Rabu, 15 Februari 2012

Hanya ingin ke kamar mandi


Sepulang dari gereja, di dalam taksi. Aku masih teringat firman Tuhan yang disampaikan oleh pendeta Ignatius Lamartta. Telingaku masih terngiang-ngiang oleh pertanyaan yang tadi dilontarkannya,  Dan yang terkasih dalam nama Bapa, Putra, Roh Kudus yang empunya segala-galanya. Apa yang hendak engkau pilih, surga atau neraka? Serentak para jemaat dengan suara yang lantang dan secara hampir bersama-sama menjawab, Surga!'
Waktu itu aku hanya diam saja. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan kupilih. Aku juga tidak tahu ke mana dan tempat apa yang terbaik untuk menjadi akhir perjalanan hidupku. Aku benar-benar bingung dengan dua pilihan itu. Tapi bukankah Tuhan itu Maha Tahu dan Maha di atas segala-galanya. Kenapa manusia jadi yang menentukan? Bukankah sudah sering kita mendengar; bahwa manusia boleh berencana apapun, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Seharusnya aku sudah sadar dengan itu semua. Tapi entah kenapa, pikiranku menjadi tidak waras dan tidak bisa menerimanya. Kenapa aku harus memikirkan surga atau neraka. Bukankah Tuhan melihat dan tidak dungu. Kurasa Tuhan juga sudah tahu untuk menentukan yang terbaik, dan ke mana akan ditempatkan seluruh manusia di bumi ini.
Setiap kali aku sudah kembali menyadari keberadaan dan posisi sebagai makhluk ciptaannya, dan adanya kekuasaan Tuhan. Tapi kenapa aku masih saja tidak puas, dan belum bisa menerimanya dengan lapang dada. Pikiran-pikiranku malah menjadi bertengkar sendiri, pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, dan tidak bisa lenyap dari otakku.
Sekarang hendak ke mana?” Tanya supir taksi mengagetkan lamunanku.
“Eh, oh, maaf, jalan yang ada di depan itu belok ke kiri. Ke arah Kota Baru,” jawabku dengan cepat. Tapi setelah itu aku kembali diam dalam pergulatan pikiranku sendiri. “Maaf, kalau anda tidak keberatan, saya ingin menanyakan sesuatu kepada. Saya tidak tahu masalah yang sedang saya hadapi saat ini,” Aku sengaja tidak melanjutkan ucapanku. Aku ingin melihat reaksi supir taksi itu. Tapi setelah menunggu beberapa detik kemudian, ternyata ia sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun. Ia hanya menoleh ke arahku sejenak, kemudian tatapannya kembali lurus ke arah depan, ke arah jalan raya.
“Sejujurnya...” Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan ucapanku sebelumnya. “Saya tidak bisa menyudahi masalah yang ada dalam pikiran saya ini. Tapi sungguh, sebelumnya saya ingin minta maaf terlebih dahulu, seandainya pertanyaan saya nanti menyinggung perasaan Anda. Tapi kalau anda merasa keberatan dengan pertanyaan saya ini, anda tidak usah menjawabnya.”
“Ada apa Tuan?” Ia malah balik bertanya. “Kelihatannya kok sangat serius sekali. Kalau saya bisa, pasti saya bantu. Tapi kalau tidak, ya...” Ia mengangkat bahunya.
“Anda pilih ke surga apa neraka?”
“Jelas ke surga!”
Aku sungguh sangat terkejut dengan jawaban bapak supir taksi itu. Ia menjawabnya dengan sangat cepat. Padahal yang ada di dalam pikiranku; paling tidak, ia akan diam dan berpikir sejenak. Tetapi ternyata ia malah menjawab dengan cepat, pasti, dan lantang. Jawaban itu pun persis yang kudengar waktu di dalam gereja. Para jemaat semuanya menjawab tanpa sedikitpun berpikir—Aku tidak tahu apakah mereka sudah berpikir atau tidak, tapi menurutku begitu. Semuanya juga menjawab dengan sangat cepat, pasti dan lantang.
“Maaf,” kataku pelan, “saya mengurungkan niat untuk pulang. Maukah anda menemani saya keliling sebentar di kota ini? Saya ingin mencoba mencari pendapat dan menanyakan kepada orang-orang lain.”
“Wah, wah, wah...” Supir taksi melihat ke arahku lewat kaca spion. Wajahnya sangat bersinar-sinar. “Tugas saya memang mengantarkan!” katanya lagi, “Semakin sering saya mengantarkan, tentu saya semakin senang, dengan begitu penghasilan uang saya akan bertambah. Dengan segala senang hati, saya ingin mengantarkan ke mana pun Tuan ingin pergi.”
Aku sendiri juga tidak tahu, apa yang telah membuatku untuk memutuskan keinginanku ini. Aku benar-benar belum puas. Aku ingin mencari jawaban dari orang lain. Aku hanya ingin mengetahui kira-kira ada atau tidak yang menjawab lain dari yang pernah kudengar sebelumnya.
Hingga dari polisi, dokter, seniman, guru, penjual es, wartawan, pegawai pos, mahasiswa, orang yang sedang duduk menunggu bus di halte, petugas parkir, fotografer keliling, satpam, tukang becak, juga kepada orang yang sedang berlalu-lalang di jalan. Tapi semua jawaban yang kudapat tetap saja sama. Bahkan aku sempat menanyakan kepada seorang gelandangan yang sudah sangat kurus kering dan nafasnya tinggal satu-satu, tapi ia masih sempat menjawab, “Hhorrgaa!”
Memang jawaban itu tidak terlalu jelas. Mungkin gelandangan itu sudah terlalu lama tidak makan, jadi tenaganya sudah semakin menipis untuk mengatakan sesuatu. Sejujurnya dalam hatiku, aku merasa yakin jawaban yang ia maksud adalah surga. Namun entah kenapa aku masih ingin memastikan apa yang sudah kudengar. Kucengkeram bahunya dengan kedua tanganku, dan aku guncang tubuhnya. “Kau ingin ke neraka?” tanyaku berapi-api.
Tapi ia tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ia menarik nafas panjang. Setelah bersusah payah mengumpulkan tenaga, namun ketika ia hendak mengatakan sesuatu, ia malah terbatuk-batuk. Lalu dengan cepat ia menggelengkan kepalanya. “Oh...” kataku, “Jadi kau ingin ke surga?”
Gelandangan itu dengan cepat langsung mengangguk-anggukkan kepalanya. Tepat pada saat cengkeraman tangan kulepas dari bahunya, ia ambruk ke belakang, dengan keras punggungnya menghantam trotoar. Nafasnya tersengal-sengal, dan dadanya terlihat turun naik. Tapi ia masih sempat melemparkan senyum kepadaku.

Aku jadi bingung sendiri; kenapa semua orang memilih surga, dan bukan neraka. Padahal belum ada yang tahu bagaimana keadaan di kedua tempat itu, belum pernah ada orang yang pernah ke sana dan menceritakannya kepada kami. Khususnya kepadaku. 
Aku memang tidak pernah menanyakan penyebab ataupun alasan semua orang yang kutanyai, hingga kenapa mereka bisa memilih dan memberikan jawabannya kepadaku. Karena aku tidak ingin mengganggu ataupun menyinggung pandangan hidupnya. Dan lagipula agama di dunia ini yang banyak sekali jumlahnya, jadi aku tidak ingin menjadikan pertanyaanku nantinya dianggap turut campur cara pandang hidupnya selama ini. Dan aku tidak ingin pertanyaanku nantinya juga dianggap menyinggung urusan keyakinan. Karena bila pertanyaan itu terus dicari alasannya, pastilah akan menuju ke arah Tuhan. Apabila sudah mengarah ke Sana—Tuhan—rasanya malah akan semakin ruwet, bisa jadi nantinya pertanyaanku ini disalah-artikan, dan semakin tidak karuan jadinya. Untuk itu sebisa mungkin aku mencoba menghindarinya. Karena bila sudah berbicara soal Tuhan, tentu tidak akan ada ujung pangkalnya. Lagipula soal Tuhan itu bukan urusannya manusia dengan manusia, melainkan manusia dengan Tuhan. Jadi aku pun mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang dengan menanyakan alasan dari jawaban mereka.
Namun aku sama sekali tidak terpengaruh sedikitpun dengan semua jawaban dari orang-orang yang kutanyai. Aku sama sekali tidak puas, dan belum bisa menerimanya. Kini, aku menjadi semakin bingung, dan pusing oleh pemikiran ini.
Malam sudah semakin larut dan kabut-kabut sudah mulai mengepakkan sayapnya mengarungi kota ini. Sementara aku duduk terdiam di dalam mobil taksi dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam otakku. “Tolong, saya minta diantarkan pulang saja,” kataku kemudian. “Saya sudah sangat lelah sekali. Dan tentunya Anda juga lebih lelah dibandingkan dengan saya.”
“Maaf,” kata supir taksi. Nada suaranya terkesan ragu. “Apakah Tuan baik-baik saja?”
“Kenapa? Tidak... Saya baik-baik saja! Ada apa,” kataku dengan perasaan bingung.
Maafkan, tidak apa-apa...” katanya lagi, “Ya sudah kalau memang Tuan baik-baik saja!”
Selama perjalanan menuju rumah aku hanya diam. Namun di dalam otakku pemikiran-pemikiran itu tetap saja mengendap, mungkin malah sudah menebarkan akar di sana. Dan aku benar-benar tidak bisa menyingkirkannya.
Satu setengah jam dalam perjalanan menuju rumah, aku masih tetap dengan kondisi seperti sebelumnya. Suasana di dalam taksi juga jadi terasa kaku. Bahkan musik yang semula terdengar dari radio tape itu juga sudah dimatikan oleh bapak supir taksi sejak ingin mengantarkanku pulang. Mungkin ia memperhatikan kegelisahanku, sehingga ia tidak merasa enak hati dan tidak ingin menggangguku. Padahal sama sekali aku tidak peduli dengan itu semua, tapi aku tetap membiarkannya. Aku juga tidak menyuruhnya untuk menghidupkan radio tape itu. Aku sedang merasa malas saja untuk berbicara ataupun memperhatikan hal-hal sepele lainnya.

Sesampainya di depan rumah. “Berapa?” tanyaku, sambil melirik sejumlah angka yang tertera di mesin argo, empat ratus delapan puluh tiga ribu empat ratus tujuh puluh lima. Kemudian aku mengeluarkan lembaran uang dari dompet, “Ini uangnya,” kataku sambil mengulurkan sejumlah tumpukan uang kertas pada supir taksi itu. “Dihitung lagi, nanti kurang...” Aku memasukan dompet ke kantong celanaku, “Kurang?”
“Sudah, sudah, sudah!” jawabnya.
“Terima kasih banyak, Tuan!” Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian membuka pintu mobil taksi dan segera melangkah keluar. “Bukk!” Suara yang ditimbulkan dari pintu mobil saat kututup.
“Ini masih ada kembalian, enam belas ribu lima ratus dua pu—”
“Silahkan diambil saja!” potongku.
“Terima kasih banyak, Tuan.”
“Sama-sama!” Ucapku sambil berjalan menuju pagar halaman, mendorongnya dan melangkahkan kakiku masuk ke rumah.

Sesampainya di dalam rumah, aku langsung menuju kamar, dan membaringkan tubuhku di atas ranjang. Mataku masih telanjang menatap langit-langit kamar. Seiring itu pula, pikiran-pikiranku yang terus mengembara pada kejadian yang baru saja kualami.
Pertanyaan demi pertanyaan, pemikiran demi pemikiran terus berkecamuk di dalam otakku. Aku benar-benar kelelahan dan pasrah. Aku tidak sanggup menepis semua yang bersarang di dalam otak dan pikiranku. Entah berapa lama aku bergulat dengan semua pikiran itu, hingga akhirnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Dan tertidur dengan pulas.
Tidurku yang berangkat dari kegelisahan, membuatku bermimpi. Bahkan di dalam mimpiku pemikiran-pemikiran itu menjelma menjadi kelebat bayangan hitam yang seakan-akan mengepungku dari segala penjuru. Kelebat bayangan hitam itu kadang nampak jelas, kadang menghilang dengan sangat cepat. Namun suaranya sangat lantang dan serasa hendak memecahkan gendang telingaku. “Sejujurnya, kemana kau hendak pergi? Surga atau neraka?”
Kelebat bayangan hitam itu terus memaksaku untuk menjawab. Tapi aku hanya terdiam. Aku juga belum bisa memberikan jawaban yang terbaik untuk akhir perjalanan hidupku.
Melihatku yang masih diam dan tidak memberikan jawaban yang diinginkannya, kelebat bayangan hitam itu mulai mengulang pertanyaannya dengan suara lebih keras lagi. Tapi aku tetap diam dan tidak memberikan jawaban. Kelebat bayangan hitam menjadi sangat marah, lalu menjambak, memukul, dan juga menendangku secara bertubi-tubi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku sama sekali belum bisa memutuskan mana yang terbaik bagi akhir perjalanan hidupku. Hingga aku kembali hanya diam.
Melihatku yang tetap diam, kelebat bayangan hitam itu bukan hanya marah, melainkan murka. Suaranya semakin memekakkan telinga, dan aku sudah sangat kesakitan untuk mendengarkan suaranya. “Kemana kau akan pergi? Surga atau neraka?”
Kelebat bayangan hitam itu menghajarku habis-habisan dengan membabi buta. Aku ditendang, dihantam, dibanting, diinjak, dicekik... dan entah apa lagi.
“Brakk!”
Aku jatuh dari ranjang. Terbangun dari tidurku. Terlepas dari mimpi yang sangat menyeramkan. Aku segera melangkahkan kaki keluar dari kamarku. “Oh, kamu, Nur...” kataku lega.
“Kau baru bangun, pintunya tidak dikunci?”
“Lupa, Nur!” Jawabku sambil berjalan.
“Hendak kemana kau?”
Aku langsung menghentikan langkahku. Aku juga membalikkan badanku, lalu memandangi wajah Nur. “Ah, oh, tidak... Aku, aku hanya ingin ke kamar mandi!”

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar