Selasa, 14 Februari 2012

bersama temanku


Beberapa menit yang lalu aku mendapat telepon dari seorang teman. Katanya ia sangat membutuhkan bantuanku dan menyuruhku datang ke rumahsakit tempatnya bekerja. Tentu saja aku bingung, lalu kutanyakan bantuan seperti apa yang ia butuhkan. Tapi ia malah mengatakan, intinya kau harus datang, segera! Ini masalah penting. Setelah itu ia menutup teleponnya.
Aku tidak habis pikir, dari mana ia bisa yakin kalau aku bisa membantu masalah yang sedang dihadapinya. Padahal temanku itu adalah seorang dokter, sedangkan pekerjaanku tetap adalah mencari pekerjaan, singkatnya pengangguran. Sebenarnya hubunganku dengan temanku itu boleh dikatakan kurang akrab, hanya kebetulan saja dulu kami pernah tinggal bertetangga, tapi meskipun demikian kami juga jarang bertemu. Kalau kami bertemu, itupun dikarenakan tidak sengaja, lalu kami hanya sebatas saling menanyakan kabar atau dari mana, hanya sebatas itu. Kami belum pernah terlibat dalam obrolan waktu lebih dari sepuluh menit. Maklum setiap kali aku bertemu dengan temanku, ia selalu kelihatan sedang sibuk. Aku tahu ia menjadi dokter dari berita yang kubaca di koran, dan bukan dari mulutnya sendiri. Sampai sekarang, meskipun kami saling mempunyai ponsel, tapi kami jarang berhubungan. Paling-paling ia meneleponku hanya untuk menanyakan apa kabar, begitu juga sebaliknya dengan aku. Tapi belum lebih dari satu menit, ia mengatakan, “Sorry, aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Nanti kuhubungi lagi…” Setelah telepon ditutup, seharian penuh ia tidak meneleponku lagi. Bahkan kadang satu-dua bulan kemudian ia baru meneleponku lagi, tapi hanya seperti yang pernah terjadi pada sebelumnya. Sejujurnya, aku juga sering mengurungkan niatku untuk menelepon dia, aku takut mengganggu kesibukannya.
Terakhir kali temanku menelepon aku itu kira-kira sebulan yang lalu, tepatnya aku sudah lupa. Dan hari ini, tepatnya selasa, jam 10:11 pagi, ia kembali meneleponku. Meskipun obrolan kami kurang dari satu menit, tapi ia mengucapkan kata-kata yang berbeda, yang belum pernah dikatakan sebelumnya.
Sejujurnya aku kurang begitu bersemangat untuk menemui temanku itu. Tapi setelah kupikir dan kupertimbangkan berulang kali, akhirnya aku memutuskan menemuinya. Tidak aku pungkiri sebenarnya aku sedikit tidak, sedikit kurang, mungkin lebih tepatnya ada yang mengganjal di dalam hatiku. Sesuatu yang sangat sulit untuk kujelaskan, singkatnya, aku kurang ikhlas menemui temanku itu.

Setibanya di rumahsakit, aku pun langsung mengutarakan keperluanku kepada satpam. Setelah mendapat informasi, tanpa membuang waktu aku pun langsung menuju ke ruang kerja temanku. Sejujurnya aku bukan bernafsu ingin bertemu dengan temanku, aku hanya ingin sesegera mungkin menyelesaikannya urusanku dengannya, dan secepat mungkin meninggalkan rumahsakit ini. Alasanku yang pertama, aku tidak suka berlama-lama berada di rumahsakit. Yang kedua aku sangat membenci rumahsakit. Sedangkan alasanku yang ketiga lebih parah dari alasanku yang pertama dan kedua.
Aku mengetuk pintu, namun baru satu kali jariku membentur, suara dari dalam sudah memotong terlebih dulu. “Masuk! Aku sudah menunggumu sejak dari tadi.”
Di sebuah meja besar tergeletak tiga orang mayat.
“Tolong ditutup lagi pintunya,” katanya. Ia menarik kursi dari bawah meja, lalu tangannya memberi isyarat kepadaku untuk duduk. “Selama ini ribuan lebih mayat sudah pernah kuperiksa, kau tahu, aku adalah ahlinya.” katanya. Nada bicaranya seperti penyair yang sedang membaca puisi, tapi ia tergolong penyair yang jelek. “Bahkan mayat yang sudah membusuk, atau pun patah tulang, aku bisa tahu penyebab kematiannya.”
Aku tidak mengerti kenapa ia mengoceh tidak karuan seperti itu. Apa urusanku, pikirku. Lagipula dia mau membedah mayat sampai jutaan, atau lebih… dan mengetahui segalanya, peduli apa aku dengan itu semua. Aku bukan dokter, dan aku juga tidak berniat untuk menjadi dokter.
“Aku sedang dalam proyek penelitian besar,” katanya datar. Ia memandang ke arahku. “Kau tahu proyek apa yang sedang kukerjakan sekarang?”
Aku berusaha menelaah apa maksud perkataannya. Kalau perkataannya hanya untuk bermaksud sombong, apa yang ia dapatkan dariku. Tapi kalau perkataannya sebuah pertanyaan, jelas ia salah orang.
“Aku sedang mengadakan penelitian tentang otak!” Ia mengacungkan jari telunjuknya di depan mukaku. Seakan-akan aku ini murid yang melakukan kesalahan pada gurunya. Aku diam. Ia balik badan. “Tapi aku sedang dalam kesulitan besar…” katanya lagi.
“Maksudmu apa,” kataku bingung. “Kau pikir aku ini apa? Siapa?” Aku memandang temanku. “Kenapa kau bisa beranggapan aku sanggup membantu kesulitanmu,” kataku lagi. “Ternyata kau lebih bodoh, dan sangat menjengkelkan dari yang selama ini kukira. Tapi kalau… sepertinya kedatanganku ke sini hanya membuang-buang waktu saja, ini percuma, dengan mencari pekerjaan. Sebaiknya aku pulang saja…” Aku beranjak dari kursi.
“Aku sudah bertemu dengan dokter-dokter ahli terkemuka di seluruh dunia ini,” katanya. Nada suaranya sekarang terkesan sedih. “Tapi kami semua tidak menemukan pemecahannya. Bahkan seluruh dokter ahli tentang penyakit tumor dan kanker otak, mereka angkat tangan.”
“Lalu apa hubungannya dengan aku,” kataku makin kesal.
“Justru itu,” katanya. Nada bicaranya seolah-olah sedang memberitahu kalau aku baru saja melakukan sesuatu kesalahan yang tidak aku sadari. “Selama ini aku hanya berhubungan dengan masalah kedokteran, dan semua temanku juga dokter. Tapi seperti yang sudah kukatakan kepadamu, aku gagal menemukan pemecahan inti masalah yang sedang kuhadapi ini. Untuk itulah aku membutuhkan bantuanmu, karena hanya kau satu-satunya temanku yang profesinya bukan seorang dokter.”
“Apa kau sudah sinting,” sahutku. “Dokter yang sudah ahlinya saja tidak bisa, apalagi aku. Cobalah dipikir baik-baik…”
“Jangan pergi dulu,” katanya memohon. “Coba kau lihat ini,” ia menyingkapkan kain yang menutupi kepala mayat di atas meja.
Aku balik badan, mengurungkan niatku untuk pergi. “Apa yang mesti kulihat lagi!” kataku, “Mayat? Kenapa? Menurutku itu tidak ada yang perlu dibahas, bukankah memang seharusnya begitu. Dan kita semua juga mengalaminya…”
“Aku minta waktumu sebentar saja,” katanya tanpa melihat ke arahku. Ternyata tiga mayat yang telungkup di meja itu, sebelumnya pada kepala bagian belakang sudah diiris. Dan sekarang temanku sedang berusaha mencopot batok kepala tiga mayat itu. “Okay…” katanya. “Sekarang lihat, dan perhatikan otak ketiga mayat ini dengan baik-baik. Ini adalah tiga mayat yang berbeda profesinya ketika masih hidup. Mayat yang paling pinggir sebelah kiri, yang bertubuh kurus dan kerempeng, ia adalah seorang petani. Sedangkan mayat yang tengah, yang bertubuh tegap, ia adalah seorang tentara. Sedangkan mayat yang satu lagi, yang bertubuh sangat gendut, ia adalah orang penting, salah satu pejabat pemerintah di negeri ini.”
“Lalu…” kataku makin bingung. “Apalagi yang aneh?”
“Tidakkah kau melihat perbedaannya!” Ia memandang ke arahku.
Kata yang diucapkan temanku terkesan sama dengan “Apakah kau buta!”
“Bukankah sudah terlihat jelas,” katanya lagi, “kalau ketiga mayat ini bentuk otaknya berbeda. Tak seorang pun dokter ahli otak di dunia ini yang mampu memberikan penjelasan masalah ini.”
“Sejujurnya…” kataku. “Ini adalah pengalaman pertama kalinya aku melihat isi kepala manusia. Tapi sepertinya aku yakin —”
“Yakin apa!” potongnya, “Maksudmu kau tahu penjelasannya, kenapa ketiga otak manusia ini bisa berbeda! Tapi bagaimana bisa, bahkan dokter-dokter ahli yang menyelesaikan pendidikan bertahun-tahun saja…” Ia tidak melanjutkan ucapannya. Ia malah menggelengkan kepalanya, dan mengangkat kedua bahunya.
“Aku heran dengan sikapmu itu,” kataku. “Bukankah kau sendiri yang memintaku datang ke sini untuk membantumu, tapi sekarang…”
“Maaf Teman,” katanya, “aku… Baiklah apa penjelasanmu mengenai perbedaan ketiga otak mayat ini.” Ia lalu mengambil sebuah buku dan pena. “Aku akan mencatat semua penjelasanmu.”
“Mayat yang profesinya petani,” kataku, “dan kenapa otak petani ini membengkak melebihi tempurung kepalanya serta berwarna kebiru-biruan. Menurutku, itu disebabkan setiap hari ia terlampau keras berpikir, dan memaksimalkan kerja otaknya.  Sepertinya permasalahan yang dihadapinya telah menguras pikirannya; soal hama yang sulit untuk diberantas, harga pupuk yang kian hari melambung tinggi, atau hal-hal lainnya yang menyebabkan sawahnya gagal panen.”
Ia memandang ke arahku, dan mengangguk-anggukan kepalanya. Dari senyum dan raut wajahnya, aku bisa menebak, kalau ia puas dengan penjelasan yang kuberikan.
“Mayat yang profesinya tentara,” aku melanjutkan, “dan kenapa otak di kepalanya hanya sebesar ibu jari, dan nyaris tidak ada. Sebagaimana profesi yang dijalaninya, ia lebih sering menggunakan otot daripada otaknya. Jadi menurutku itu sangat wajar sekali, kalau otak yang dimilikinya mengkerut. Bagaimana tidak?! Ia berperang dan membunuh banyak orang, tapi setelah itu ia tertawa terbahak-bahak, dan berteriak-teriak ‘kita menang! Kita menang!’. Menang dari apa?”
“Oh, kalau begitu para tentara itu tidak punya otak…” katanya. Nada bicaranya seperti sedang bergumam. Sementara tangannya sibuk menulis. “Tunggu sebentar!” katanya lagi, “Sebelumnya aku juga pernah memeriksa mayat seorang polisi, tapi otak di kepalanya tidak ada juga, hanya kecil sama seperti tentara ini.”
“Hmm…” Aku bergumam. “Tadi malam aku sedang duduk di tepi jalan bersama kawan-kawanku, tiba-tiba gerombolan polisi datang menghampiri kami. Mereka menendang kami terlebih dulu, baru bertanya. Bahkan pertanyaannya mereka pun lebih tepatnya sebuah tuduhan. Mereka bilang ‘kalian sedang mabok dan akan membuat onar ya?!’. Jadi menurutku polisi dan tentara itu sama saja, mereka memang tidak punya otak. Kalaupun punya, kurasa kecil sekali, seperti ini, dan tentu juga tidak ada fungsinya.”
“Berarti besar kecilnya otak manusia itu sangat berkaitan dengan profesinya,” katanya tanpa menoleh ke arahku. Dan tangannya sibuk menulis pada bukunya.
“Sedangkan mayat yang profesinya pejabat pemerintah,” kataku, “dan kenapa justru otaknya utuh, dan tampak sangat pas di kepalanya. Menurutku itu juga sangat wajar, karena ia memang tidak pernah berpikir. Semua waktunya habis untuk bersenang-senang dan pesta-pora. Mereka hanya punya nafsu. Sudah sangat jelas kan? Jadi otak mereka utuh dan sangat sesuai ukurannya di dalam kepala.”
“Betapa sangat bodohnya aku!” ia mengumpat dirinya sendiri. “Bertahun-tahun aku belajar tentang kedokteran, tap—”
“Tenang, tenang…” potongku, “Kau tidak bodoh, justru kau dan teman-teman doktermu itu terlalu pintar.”
“Apa yang pintar? Apa maksudmu?”
“Sejujurnya kau memang tidak bodoh,” kataku. “Justru kau terlalu pintar itu, tapi sayangnya kau menjalani hidup tidak seimbang. Selama ini kau hanya bergelut dengan kepintaran yang kau miliki, tapi mata, hati nuranimu, perasaanmu…”
“Maksudmu apa?”
“Tujuanmu menjadi dokter untuk apa?” aku balik bertanya.
“Untuk menolong orang lain tentu saja!” jawabnya cepat.
“Aku akui itu tujuan yang sangat mulia,” aku mengacungkan jempolku. “Tapi apakah kau pernah berpikir kalau orang-orang di luar sana sehat semua, kau salah besar! Justru mereka tidak mau periksa ke rumahsakit, karena tidak mampu membayar biayanya. Kalau saja kau punya nurani… Aku yakin, kau pasti mengetahui kalau di luar sana masih banyak orang yang hidupnya memprihatinkan, yang jelas-jelas membutuhkan pertolongan orang sepertimu. Sekarang apa aku salah, kalau aku meragukan tujuanmu menjadi seorang dokter? Membantu orang? Atau uang? Atau…”
Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku berkata kasar padanya. Tiba-tiba saja kekecewaanku pada dokter keluar begitu saja dari mulutku tanpa bisa kutahan. Padahal aku tahu tidak semua dokter tidak mempunyai hati nurani seperti yang telah aku katakan pada temanku. Tapi entahlah…
“Maafkan aku teman,” katanya lirih. “Aku janji mulai besok, aku…” ia tidak melanjutkan ucapannya.
Kupikir ia akan marah, setelah kukatakan tidak punya hati nurani.
“Untuk apa kau mengucap janji padaku,” kataku. “Semua yang kau lakukan tidak ada yang salah, kau juga tidak perlu minta maaf kepadaku. Hidupmu ya urusanmu sendiri, keputusan ada di tanganmu sendiri, karena kau sendiri juga yang menjalani hidupmu. Sudah sekarang aku mau pulang…”
“Tunggu dulu!” katanya, “Aku ingin minta maaf, tadi aku lupa menanyakan kabarmu. Tadi aku benar-benar sangat bingung sekali.” Ia tersenyum. “Terima kasih Teman,” katanya lagi, “kau sudah banyak membantuku. Dan… membuatku menyadari kesalahanku selama ini,” ia mengulurkan tangannya. “Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu?”
Aku menerima uluran tangannya, dan kami pun berjabat tangan.
“Kita masih berteman bukan,” katanya pelan.
Kupikir memang tidak ada salahnya berteman. Lalu aku pun menganggukan kepala. “Sebaiknya aku pulang…” kataku. “Banyak pekerjaan yang harus kulakukan di rumah.”
“Sekali lagi terima kasih atas semuanya,” katanya. “Hati-hati ya…”
“Sama-sama,” kataku. “Oh iya, suatu saat jika kau masih ingin melanjutkan penelitian lagi soal otak pada manusia. Aku ikhlas jika kau ingin membedah kepalaku dan melihat otakku. Ku—”
“Sembarangan saja kalau bicara!” potongnya, “Kau kan belum mati.”
“Kurasa tidak akan lama lagi,” kataku, “aku yakin otakku akan berbeda dari yang selama ini pernah kau jumpai. Aku hanya ingin menyarankan saja, sebelum kau membedah kepalaku sebaiknya kau menyediakan tempat terlebih dulu. Karena sangat mungkin otakku akan menyembur seperti kembang api.”

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar