Minggu, 19 Februari 2012

Desember kelabu


Tanggal 24 Desember 2000. Di sebuah negeri yang sangat tersembunyi, para wakil dan para penguasa negeri itu akan mengadakan rapat akhir tahun secara tertutup, rahasia. Acara seperti ini sangat jarang sekali terjadi, selain tempatnya yang tersembunyi, para anggota rapatnya pun sudah pilihan sejak bertahun tahun yang lalu. Mereka yang tergabung dalam anggota rapat itu harus melewati seleksi yang sangat ketat. Jadi apa pun kegiatan mereka pun selalu terjaga kerahasiaannya. Rapat akhir tahun itu akan dipimpin raja di atas segala raja di dunia ini, Tuhan.
Jam delapan pagi tepat, tidak kurang, dan tidak lebih. Suara bunyi gong bergema, menandai rapat akan segera dimulai. Seluruh anggota rapat yang sudah satu jam lalu berada di ruangan ini, serempak berdiri.
“Hidup Panjang untuk Sang Raja! Sejahtera untuk Sang Raja! Damai untuk Sang Raja! Mulia untuk Sang Raja!” Serempak para anggota rapat mengawali pembukaan rapat dengan gema pujian untuk Sang Raja.
Setelah itu suasana kembali menjadi hening. Pada saat tirai kain terbuka muncul sesosok yang menyerupai manusia dan mengenakan jubah hitam. Para anggota rapat yang ada di ruangan ini meyakini sesosok yang berjubah hitam itu Tuhan, Sang Penguasa alam semesta raya.
Tuhan pun berdiri di atas mimbar, lalu mengangkat kedua tangannya. Ia pun berkata, “Aku berkati kalian semua!”
“Salam!” Ucap seluruh anggota rapat secara serempak.
Setelah itu para anggota rapat kembali duduk di kursi yang ada di belakangnya.
Tuhan pun segera membuka acara rapat akhir tahun dengan pidato kecil. Ia sama sekali tidak mengeluarkan secarik kertas, seperti yang dilakukan oleh seorang presiden atau pejabat pemerintah yang pernah kulihat di televisi.
“Seperti biasa rapat akhir tahun kali ini, semata-mata hanya untuk menjalin kebersamaan dan melanjutkan misi kita di dunia ini. Namun hari ini aku akan membuatnya berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena tahun ini, adalah tahun yang sangat istemewa. Natal, Idul Fitri saling berdekatan hari dan tanggalnya, kemudian akan disusul dengan tahun baru,” Tuhan mengambil segelas air putih yang ada di dekatnya dan meminumnya sedikit, lalu mengambil sapu tangan putih bersih yang terlipat rapi di sebelah gelas dan menyeka keringat di wajahnya. “Karena waktuku yang sangat sempit, maka langsung saja pada pokok permasalahan. Aku akan langsung membagi-bagikan tugas sesuai keahlian dan kepintaran kalian semua.”
Suasana tetap tidak berubah, sangat hening. Semua anggota rapat yang ada di ruangan ini tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun, bahkan mereka tidak ada yang berbisik-bisik, ataupun bertanya dengan sebelah-nya. Para anggota rapat benar-benar sangat serius, sama sekali tidak ada yang bercanda, atau mengutak-atik ponsel. Mata mereka semua tertuju pada mimbar, pada Tuhan. Mungkin mereka sangat takut akan kehebatan Tuhan, yang sudah terdengar pamornya sejak dari jaman dulu kala. Jadi seandainya mereka membuat kesalahan, bisa-bisa mereka dapat kutukan.
“Tikus!” kata Tuhan, “Kulihat kau yang paling pandai menyusup dibandingkan yang lainnya, maka aku akan memberikan tugas ini kepadamu. Tapi ingat, kau harus menggunakan kepintaran yang kau miliki. Kau jangan sampai kalah dengan sinterklas. Mengerti!”
“Hamba yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Tikus berdiri lalu mengucap salam hormat. Ia mewakili teman-temannya yang duduk di sebelahnya.
“Kirimkan parcel ini ke seluruh gereja-gereja,” Tuhan berkata dengan penuh wibawa, “untuk sementara ini gereja yang ada di Indonesia dulu. Mungkin tahun depan kita akan merambah ke gereja-gereja yang ada negara-negara lain, seperti Australia, Amerika, Perancis, dan seluruh gereja-gereja yang ada di dunia ini. Tapi kau harus hati-hati! Dan perlu kau ketahui, di dalam parcel ini sudah diisi bom, serta jam meledaknya pun sudah diatur antara jam enam sore sampai tengah malam. Jadi segeralah kau laksanakan perintahku, sekarang juga!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Ucap Tikus memberi salam hormat. Tikus tidak melupakan kebiasaannya kalau hatinya sedang bahagia, dengan kedua kaki depannya ia menggaruk-garuk mulutnya yang moncong. Kumisnya yang hanya beberapa helai bergerak-gerak. Kemudian ia pun duduk kembali ke kursinya.
Tuhan diam sejenak. Ia memandang keseluruh ruangan. “Kerbau dan Sapi!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Ucap Kerbau dan Sapi memberi salam hormat. Saat mereka akan beranjak berdiri dari kursinya, mereka sempat bersenggolan. Dan hampir saja salah satu dari mereka terjatuh.
“Tugas kalian berdua kali ini, sama seperti pekerjaanmu yang biasa kalian lakukan.” Tuhan memberikan penjelasan, “Kalian berdua berpura-puralah menjaga keamanan di kawasan yang sudah meledak. Tapi ingat! Kalian datangnya harus terlambat.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Ucap Sapi dan Kerbau memberi salam hormat, mereka bicara secara bersamaan. Setelah itu mereka duduk kembali ke kursinya masing-masing, tapi mereka duduk secara bergantian. Sapi yang lebih dulu duduk, ia menggigit ekor Kerbau, lalu menurunkan pantatnya ke kursi secara perlahan-lahan. Kemudian ketika Kerbau akan duduk, Sapi pun membantu dengan menahan punggung Kerbau dengan kedua kaki depannya, mungkin mereka menjaga supaya tidak terjadi saling tindih atau terjatuh.
Kalau kalian pernah menonton sirkus, hampir kurang lebih seperti itulah suasana yang sesungguhnya ada dalam ruangan rapat itu. Tapi sekali lagi ini kukatakan, ini bukan sirkus. Ini adalah rapat akhir tahun yang sangat serius. Bahkan karena sangat seriusnya, tidak ada seorangpun, —maksudku tidak ada seekor binatang pun yang bercanda atau tertawa. Tapi kalau kalian ingin tertawa, silahkan saja. Karena kalian tidak berada langsung di dalam ruangan rapat ini. Dan terlebih lagi tentunya kalian juga bukan binatang.
Tuhan kembali terdiam, keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. Beberapa detik berlalu, namun suasana masih terjaga keheningannya. Mata Tuhan terus bergerak dari satu sudut ke sudut lain, seperti sedang mencari sesuatu. Para anggota rapat pun semakin cemas menunggu giliran tugas.
“Tugas selanjutnya untuk Kancil!” suara Tuhan memecah keheningan.
Kancil dengan brewok yang menghias wajahnya berdiri untuk mewakili teman-temannya, “Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” ucapnya memberi salam hormat.
“Aku yakin dengan pilihanku, hanya kau yang mampu melakukannya, jadi kau harus bisa meyakinkan orang-orang, dan hasut mereka!” Tuhan memberikan pengarahan dengan nada yang sangat tenang, “Usahakan mereka menjadi marah, dan saling mencurigai. Supaya mereka saling balas dendam. Agar masyarakat di negeri ini menjadi tegang dan panik.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Kancil berucap memberi salam hormat. Ia mengelus brewoknya yang lebat. Setelah itu kedua kaki depannya secara bergantian digoyang-goyangkan ke kiri dan ke kanan, secara cepat. Mungkin ia sedang melemaskan otot kakinya yang kaku.
“Supaya bulan Desember ini penuh dengan petasan, kembang api, dan… Bom! Supaya Desember kali ini menjadi kenangan yang tak terlupakan kemeriahan, dalam menyongsong tahun baru…” Suara Tuhan menggelegar bergema dalam seisi ruangan, seperti ribuan petir yang sedang main kejar-kejaran, memecah keheningan.
“Aku akan berikan tugas terakhir kepada… Babi!”
Dengan susah payah Babi bangkit dari tempat duduknya, “Hambva Dyang Mulya, Radja dhan Tuhjan kamhi!” Ucapnya dengan suara cadel.
“Kau menyebar ke pelosok negeri,” Tuhan pun memberi pengarahan dengan nada lebih pelan namun selalu ada tekanan dalam setiap kata yang diucapkan. Tuhan tahu betul kalau Babi di hadapannya itu pendengaran sedikit kurang sempurna. “Bila melihat orang-orang dengan gelagat aneh, langsung dimakan saja! Telanlah mereka mentah-mentah, tidak perlu dikunyah! Biar perutmu yang buncit itu, semakin membuncit…”
“Hambva Dyang Mulya, Radja dhan Tuhjan kamhi!” Babi itu langsung mengucap salam hormat. Tapi ketika ia ingin duduk, ia mengalami sedikit kesulitan. Ia pun terlebih dulu memutar tubuhnya untuk mengetahui posisi kursinya. Perutnya yang buncit penuh lemak yang hampir menyentuh lantai, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Ekornya yang membentuk spiral, ujungnya bergerak menjentik, seperti radar antena. Setelah merasa posisi kursinya sudah tepat, ia pun meloncat ke arah belakang, dan langsung menghempaskan pantatnya. Untung saja tidak meleset.
“Dan semua yang hadir di sini…” Tuhan kembali berucap dengan suara lantang, “Ayam, Kecoa, Kadal, Lintah, Singa, Rayap, Kumbang, Buaya, Cicak, Jerapah, Ular, Kura-kura, kambing, Anjing, dan yang lainya… Kuharap kalian bisa mengerti posisinya masing-masing, bila perlu bantulah kawan-kawan kalian yang lain.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Serempak seluruh anggota rapat mengucapkan salam hormat.
“Semuanya sudah jelas?”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Kalau tidak ada pertanyaan, maka rapat ini akan aku akhiri sampai di sini.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Lalu terdengar dentang bunyi gong sebanyak tiga kali. Maka rapat itu pun dinyatakan sudah selesai. Tuhan pun kembali mengangkat kedua tangannya, dan berkata, “Aku berkati kalian semua!” Ia pun turun dari atas mimbar, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan ruang rapat.
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Gema puja-puji seluruh anggota rapat terus menggema, mengiringi kepergian Tuhan. Ketika Tuhan akan melewati tirai kain, para anggota rapat pun langsung mengucapkan salam akhir.
“Hidup Panjang untuk Sang Raja! Sejahtera untuk Sang Raja! Damai untuk Sang Raja! Mulia untuk Sang Raja!”

* * * * *

cerpen ini ditulis pada hari Natal tanggal 25 Desember 2000 pada jam 03:00-05:00 pagi, sehabis menyaksikan siaran langsung di televisi; tentang peledakan bom di gereja-gereja seluruh Indonesia. Dan gereja yang runtuh maupun yang selamat dari ledakan bom tetap melaksanakan aktivitasnya. Para aparat dan polisi berseragam dan bersenjata berjaga mengelilingi gereja. Bagi mereka yang ingin merayakan Natal harus berjalan satu per satu dalam antrian panjang, melalui pemerikasaan ketat sebelum memasuki gereja, seakan-akan mereka adalah tawanan perang.
Bom Christmas 2000



Tidak ada komentar:

Posting Komentar