Sepulang dari gereja, di dalam taksi. Aku masih teringat
firman Tuhan yang disampaikan oleh pendeta Ignatius Lamartta. Telingaku masih
terngiang-ngiang oleh pertanyaan yang tadi dilontarkannya, ‘Dan yang terkasih dalam nama Bapa, Putra, Roh Kudus yang
empunya segala-galanya. Apa yang hendak engkau pilih, surga atau neraka?’
Serentak para jemaat dengan suara
yang lantang dan secara hampir bersama-sama menjawab, ‘Surga!'
Waktu itu aku hanya diam saja. Aku sama sekali tidak tahu
apa yang akan kupilih. Aku juga tidak tahu ke mana dan tempat apa yang terbaik
untuk menjadi akhir perjalanan hidupku. Aku benar-benar bingung dengan dua
pilihan itu. Tapi bukankah Tuhan itu Maha Tahu dan Maha di atas segala-galanya.
Kenapa manusia jadi yang menentukan? Bukankah sudah sering kita mendengar;
bahwa manusia boleh berencana apapun, tapi tetap Tuhan yang menentukan.
Seharusnya aku sudah sadar dengan itu semua. Tapi entah kenapa, pikiranku menjadi tidak waras dan tidak bisa
menerimanya. Kenapa aku harus memikirkan surga atau neraka. Bukankah Tuhan
melihat dan tidak dungu. Kurasa Tuhan juga sudah tahu untuk menentukan yang
terbaik, dan ke mana akan ditempatkan seluruh manusia di bumi ini.
Setiap kali aku sudah kembali menyadari keberadaan
dan posisi sebagai makhluk ciptaannya, dan adanya kekuasaan Tuhan. Tapi kenapa aku masih saja tidak puas, dan belum bisa
menerimanya dengan lapang dada. Pikiran-pikiranku malah menjadi bertengkar sendiri, pertanyaan-pertanyaan
itu terus menghantuiku, dan tidak bisa lenyap dari otakku.
“Sekarang hendak ke mana?” Tanya supir taksi mengagetkan
lamunanku.
“Eh, oh, maaf, jalan yang ada di depan itu belok ke kiri. Ke arah Kota Baru,” jawabku dengan cepat. Tapi
setelah itu aku kembali diam dalam pergulatan pikiranku sendiri. “Maaf, kalau anda
tidak keberatan, saya ingin menanyakan sesuatu
kepada. Saya tidak tahu masalah yang sedang
saya hadapi saat ini,” Aku sengaja tidak melanjutkan ucapanku. Aku ingin melihat reaksi supir
taksi itu. Tapi setelah menunggu beberapa detik kemudian, ternyata ia sama
sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun. Ia hanya menoleh ke arahku sejenak, kemudian tatapannya
kembali lurus ke arah depan, ke arah jalan raya.
“Sejujurnya...” Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan
ucapanku sebelumnya. “Saya tidak bisa menyudahi masalah yang ada dalam pikiran
saya ini. Tapi sungguh, sebelumnya saya ingin minta maaf terlebih dahulu,
seandainya pertanyaan saya nanti menyinggung perasaan Anda. Tapi kalau anda merasa keberatan dengan pertanyaan saya
ini, anda tidak usah menjawabnya.”
“Ada apa Tuan?” Ia malah balik bertanya. “Kelihatannya kok
sangat serius sekali.
Kalau saya bisa, pasti saya bantu. Tapi kalau tidak, ya...” Ia mengangkat
bahunya.
“Anda pilih ke surga apa neraka?”
“Jelas ke surga!”
Aku sungguh sangat terkejut dengan jawaban bapak supir taksi itu. Ia
menjawabnya dengan sangat cepat. Padahal yang ada di dalam pikiranku; paling
tidak, ia akan diam dan berpikir sejenak. Tetapi ternyata ia
malah menjawab dengan cepat, pasti, dan lantang. Jawaban itu pun persis yang
kudengar waktu di dalam gereja. Para jemaat semuanya menjawab tanpa sedikitpun
berpikir—Aku tidak tahu apakah mereka sudah berpikir atau tidak, tapi menurutku
begitu. Semuanya juga menjawab dengan sangat cepat, pasti dan lantang.
“Maaf,” kataku pelan, “saya mengurungkan
niat untuk pulang. Maukah anda
menemani saya keliling sebentar di kota ini? Saya ingin
mencoba mencari pendapat dan menanyakan kepada orang-orang lain.”
“Wah, wah, wah...” Supir taksi melihat ke arahku lewat kaca spion. Wajahnya sangat
bersinar-sinar. “Tugas saya memang mengantarkan!” katanya lagi, “Semakin sering
saya mengantarkan, tentu saya semakin senang, dengan begitu penghasilan uang
saya akan bertambah. Dengan segala senang hati, saya ingin mengantarkan ke mana pun Tuan ingin pergi.”
Aku sendiri juga tidak tahu, apa yang telah membuatku
untuk memutuskan keinginanku ini. Aku benar-benar belum puas. Aku ingin mencari
jawaban dari orang lain. Aku hanya ingin mengetahui kira-kira ada atau tidak
yang menjawab lain dari yang pernah kudengar sebelumnya.
Hingga dari polisi, dokter, seniman, guru, penjual es,
wartawan, pegawai pos, mahasiswa, orang yang sedang duduk menunggu bus di
halte, petugas parkir, fotografer keliling, satpam, tukang becak, juga
kepada orang yang sedang berlalu-lalang di jalan. Tapi semua jawaban yang
kudapat tetap saja sama. Bahkan aku sempat menanyakan kepada seorang
gelandangan yang sudah sangat kurus kering dan nafasnya tinggal satu-satu, tapi ia masih
sempat menjawab, “Hhorrgaa!”
Memang jawaban itu tidak terlalu jelas. Mungkin
gelandangan itu sudah terlalu lama tidak makan, jadi tenaganya sudah semakin
menipis untuk mengatakan sesuatu. Sejujurnya dalam hatiku, aku merasa yakin
jawaban yang ia maksud adalah surga. Namun entah kenapa aku masih ingin
memastikan apa yang sudah kudengar. Kucengkeram bahunya dengan kedua
tanganku, dan aku guncang tubuhnya. “Kau ingin ke
neraka?” tanyaku berapi-api.
Tapi ia tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ia
menarik nafas panjang. Setelah bersusah payah mengumpulkan tenaga, namun ketika
ia hendak mengatakan sesuatu, ia malah terbatuk-batuk. Lalu dengan cepat ia
menggelengkan kepalanya. “Oh...” kataku, “Jadi kau ingin ke surga?”
Gelandangan itu dengan cepat langsung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tepat pada saat cengkeraman tangan kulepas dari
bahunya, ia ambruk ke belakang, dengan keras punggungnya menghantam trotoar.
Nafasnya tersengal-sengal, dan dadanya terlihat turun naik. Tapi ia masih
sempat melemparkan senyum kepadaku.
Aku jadi bingung sendiri; kenapa semua orang memilih
surga, dan bukan neraka. Padahal belum ada yang tahu bagaimana keadaan di kedua
tempat itu, belum pernah ada orang yang pernah ke sana dan menceritakannya
kepada kami. Khususnya kepadaku.
Aku memang tidak pernah menanyakan penyebab ataupun
alasan semua orang yang kutanyai, hingga kenapa mereka bisa memilih dan
memberikan jawabannya kepadaku. Karena aku tidak ingin mengganggu ataupun
menyinggung pandangan hidupnya. Dan lagipula agama di dunia ini yang banyak
sekali jumlahnya, jadi aku tidak ingin menjadikan pertanyaanku nantinya
dianggap turut campur cara pandang hidupnya selama ini. Dan aku tidak ingin
pertanyaanku nantinya juga dianggap menyinggung urusan keyakinan. Karena bila
pertanyaan itu terus dicari alasannya, pastilah akan menuju ke arah Tuhan.
Apabila sudah mengarah ke Sana—Tuhan—rasanya malah akan semakin ruwet,
bisa jadi nantinya pertanyaanku ini disalah-artikan, dan semakin tidak karuan
jadinya. Untuk itu sebisa mungkin aku mencoba menghindarinya. Karena bila sudah
berbicara soal Tuhan, tentu tidak akan ada ujung pangkalnya. Lagipula soal
Tuhan itu bukan urusannya manusia dengan manusia, melainkan manusia dengan
Tuhan. Jadi aku pun mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang dengan
menanyakan alasan dari jawaban mereka.
Namun aku sama sekali tidak terpengaruh sedikitpun dengan
semua jawaban dari orang-orang yang kutanyai. Aku sama sekali tidak puas, dan
belum bisa menerimanya. Kini, aku menjadi semakin bingung, dan pusing oleh
pemikiran ini.
Malam sudah semakin larut dan kabut-kabut sudah mulai
mengepakkan sayapnya mengarungi kota ini. Sementara aku duduk terdiam di dalam
mobil taksi dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam otakku. “Tolong,
saya minta diantarkan pulang saja,” kataku kemudian. “Saya sudah sangat lelah
sekali. Dan tentunya Anda juga lebih lelah dibandingkan dengan saya.”
“Maaf,” kata supir taksi. Nada suaranya terkesan ragu. “Apakah
Tuan baik-baik saja?”
“Kenapa? Tidak... Saya baik-baik saja! Ada apa,” kataku dengan
perasaan bingung.
“Maafkan, tidak apa-apa...” katanya lagi, “Ya sudah kalau memang Tuan
baik-baik saja!”
Selama perjalanan menuju rumah aku hanya diam. Namun di
dalam otakku pemikiran-pemikiran itu tetap saja mengendap, mungkin malah sudah menebarkan
akar di sana. Dan aku benar-benar tidak bisa
menyingkirkannya.
Satu setengah jam dalam perjalanan menuju rumah, aku
masih tetap dengan kondisi seperti sebelumnya. Suasana di dalam taksi juga jadi
terasa kaku. Bahkan musik yang semula terdengar dari radio tape itu juga
sudah dimatikan oleh bapak supir taksi sejak ingin mengantarkanku pulang.
Mungkin ia memperhatikan kegelisahanku, sehingga ia tidak merasa enak hati dan
tidak ingin menggangguku. Padahal sama sekali aku tidak peduli dengan itu
semua, tapi aku tetap membiarkannya. Aku juga tidak menyuruhnya untuk
menghidupkan radio tape itu. Aku sedang merasa malas saja untuk berbicara ataupun
memperhatikan hal-hal sepele lainnya.
Sesampainya di depan rumah. “Berapa?” tanyaku, sambil
melirik sejumlah angka yang tertera di mesin argo, empat ratus delapan puluh
tiga ribu empat ratus tujuh puluh lima. Kemudian aku mengeluarkan lembaran
uang dari dompet, “Ini uangnya,” kataku sambil mengulurkan sejumlah
tumpukan uang kertas pada supir taksi itu. “Dihitung lagi, nanti kurang...” Aku memasukan dompet ke kantong
celanaku, “Kurang?”
“Sudah, sudah, sudah!” jawabnya.
“Terima kasih banyak, Tuan!” Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian membuka
pintu mobil taksi dan segera melangkah keluar. “Bukk!” Suara yang ditimbulkan
dari pintu mobil saat kututup.
“Ini masih ada kembalian, enam belas ribu lima ratus dua
pu—”
“Silahkan diambil saja!” potongku.
“Terima kasih banyak, Tuan.”
“Sama-sama!” Ucapku sambil berjalan menuju pagar halaman,
mendorongnya dan melangkahkan kakiku masuk ke rumah.
Sesampainya di dalam rumah, aku langsung menuju kamar,
dan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Mataku masih telanjang menatap
langit-langit kamar. Seiring itu pula, pikiran-pikiranku yang terus mengembara
pada kejadian yang baru saja kualami.
Pertanyaan demi pertanyaan, pemikiran demi pemikiran
terus berkecamuk di dalam otakku. Aku benar-benar kelelahan dan pasrah. Aku
tidak sanggup menepis semua yang bersarang di dalam otak dan pikiranku. Entah
berapa lama aku bergulat dengan semua pikiran itu, hingga akhirnya aku tidak
ingat apa-apa lagi. Dan tertidur dengan pulas.
Tidurku yang berangkat dari kegelisahan, membuatku bermimpi. Bahkan di dalam
mimpiku pemikiran-pemikiran itu menjelma menjadi kelebat bayangan hitam yang
seakan-akan mengepungku dari segala penjuru. Kelebat bayangan hitam itu kadang nampak jelas, kadang
menghilang dengan sangat cepat. Namun suaranya sangat lantang dan serasa hendak
memecahkan gendang telingaku. “Sejujurnya, kemana kau hendak pergi? Surga atau neraka?”
Kelebat bayangan hitam itu terus memaksaku untuk menjawab.
Tapi aku hanya terdiam. Aku juga belum bisa memberikan jawaban yang terbaik
untuk akhir perjalanan hidupku.
Melihatku yang masih diam dan tidak memberikan jawaban
yang diinginkannya, kelebat bayangan hitam itu mulai mengulang pertanyaannya
dengan suara lebih keras lagi. Tapi aku tetap diam dan tidak memberikan
jawaban. Kelebat bayangan
hitam menjadi sangat marah, lalu menjambak, memukul, dan juga menendangku
secara bertubi-tubi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku
sama sekali belum bisa memutuskan mana yang terbaik bagi akhir perjalanan
hidupku. Hingga aku kembali hanya diam.
Melihatku yang tetap diam, kelebat bayangan hitam itu
bukan hanya marah, melainkan murka. Suaranya semakin memekakkan
telinga, dan aku sudah sangat kesakitan untuk mendengarkan suaranya. “Kemana kau akan pergi? Surga atau neraka?”
Kelebat bayangan hitam itu menghajarku habis-habisan
dengan membabi buta. Aku ditendang, dihantam, dibanting, diinjak, dicekik...
dan entah apa lagi.
“Brakk!”
Aku jatuh dari ranjang. Terbangun dari tidurku. Terlepas
dari mimpi yang sangat menyeramkan. Aku segera melangkahkan kaki keluar dari
kamarku. “Oh, kamu, Nur...” kataku lega.
“Kau baru bangun, pintunya tidak dikunci?”
“Lupa, Nur!” Jawabku sambil berjalan.
“Hendak kemana kau?”
Aku langsung menghentikan langkahku. Aku juga membalikkan
badanku, lalu memandangi wajah Nur. “Ah, oh, tidak... Aku, aku hanya ingin ke kamar mandi!”
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar