Sudah empat Jumat ini pikiranku menjadi gelisah dan tidak karuan, aku juga tidak bisa tidur nyenyak. Padahal aku sudah menasehati berulangkali kepada pejabat-pejabat negeri ini, supaya jangan terang-terangan menjual asset negeri ini. Tapi dasar mereka itu ndableg, mereka pun tidak menggubris nasehatku, sehingga perbuatan busuk mereka tercium oleh rakyat.
Apa kekuranganku, aku sudah banyak memberikan kebebasan pada mereka. Selama ini seluruh pejabat-pejabat negeri ini juga tidak ada yang bekerja, sedangkan uang pajak rakyat itu sudah seluruhnya masuk ke kantung mereka, tapi kenapa mereka masih saja kurang. Padahal setiap hari mereka hidup sudah bisa untuk santai, bisa berpesta-pora, atau berlibur ke luar negeri.
Sejujurnya, aku tidak seutuhnya menyalahkan pejabat-pejabat negeri ini, karena biar bagaimana pun aku juga menuai keuntungan yang tidak sedikit dari ulah busuk mereka. Tapi kalau setiap hari aku harus menerima hinaan dan hujatan dari rakyat, harus kukatakan jauh juga, bahwa jauh di dalam hatiku sebagai pemimpin negeri ini hidupku jadi tidak nyaman. Aku merasa khawatir.
Bayangkan hampir setiap hari selalu saja ada berita di media yang memberitakan tentang kemurkaan rakyat. Mereka berdemonstrasi, menghina dan menghujat diriku sebagai presiden yang tidak tahu diri, presiden tidak mementingkan rakyatnya, dan masih banyak lagi. Bahkan masyarakat pun sudah berani membakar fotoku, mereka juga ingin mendongkel aku dari kursi presiden.
Jangankan untuk pergi berlibur, tidur saja aku sudah tidak lagi nyenyak seperti dulu. Masalah ini sudah tidak bisa dibiarkan. Rakyat harus segera dibungkam mulutnya. Sebab kalau dibiarkan seperti ini terus, emosi rakyat bukan akan menjadi reda, melainkan akan bertambah parah.
Thok… Thok… Thok…
“Masuk,” kataku. Pada saat aku mendengar suara ketukan pintu.
“Selamat pagi, Bapak Presiden,” katanya dengan suara tegas. Ia pun memberi hormat kepadaku. “Maaf, kalau boleh saya tahu, ada masalah apa Bapak Presiden memanggil saya?”
“Dasar Bego!” umpatku kesal. “Kau masih juga bertanya ada masalah apa. Bagaimana kau bisa tidak menyadari kalau rakyat sekarang sudah berani berbuat kurang ajar terhadapku.” Aku menghempaskan pantatku di kursi sofa. “Duduk,” kataku lagi. “Ada masalah penting yang ingin kubicarakan kepadamu…”
“Bapak Presiden, jangan terpancing emosi. Bapak Presiden yang tenang saja, jangan khaw—”
“Tenang, Gundulmu Pecah!” Aku mulai membesarkan volume suara bicaraku. “Aku Tanya, apa kau buta, tolol, atau bagaimana? Kau tidak lihat rakyat sudah murka, mereka menghina, menghujat, dan menginginkan aku turun dari jabatanku sebagai presiden.”
“Ampun, Bapak Presiden,” katanya. “Kalau soal menghadapi rakyat itu sudah menjadi kewajiban saya. Sekarang juga mereka bisa saya buat mampus bermandikan darah. Bukankah mereka sudah bisa disebut pemberontak di negeri ini, dan saya wajib menumpasnya.”
“Sudahlah!” kataku, “Sudah, sudah… Kau jangan lagi ngoceh tidak karuan! Aku sekarang lagi pusing.
“Sekali lagi saya minta maaf, Bapak Presiden,” jawabnya lirih.
“Sejujurnya…” kataku, “Aku tidak meragukan kehebatanmu dalam menjaga negeri ini dari pemberontak, sedikitpun aku tidak ragu. Tapi rakyat yang menginginkanku turun dari tahta presiden itu terlalu banyak, kalau mereka diberantas semua, negeri ini bisa sepi.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” Ia memandangku dengan tatapan bingung.
“Dengar,” Secara spontan otakku langsung bekerja, muncul ide yang menurutku sangat hebat, “Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mengembalikan nama baikku. Supaya rakyat bisa memberikan kepercayaannya lagi kepadaku untuk terus menjabat sebagai presiden di negeri ini.”
“Saya rasa itu sulit,” ia berkata. Nada suaranya terkesan ragu. “Kalau menurut saya, jalan satu-satunya; rakyat yang membelot dan tidak patuh dengan keputusan Bapak Presiden wajib diberantas. Tidak ada cara lain, hanya itu yang terbaik.”
“Kau meragukan kepintaranku?”
“Tentu saja tidak, Bapak Presiden.” Jawabnya, “Tapi berdasarkan beberapa kejadian yang lalu, Bapak Presiden selalu memberikan perintah kepada saya untuk menumpas pemberontak, apapun caranya, dan terbukti selama ini berhasil. Dan negeri ini aman-aman saja.”
Aku bangga mendengar ucapannya. Menurutku itu adalah suatu pujian, karena keberhasilanku meredam rakyat yang ingin membelot negeri ini. Tentu saja itu berkat otakku yang encer. Kalau aku tidak pintar, tentu saja aku hanya akan menjadi rakyat jelata, bukan menjadi presiden seperti sekarang ini.
“Memang, selama ini kita selalu berhasil menumpas rakyat yang ingin memberontak, tapi permasalahannya sekarang sedikit berbeda. Jumlah mereka terlalu banyak, jadi meskipun mereka kita berantas, tidak menutup kemungkinan yang lain akan bermunculan lagi. Dan kita harus kerja dua kali, kita bisa kewalahan menghadapi rakyat yang sudah murka.”
Ia mengangguk-anggukan kepala.
“Dengar baik-baik,” kata lagi. “Aku mempunyai rencana hebat. Karena rakyat menginginkan gembong otak di balik penebangan liar itu diadili, maka kita akan bersandiwara, kita akan memenuhi permintaan rakyat. Aku akan menangkapmu dan memenjarakanmu. Tentu saja itu hanya pura-pura, tujuannya hanya supaya rakyat kembali percaya kepadaku lagi. Menurutmu bagaimana?”
“Saya sangat setuju sekali,” Ia berkata dengan antusias, “Kebetulan saya juga sudah cukup tua, dan sudah waktunya untuk pensiun. Jadi saya bisa membawa keluarga saya untuk berlibur panjang. Mungkin saya dan keluarga akan menghabiskan sisa hidup di luar negeri.”
“Okay. Besok, kita atur harus mengatur kronologisnya kejadiannya biar terlihat seperti terjadi sungguhan. Kau di hutan dan berpura-pura sedang mengkordinasi anak buahmu untuk menebang pohon. Nanti biar kusuruh beberapa aparat dan polisi hutan untuk menangkapmu. Kita juga akan mengundang para wartawan, dan membiarkan mereka meliput semua kejadian itu, dan menyiarkan proses penangkapanmu hingga ke pengadilan.
“Bapak Presiden memang hebat! Saya sangat setuju sekali! Saya akan menjadi berita utama, pasti saya serasa menjadi selebritis. Sejak kecil saya juga bercita-cita ingin menjadi actor.”
“Bicaramu ngelantur tidak karuan. Kau ingin di hukum penjara berapa tahun?”
“Ampuni saya, Bapak Presiden…” Ia tersenyum sedikit malu-malu, “Kalau saya boleh usul. Kalau Bapak Presiden tidak keberatan, saya ingin di hukum seumur hidup saja. Supaya saya bisa menikmati hidup tenang dan damai dengan keluarga saya di luar negeri.”
“Tidak masalah!” Sahutku dengan antusias. “Itu bagus, justru akan terlihat kejadian nyata, dan sangat dramatis. Tapi kumohon, pada saat jaksa menjatuhkan hukumanmu, kau jangan tertawa bahagia, kau harus pura-pura bersedih. Belajarlah mulai dari sekarang caranya menangis, sehingga kelak kau bisa memperlihatkan air matamu kepada masyarakat.”
“Baiklah, Bapak Presiden,” Ia tersenyum puas.
“Ya sudahlah, kalau kau memang menyetujui rencanaku ini,” kataku lega.
Aku seperti terbebas dari tali yang menjerat leherku. Seakan-akan dadaku terbebas dari benda berat yang menghimpit. Sekarang nafasku pun menjadi terasa lebih ringan, aku bisa menghirup udara dengan bebas.
“Bapak Presiden memang hebat, sangat genius!” Ia mengulurkan tangannya. “Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Bapak Presiden kepada saya.”
“Sama-sama,” aku menyambut uluran tangannya. Dan kami pun saling berjabat tangan. “Tanpa dukunganmu dan semua pejabat-pejabat negeri yang lainnya, tentunya aku tidak akan menjadi presiden seperti sekarang ini.”
“Kalau begitu saya mohon pamit dulu Bapak Presiden,” Ia beranjak dari tempat duduknya. “Saya harus mengabarkan berita gembira ini kepada keluarga saya.”
“Silahkan, silahkan,” kataku. “Sampaikan juga salamku kepada keluargamu.”
“Dengan senang hati, saya akan sampaikan salam Bapak Presiden pada keluarga saya,” Ia memberi hormat kepadaku, “Sekali lagi saya hanya bisa mengucapkan banyak-banyak-banyak terima kasih…” Ia pun balik kanan dan pergi meninggalkanku.
“Ya, ya, ya, Selamat jalan! Dan selamat menikmati kebahagiaan hidup baru, bersenang-senanglah… ”
Aku melambaikan tanganku kepada Jenderal Rayap.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar