Tanggal 24 Desember 2000. Di sebuah negeri
yang sangat tersembunyi, para wakil dan para penguasa negeri itu akan
mengadakan rapat akhir tahun secara tertutup, rahasia. Acara seperti ini sangat
jarang sekali terjadi, selain tempatnya yang tersembunyi, para anggota rapatnya
pun sudah pilihan sejak bertahun tahun yang lalu. Mereka yang tergabung dalam
anggota rapat itu harus melewati seleksi yang sangat ketat. Jadi apa pun kegiatan
mereka pun selalu terjaga kerahasiaannya. Rapat akhir tahun itu akan dipimpin
raja di atas segala raja di dunia ini, Tuhan.
Jam delapan pagi tepat, tidak kurang, dan
tidak lebih. Suara bunyi gong bergema, menandai rapat akan segera dimulai.
Seluruh anggota rapat yang sudah satu jam lalu berada di ruangan ini, serempak
berdiri.
“Hidup Panjang untuk Sang Raja! Sejahtera
untuk Sang Raja! Damai untuk Sang Raja! Mulia untuk Sang Raja!” Serempak para
anggota rapat mengawali pembukaan rapat dengan gema pujian untuk Sang Raja.
Setelah itu suasana kembali menjadi hening.
Pada saat tirai kain terbuka muncul sesosok yang menyerupai manusia dan mengenakan
jubah hitam. Para anggota rapat yang ada di ruangan ini meyakini sesosok yang berjubah
hitam itu Tuhan, Sang Penguasa alam semesta raya.
Tuhan pun berdiri di atas mimbar, lalu
mengangkat kedua tangannya. Ia pun berkata, “Aku berkati kalian semua!”
“Salam!” Ucap seluruh anggota rapat secara
serempak.
Setelah itu para anggota rapat kembali
duduk di kursi yang ada di belakangnya.
Tuhan pun segera membuka acara rapat akhir
tahun dengan pidato kecil. Ia sama sekali tidak mengeluarkan secarik kertas,
seperti yang dilakukan oleh seorang presiden atau pejabat pemerintah yang
pernah kulihat di televisi.
“Seperti biasa rapat akhir tahun kali ini,
semata-mata hanya untuk menjalin kebersamaan dan melanjutkan misi kita di dunia
ini. Namun hari ini aku akan membuatnya berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya, karena tahun ini, adalah tahun yang sangat istemewa. Natal, Idul Fitri
saling berdekatan hari dan tanggalnya, kemudian akan disusul dengan tahun
baru,” Tuhan mengambil segelas air putih yang ada di dekatnya dan meminumnya
sedikit, lalu mengambil sapu tangan putih bersih yang terlipat rapi di sebelah
gelas dan menyeka keringat di wajahnya. “Karena waktuku yang sangat sempit,
maka langsung saja pada pokok permasalahan. Aku akan langsung membagi-bagikan
tugas sesuai keahlian dan kepintaran kalian semua.”
Suasana tetap tidak berubah, sangat hening.
Semua anggota rapat yang ada di ruangan ini tidak ada yang mengeluarkan sepatah
katapun, bahkan mereka tidak ada yang berbisik-bisik, ataupun bertanya dengan
sebelah-nya. Para anggota rapat benar-benar sangat serius, sama sekali tidak
ada yang bercanda, atau mengutak-atik ponsel. Mata mereka semua tertuju pada
mimbar, pada Tuhan. Mungkin mereka sangat takut akan kehebatan Tuhan, yang
sudah terdengar pamornya sejak dari jaman dulu kala. Jadi seandainya mereka
membuat kesalahan, bisa-bisa mereka dapat kutukan.
“Tikus!” kata Tuhan, “Kulihat kau yang
paling pandai menyusup dibandingkan yang lainnya, maka aku akan memberikan
tugas ini kepadamu. Tapi ingat, kau harus menggunakan kepintaran yang kau miliki. Kau jangan
sampai kalah dengan sinterklas. Mengerti!”
“Hamba yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Tikus berdiri lalu mengucap salam hormat. Ia mewakili teman-temannya yang duduk
di sebelahnya.
“Kirimkan parcel ini ke seluruh
gereja-gereja,” Tuhan berkata dengan penuh wibawa, “untuk sementara ini gereja
yang ada di Indonesia dulu. Mungkin tahun depan kita akan merambah ke
gereja-gereja yang ada negara-negara lain, seperti Australia, Amerika,
Perancis, dan seluruh gereja-gereja yang ada di dunia ini. Tapi kau harus
hati-hati! Dan perlu kau ketahui, di dalam parcel ini sudah diisi bom, serta
jam meledaknya pun sudah diatur antara jam enam sore sampai tengah malam. Jadi
segeralah kau laksanakan perintahku, sekarang juga!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Ucap Tikus memberi salam hormat. Tikus tidak melupakan kebiasaannya kalau
hatinya sedang bahagia, dengan kedua kaki depannya ia menggaruk-garuk mulutnya
yang moncong. Kumisnya yang hanya beberapa helai bergerak-gerak. Kemudian ia
pun duduk kembali ke kursinya.
Tuhan diam sejenak. Ia memandang keseluruh
ruangan. “Kerbau dan Sapi!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Ucap Kerbau dan Sapi memberi salam hormat. Saat mereka akan beranjak berdiri
dari kursinya, mereka sempat bersenggolan. Dan hampir saja salah satu dari
mereka terjatuh.
“Tugas kalian berdua kali ini, sama seperti
pekerjaanmu yang biasa kalian lakukan.” Tuhan memberikan penjelasan, “Kalian
berdua berpura-puralah menjaga keamanan di kawasan yang sudah meledak. Tapi
ingat! Kalian datangnya harus terlambat.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Ucap Sapi dan Kerbau memberi salam hormat, mereka bicara secara bersamaan.
Setelah itu mereka duduk kembali ke kursinya masing-masing, tapi mereka duduk
secara bergantian. Sapi yang lebih dulu duduk, ia menggigit ekor Kerbau, lalu
menurunkan pantatnya ke kursi secara perlahan-lahan. Kemudian ketika Kerbau
akan duduk, Sapi pun membantu dengan menahan punggung Kerbau dengan kedua kaki
depannya, mungkin mereka menjaga supaya tidak terjadi saling tindih atau
terjatuh.
Kalau kalian pernah menonton sirkus, hampir
kurang lebih seperti itulah suasana yang sesungguhnya ada dalam ruangan rapat
itu. Tapi sekali lagi ini kukatakan, ini bukan sirkus. Ini adalah rapat akhir
tahun yang sangat serius. Bahkan karena sangat seriusnya, tidak ada seorangpun,
—maksudku tidak ada seekor binatang pun yang bercanda atau tertawa. Tapi kalau
kalian ingin tertawa, silahkan saja. Karena kalian tidak berada langsung di
dalam ruangan rapat ini. Dan terlebih lagi tentunya kalian juga bukan binatang.
Tuhan kembali terdiam, keningnya berkerut
seperti sedang berpikir keras. Beberapa detik berlalu, namun suasana masih
terjaga keheningannya. Mata Tuhan terus bergerak dari satu sudut ke sudut lain,
seperti sedang mencari sesuatu. Para anggota rapat pun semakin cemas menunggu
giliran tugas.
“Tugas selanjutnya untuk Kancil!” suara Tuhan
memecah keheningan.
Kancil dengan brewok yang menghias wajahnya berdiri untuk mewakili
teman-temannya, “Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” ucapnya memberi salam
hormat.
“Aku yakin dengan pilihanku, hanya kau yang
mampu melakukannya, jadi kau harus bisa meyakinkan orang-orang, dan hasut mereka!” Tuhan memberikan pengarahan dengan nada yang sangat tenang, “Usahakan
mereka menjadi marah, dan saling mencurigai. Supaya mereka saling balas dendam.
Agar masyarakat di negeri ini menjadi tegang dan panik.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!” Kancil
berucap memberi salam hormat. Ia mengelus brewoknya yang lebat. Setelah
itu kedua kaki depannya secara bergantian digoyang-goyangkan ke kiri dan ke
kanan, secara cepat. Mungkin ia sedang melemaskan otot kakinya yang kaku.
“Supaya bulan Desember ini penuh dengan
petasan, kembang api, dan… Bom! Supaya Desember kali ini menjadi kenangan yang
tak terlupakan kemeriahan, dalam menyongsong tahun baru…” Suara Tuhan
menggelegar bergema dalam seisi ruangan, seperti ribuan petir yang sedang main
kejar-kejaran, memecah keheningan.
“Aku akan berikan tugas terakhir kepada…
Babi!”
Dengan susah payah Babi bangkit dari tempat
duduknya, “Hambva Dyang Mulya, Radja dhan Tuhjan kamhi!” Ucapnya dengan suara
cadel.
“Kau menyebar ke pelosok negeri,” Tuhan
pun memberi pengarahan dengan nada lebih pelan namun selalu ada tekanan dalam
setiap kata yang diucapkan. Tuhan tahu betul kalau Babi di hadapannya itu pendengaran sedikit kurang sempurna. “Bila melihat orang-orang dengan gelagat
aneh, langsung dimakan saja! Telanlah mereka mentah-mentah, tidak perlu
dikunyah! Biar perutmu yang buncit itu, semakin membuncit…”
“Hambva Dyang Mulya, Radja dhan Tuhjan
kamhi!” Babi itu langsung mengucap salam hormat. Tapi ketika ia ingin duduk, ia
mengalami sedikit kesulitan. Ia pun terlebih dulu memutar tubuhnya untuk
mengetahui posisi kursinya. Perutnya yang buncit penuh lemak yang hampir menyentuh lantai, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan. Ekornya yang membentuk
spiral, ujungnya bergerak menjentik, seperti radar antena. Setelah merasa
posisi kursinya sudah tepat, ia pun meloncat ke arah belakang, dan langsung
menghempaskan pantatnya. Untung saja tidak meleset.
“Dan semua yang hadir di sini…” Tuhan
kembali berucap dengan suara lantang, “Ayam, Kecoa, Kadal, Lintah, Singa,
Rayap, Kumbang, Buaya, Cicak, Jerapah, Ular, Kura-kura, kambing,
Anjing, dan yang lainya… Kuharap kalian bisa mengerti posisinya masing-masing,
bila perlu bantulah kawan-kawan kalian yang lain.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Serempak seluruh anggota rapat mengucapkan salam hormat.
“Semuanya sudah jelas?”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Kalau tidak ada pertanyaan, maka rapat ini
akan aku akhiri sampai di sini.”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Lalu terdengar dentang bunyi gong sebanyak
tiga kali. Maka rapat itu pun dinyatakan sudah selesai. Tuhan pun kembali
mengangkat kedua tangannya, dan berkata, “Aku berkati kalian semua!” Ia pun
turun dari atas mimbar, kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan ruang rapat.
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
“Hamba Yang Mulia, Raja dan Tuhan kami!”
Gema puja-puji seluruh anggota rapat terus
menggema, mengiringi kepergian Tuhan. Ketika Tuhan akan melewati tirai kain,
para anggota rapat pun langsung mengucapkan salam akhir.
“Hidup Panjang untuk Sang Raja! Sejahtera
untuk Sang Raja! Damai untuk Sang Raja! Mulia untuk Sang Raja!”
*
* * * *
cerpen ini ditulis pada hari
Natal tanggal 25 Desember 2000 pada jam 03:00-05:00 pagi, sehabis menyaksikan
siaran langsung di televisi; tentang peledakan bom di gereja-gereja seluruh
Indonesia. Dan gereja yang runtuh maupun yang selamat dari ledakan bom tetap
melaksanakan aktivitasnya. Para aparat dan polisi berseragam dan bersenjata
berjaga mengelilingi gereja. Bagi mereka yang ingin merayakan Natal harus
berjalan satu per satu dalam antrian panjang, melalui pemerikasaan ketat
sebelum memasuki gereja, seakan-akan mereka adalah tawanan perang.
Bom Christmas 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar