Sebenarnya
aku berasal dari keluarga miskin, tapi sejak kedua orangtuaku meninggal dunia,
aku menjadi rajin dan tekun untuk mencari uang. Aku bosan hidup miskin,
kata-kata itu terus memotivasi dan menyemangatiku. Dan sebagian hidupku benar-benar
habis untuk mengejar uang, bahkan aku sampai tidak memperhatikan kehidupan sekitarku.
Tapi berkat keuletan yang tak pernah padam, bisnisku pun semakin berkembang
pesat. Aku pun berhasil menjadi orang yang sangat, sangat, sangat kaya raya.
Hebat kan aku?
Namun
semakin lama aku hidup dalam kemewahan, aku seperti mulai merasakan ada
kesalahan dalam hidupku. Aku malah merasa kehilangan gairah hidup, tidak punya
teman, bahkan aku juga merasa asing dan sangat kesepian. Bayangkan saja setiap
orang yang kutemui selalu mengatakan; “Ya!” Dan tidak ada yang menolak, atau
membantah perintahku.
Tiba-tiba
terlintas di kepalaku, aku ingin menikah. Maka aku pun memutuskan mencari gadis
kampung yang lugu, dengan begitu aku akan punya harapan bisa belajar hidup secara
sederhana darinya. Pencarianku pun untuk mendapatkan gadis yang sangat aku idamkan
pun berjalan mulus, tanpa ada hambatan yang berarti. Maka menikahlah aku.
Lagi-lagi aku harus memuji kehebatanku sendiri.
Sejak
menikah hingga tiga tahun usia pernikahan kami, kami selalu bepergian ke setiap
penjuru negeri ini. Kami membantu orang-orang kampung yang kehidupannya jauh
dari bawah garis kemiskinan. Kami juga membangun sekolahan, dan membangun rumah
panti untuk meringankan penderitaan anak-anak kecil yang tertimpa musibah
bencana alam, korban perang, dan terlantar.
Mulutku
ternganga, mataku terbelalak, perasaanku bagai tersayat-sayat, karena selama
hidupku aku belum pernah menyaksikan penderitaan orang-orang seperti itu. Kata
sumpah-serapah muncrat dari mulutku, dan aku mengutuk kebodohanku sendiri.
Kenapa aku bisa sangat bodoh dan kehilangan perasaan? Kenapa aku bisa
kehilangan hidup?
Aku
benar-benar bangga dengan isteriku yang telah membuatku menyadari kesalahan
akan hidup di masa laluku. Sekarang aku bisa berbagi perasaan dengan mereka
yang menjerit dan tertindas. Untung saja aku belum terlambat. Inilah hidup yang
kudambakan. Hidupku kini terasa lebih berarti; berarti buat aku sendiri dan
juga untuk orang lain.
Namun
ketika menginjak tahun berikutnya, isteriku mulai berubah sifatnya. Tanpa
alasan yang jelas ia ingin mengelola semua usaha dan bisnisku. Terus terang
saja karena rasa kepercayaanku yang penuh kepadanya, maka kuberikan semuanya
tanpa sedikitpun keraguan. Bagiku harta kekayaan yang kami miliki sudah tidak
penting, karena dengan keadaan yang seperti ini saja sudah mencukupi hidup,
bahkan sampai tujuh turunan.
Tahun
demi tahun pun berlalu. Tapi sifat dan tingkah laku isteriku mulai berubah
drastis, bahkan perubahannya sudah cenderung mengarah yang aneh. Ia tidak
seperti yang pernah kukenal sebelumnya. Hampir setiap hari ia mulai menunjukan
keanehannya, ia sering keluar malam, atau pergi tanpa sepengetahuanku. Aku
pernah membuntuti isteriku, dan memergokinya bersama laki-laki di sebuah kamar
hotel. Dan yang lebih parah lagi, aku pernah memergokinya bersama tiga orang
laki-laki sekaligus, dan mereka sedang… kalian tahu sendirilah.
Maaf,
aku tidak mungkin menceritakan semua keburukan isteriku kepada kalian, karena
biar bagaimana pun ia masih isteriku yang sangat kucintai. Mungkin kalian akan
mengatakan bodoh kepadaku. Aku tidak akan melarangmu, itu hak kalian.
Aku
memang tidak pernah memarahi isteriku. Tidak perlu kalian tanyakan, aku memang
merasa sakit sekali, dan perasaanku hancur. Tapi kalau mengingat masa laluku,
dan hari-hari bahagia yang kurasakan bersamanya, rasa sakitku hilang, walaupun
tidak semuanya. Aku juga tidak punya keinginan menceraikan isteriku, sebenarnya
sih mudah saja. Tapi aku lebih memilih untuk sabar dan mencoba untuk
menasehatinya, karena aku sangat, sangat, sangat mencintainya.
Aku
berharap kehidupan yang membahagiakan bersama isteriku dan saling mencintai
kembali, seperti tahun-tahun yang kami pernah lewati sebelumnya.
Ternyata
harapanku hanyalah tinggal sebuah harapan. Isteriku belum puas dengan kekayaan
yang sudah kami miliki, ia bahkan menjadi sangat liar, rakus, dan ingin lebih
kaya, dan semakin kaya lagi. Bahkan cara-caranya pun sudah mulai kelewatan dan
tidak manusiawi. Isteriku menjadi lupa diri, lupa asal usulnya, lupa pada
dirinya sebagai manusia yang punya perasaan, hati, jiwa, dan akal pikiran.
Bahkan ia lupa dengan Yang Di Atas—kalian pasti tahu maksudku. Mungkin
isteriku ingat dengan Yang Di Atas, tapi ia sengaja melupakannya,
soalnya duniawi memang menggiurkan sih.
Sudah
kubilang, silahkan saja kalau kalian mau mengatakan aku bodoh sebanyak bintang
di langit juga boleh—maksudku kalau malam hari, dan itupun kalau tidak sedang
mendung, dan tentu saja ada bintangnya. Silahkan saja mengatakan aku bodoh
sesuka hati kalian, aku sama sekali tidak akan marah kepada kalian.
Sampai
saat ini pun aku masih mencintai, dan masih bersabar mengharapkan isteriku
sadar dengan perbuatannya yang salah. Mungkin kalian benar aku bodoh, tapi
mungkin juga kalian salah. Tapi apa pun pendapat kalian, aku tidak peduli! Toh
apa pun yang kulakukan sekarang ini, aku juga punya alasan sendiri. Aku
mengalami kesulitan untuk menjelaskannya alasanku kepada kalian, tapi kalau
kupikir-pikir lagi, apa untungnya juga aku menceritakannya kepada kalian.
Sudah
empat bulan belakangan ini, isteriku mulai menunjukan keanehan lagi. Dan
keanehannya yang dilakukan kali ini, jauh lebih aneh dari keanehannya yang
pernah dilakukan sebelumnya. Anehkan?
Hampir
setiap jam isteriku masuk ke dalam kamar mandi. Semula aku juga sempat menduga
isteriku menderita penyakit kelamin. Tapi ternyata dugaanku salah. Ia masuk ke
dalam kamar mandi, ya untuk mandi. Bukan yang lain!
“Kenapa
kulitku menjadi lengket dan bau,” kata isteriku.
Tapi
belum sepatah kata pun keluar dari mulutku, isteriku sudah masuk ke kamar mandi
lagi. Kebetulan pintu kamar mandi terbuka, jadi aku pun bisa melihat apa yang
dilakukannya. Ia kembali membuka seluruh pakaiannya, lalu mengguyur tubuhnya
dengan air, dan menyabuninya.
Hari
demi hari kebiasaan isteriku yang suka mandi semakin bertambah parah. Kadang
baru satu jam selesai mandi, ia sudah mandi lagi. Bahkan pernah suatu kali, ia
baru selesai mandi, tapi belum lebih dari empat menit, ia pun sudah lari
terbirit-birit masuk ke kamar mandi, dan mandi lagi, mandi lagi, mandi lagi…
dan mandi lagi.
“Pa…”
Ia berteriak panik, “Tolong pesan sabun yang paling wangi di negeri ini! Kalau
perlu kau cari sampai keluar negeri!”
Untung
saja, aku ini orang yang sangat kaya raya, jadi aku selalu bisa memberikan apa
pun yang diminta isteriku, termasuk kebebasan. Coba kalau isteriku itu
bersuamikan tukang sayur, petani, atau pemain sirkus, mana sanggup mereka
memenuhi keinginannya.
Di
seluruh jagad ini semua perusahaan sabun yang paling wangi sudah kuhubungi,
bahkan bukan hanya sabunnya saja yang kubeli, perusahaannya! Dan kini
sabun-sabun yang paling wangi yang ada di jagad ini sudah tersedia, dan
menumpuk di gudang rumah kami.
Tapi
isteriku masih saja tidak puas, dan merasa dirinya belum wangi.
“Ma,
sudahlah!” kataku dengan nada datar, “Percuma kau mandi seribu sebelas
sekalipun dalam sehari! Biar kau gosok dengan sabun paling wangi yang ada di
jagad ini, mau kau kunyah, dan kau telan sekalipun, kau tidak mungkin bisa
wangi. Kulitmu tetap saja saja bau! Mulut dan nafas tetap saja bau!”
“Lalu
aku harus bagaimana?” Ia memonyongkan mulutnya. Hidungnya kembang-kempis
seperti mencium bau tak sedap yang memancar dari tubuhnya.
“Bau
di tubuhmu itu asalnya dari sini,” Aku menepuk dadanya.
“Apa
maksudmu,” Ia makin panik, bingung, dan entah apa lagi yang ada di dalam
perasaan dan pikirannya. Wajahnya yang putih berangsur-angsur berubah menjadi
merah. “Aku kan sudah tidak makan petai, jengkol, bawang! Lalu apa lagi?”
Sejujurnya
aku ingin tertawa mendengar ucapan isteriku itu, tapi karena ia sangat serius,
dan sama sekali tidak menunjukan kalau sedang bercanda, aku pun segera
mengurungkan niatku. “Yang kau katakan tadi,” kataku, “itu semua tidak akan
membuatmu jadi bau. Kau salah!”
“Lalu…”
Ia makin bertambah sedih.
“Kau
mau dengar,” kataku.
“Iya,”
Ia menjawab dengan nada lirih, dan sedih. Bulir-bulir air matanya pun mulai
jatuh membasahi pipinya. Sorot matanya memandang mengiba.
“Berapa
banyak kau makan orang kampung? Berapa banyak kau minum darah rakyat? Berapa
banyak kau telan sperma? Berapa banyak kau korup uang rakyat? Berapa banyak
tanah, pohon, ternak, ma—”
“Sudah,
sudah, sudah!” potongnya.
Ia
pun memelukku, dan isak tangisnya mulai semakin menjadi-jadi. Kusambut pelukan
isteriku, dan tanganku pun mulai membelai punggungnya. Pelukan seperti ini
sudah lama sekali tidak kami lakukan.
“Lalu
aku harus bagaimana?” tanya isteriku di sela tangisnya.
“T
o b a t l a h !”
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar