia memberi hormat kepadaku, lalu
balik badan, dan melangkah pergi meninggalkanku.
“Tunggu!”
Ia pun langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arahku. “Katakan kepada
seluruh rakyat untuk jangan berisik.”
* *
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar