Senin, 02 April 2012

Isteriku bau busuk

Sebenarnya aku berasal dari keluarga miskin, tapi sejak kedua orangtuaku meninggal dunia, aku menjadi rajin dan tekun untuk mencari uang. Aku bosan hidup miskin, kata-kata itu terus memotivasi dan menyemangatiku. Dan sebagian hidupku benar-benar habis untuk mengejar uang, bahkan aku sampai tidak memperhatikan kehidupan sekitarku. Tapi berkat keuletan yang tak pernah padam, bisnisku pun semakin berkembang pesat. Aku pun berhasil menjadi orang yang sangat, sangat, sangat kaya raya. Hebat kan aku?

Namun semakin lama aku hidup dalam kemewahan, aku seperti mulai merasakan ada kesalahan dalam hidupku. Aku malah merasa kehilangan gairah hidup, tidak punya teman, bahkan aku juga merasa asing dan sangat kesepian. Bayangkan saja setiap orang yang kutemui selalu mengatakan; “Ya!” Dan tidak ada yang menolak, atau membantah perintahku.
Tiba-tiba terlintas di kepalaku, aku ingin menikah. Maka aku pun memutuskan mencari gadis kampung yang lugu, dengan begitu aku akan punya harapan bisa belajar hidup secara sederhana darinya. Pencarianku pun untuk mendapatkan gadis yang sangat aku idamkan pun berjalan mulus, tanpa ada hambatan yang berarti. Maka menikahlah aku. Lagi-lagi aku harus memuji kehebatanku sendiri.
Sejak menikah hingga tiga tahun usia pernikahan kami, kami selalu bepergian ke setiap penjuru negeri ini. Kami membantu orang-orang kampung yang kehidupannya jauh dari bawah garis kemiskinan. Kami juga membangun sekolahan, dan membangun rumah panti untuk meringankan penderitaan anak-anak kecil yang tertimpa musibah bencana alam, korban perang, dan terlantar.
Mulutku ternganga, mataku terbelalak, perasaanku bagai tersayat-sayat, karena selama hidupku aku belum pernah menyaksikan penderitaan orang-orang seperti itu. Kata sumpah-serapah muncrat dari mulutku, dan aku mengutuk kebodohanku sendiri. Kenapa aku bisa sangat bodoh dan kehilangan perasaan? Kenapa aku bisa kehilangan hidup? 
Aku benar-benar bangga dengan isteriku yang telah membuatku menyadari kesalahan akan hidup di masa laluku. Sekarang aku bisa berbagi perasaan dengan mereka yang menjerit dan tertindas. Untung saja aku belum terlambat. Inilah hidup yang kudambakan. Hidupku kini terasa lebih berarti; berarti buat aku sendiri dan juga untuk orang lain.
Namun ketika menginjak tahun berikutnya, isteriku mulai berubah sifatnya. Tanpa alasan yang jelas ia ingin mengelola semua usaha dan bisnisku. Terus terang saja karena rasa kepercayaanku yang penuh kepadanya, maka kuberikan semuanya tanpa sedikitpun keraguan. Bagiku harta kekayaan yang kami miliki sudah tidak penting, karena dengan keadaan yang seperti ini saja sudah mencukupi hidup, bahkan sampai tujuh turunan.
Tahun demi tahun pun berlalu. Tapi sifat dan tingkah laku isteriku mulai berubah drastis, bahkan perubahannya sudah cenderung mengarah yang aneh. Ia tidak seperti yang pernah kukenal sebelumnya. Hampir setiap hari ia mulai menunjukan keanehannya, ia sering keluar malam, atau pergi tanpa sepengetahuanku. Aku pernah membuntuti isteriku, dan memergokinya bersama laki-laki di sebuah kamar hotel. Dan yang lebih parah lagi, aku pernah memergokinya bersama tiga orang laki-laki sekaligus, dan mereka sedang… kalian tahu sendirilah.
Maaf, aku tidak mungkin menceritakan semua keburukan isteriku kepada kalian, karena biar bagaimana pun ia masih isteriku yang sangat kucintai. Mungkin kalian akan mengatakan bodoh kepadaku. Aku tidak akan melarangmu, itu hak kalian.
Aku memang tidak pernah memarahi isteriku. Tidak perlu kalian tanyakan, aku memang merasa sakit sekali, dan perasaanku hancur. Tapi kalau mengingat masa laluku, dan hari-hari bahagia yang kurasakan bersamanya, rasa sakitku hilang, walaupun tidak semuanya. Aku juga tidak punya keinginan menceraikan isteriku, sebenarnya sih mudah saja. Tapi aku lebih memilih untuk sabar dan mencoba untuk menasehatinya, karena aku sangat, sangat, sangat mencintainya.
Aku berharap kehidupan yang membahagiakan bersama isteriku dan saling mencintai kembali, seperti tahun-tahun yang kami pernah lewati sebelumnya.
Ternyata harapanku hanyalah tinggal sebuah harapan. Isteriku belum puas dengan kekayaan yang sudah kami miliki, ia bahkan menjadi sangat liar, rakus, dan ingin lebih kaya, dan semakin kaya lagi. Bahkan cara-caranya pun sudah mulai kelewatan dan tidak manusiawi. Isteriku menjadi lupa diri, lupa asal usulnya, lupa pada dirinya sebagai manusia yang punya perasaan, hati, jiwa, dan akal pikiran. Bahkan ia lupa dengan Yang Di Atas—kalian pasti tahu maksudku. Mungkin isteriku ingat dengan Yang Di Atas, tapi ia sengaja melupakannya, soalnya duniawi memang menggiurkan sih.
Sudah kubilang, silahkan saja kalau kalian mau mengatakan aku bodoh sebanyak bintang di langit juga boleh—maksudku kalau malam hari, dan itupun kalau tidak sedang mendung, dan tentu saja ada bintangnya. Silahkan saja mengatakan aku bodoh sesuka hati kalian, aku sama sekali tidak akan marah kepada kalian.
Sampai saat ini pun aku masih mencintai, dan masih bersabar mengharapkan isteriku sadar dengan perbuatannya yang salah. Mungkin kalian benar aku bodoh, tapi mungkin juga kalian salah. Tapi apa pun pendapat kalian, aku tidak peduli! Toh apa pun yang kulakukan sekarang ini, aku juga punya alasan sendiri. Aku mengalami kesulitan untuk menjelaskannya alasanku kepada kalian, tapi kalau kupikir-pikir lagi, apa untungnya juga aku menceritakannya kepada kalian.
Sudah empat bulan belakangan ini, isteriku mulai menunjukan keanehan lagi. Dan keanehannya yang dilakukan kali ini, jauh lebih aneh dari keanehannya yang pernah dilakukan sebelumnya. Anehkan?
Hampir setiap jam isteriku masuk ke dalam kamar mandi. Semula aku juga sempat menduga isteriku menderita penyakit kelamin. Tapi ternyata dugaanku salah. Ia masuk ke dalam kamar mandi, ya untuk mandi. Bukan yang lain!
“Kenapa kulitku menjadi lengket dan bau,” kata isteriku.
Tapi belum sepatah kata pun keluar dari mulutku, isteriku sudah masuk ke kamar mandi lagi. Kebetulan pintu kamar mandi terbuka, jadi aku pun bisa melihat apa yang dilakukannya. Ia kembali membuka seluruh pakaiannya, lalu mengguyur tubuhnya dengan air, dan menyabuninya.
Hari demi hari kebiasaan isteriku yang suka mandi semakin bertambah parah. Kadang baru satu jam selesai mandi, ia sudah mandi lagi. Bahkan pernah suatu kali, ia baru selesai mandi, tapi belum lebih dari empat menit, ia pun sudah lari terbirit-birit masuk ke kamar mandi, dan mandi lagi, mandi lagi, mandi lagi… dan mandi lagi.
“Pa…” Ia berteriak panik, “Tolong pesan sabun yang paling wangi di negeri ini! Kalau perlu kau cari sampai keluar negeri!”
Untung saja, aku ini orang yang sangat kaya raya, jadi aku selalu bisa memberikan apa pun yang diminta isteriku, termasuk kebebasan. Coba kalau isteriku itu bersuamikan tukang sayur, petani, atau pemain sirkus, mana sanggup mereka memenuhi keinginannya.

Di seluruh jagad ini semua perusahaan sabun yang paling wangi sudah kuhubungi, bahkan bukan hanya sabunnya saja yang kubeli, perusahaannya! Dan kini sabun-sabun yang paling wangi yang ada di jagad ini sudah tersedia, dan menumpuk di gudang rumah kami.
Tapi isteriku masih saja tidak puas, dan merasa dirinya belum wangi.
“Ma, sudahlah!” kataku dengan nada datar, “Percuma kau mandi seribu sebelas sekalipun dalam sehari! Biar kau gosok dengan sabun paling wangi yang ada di jagad ini, mau kau kunyah, dan kau telan sekalipun, kau tidak mungkin bisa wangi. Kulitmu tetap saja saja bau! Mulut dan nafas tetap saja bau!”
“Lalu aku harus bagaimana?” Ia memonyongkan mulutnya. Hidungnya kembang-kempis seperti mencium bau tak sedap yang memancar dari tubuhnya.
“Bau di tubuhmu itu asalnya dari sini,” Aku menepuk dadanya.
“Apa maksudmu,” Ia makin panik, bingung, dan entah apa lagi yang ada di dalam perasaan dan pikirannya. Wajahnya yang putih berangsur-angsur berubah menjadi merah. “Aku kan sudah tidak makan petai, jengkol, bawang! Lalu apa lagi?”
Sejujurnya aku ingin tertawa mendengar ucapan isteriku itu, tapi karena ia sangat serius, dan sama sekali tidak menunjukan kalau sedang bercanda, aku pun segera mengurungkan niatku. “Yang kau katakan tadi,” kataku, “itu semua tidak akan membuatmu jadi bau. Kau salah!”
“Lalu…” Ia makin bertambah sedih.
“Kau mau dengar,” kataku.
“Iya,” Ia menjawab dengan nada lirih, dan sedih. Bulir-bulir air matanya pun mulai jatuh membasahi pipinya. Sorot matanya memandang mengiba.
“Berapa banyak kau makan orang kampung? Berapa banyak kau minum darah rakyat? Berapa banyak kau telan sperma? Berapa banyak kau korup uang rakyat? Berapa banyak tanah, pohon, ternak, ma—”
“Sudah, sudah, sudah!” potongnya.
Ia pun memelukku, dan isak tangisnya mulai semakin menjadi-jadi. Kusambut pelukan isteriku, dan tanganku pun mulai membelai punggungnya. Pelukan seperti ini sudah lama sekali tidak kami lakukan.
“Lalu aku harus bagaimana?” tanya isteriku di sela tangisnya.
“T o b a t l a h !”

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar