Rabu, 15 Februari 2012

Bencana banjir

Malam.
Dingin.
Tapi suara penyiar televisi itu sangat menyakitkan telingaku, ia menuding pemerintah sebagai dalang penebangan liar di beberapa hutan yang ada di negeri ini. Dan tepat jam sepuluh tadi pagi, hujan deras mengguyur tak henti-hentinya hingga sore, menyebabkan beberapa perkampungan di negeri ini tergenang air.
“Sial” mulutku terus mengumpat tak henti. Lalu kumatikan televisi.
Seharusnya malam ini aku harus tidur dengan tenang, karena besok pagi aku sudah mempunyai janji dengan isteriku untuk mengajak berlibur ke luar negeri. Tapi gara-gara bencana banjir yang melanda beberapa kota di negeri ini, aku jadi tidak bisa tidur dengan tenang. 
Aku sangat bingung. Marah. Berjalan mondar-mandir di ruang tengah, seperti sedang merasakan nyeri kehilangan salah satu biji kemaluanku. Sementara beberapa pengawal duduk menundukan wajahnya, tidak ada yang berani menatap ke arah wajahku. Mereka memang sudah tahu kebiasaan dan sifat burukku ketika aku sedang marah, jadi mereka mengambil inisiatif untuk berdiam diri, daripada salah ucap dan akhirnya justru membuatku makin murka. Karena kalau aku sedang dalam keadaan marah seperti ini, aku selalu kesulitan mengontrol emosiku, apapun bisa aku anggap menganggu dan membangkitkan emosi, sehingga sering orang-orang di sekitarku kena getahnya —pelampiasan-ku.
Isteriku yang paling mengetahui seluruh sifat-sifat burukku, jadi kalau aku sedang dalam keadaan emosi seperti sekarang ini, ia tidak mungkin ada di dekatku. Ia akan menghindariku sejauh mungkin —berada di kamarnya, menonton televisi, atau membaca buku.
Tokk… Tokk… Tokk…
“Biar aku saja yang membuka!” kataku kepada pelayan.
“Sel—”
“Sudah tidak usah banyak cing-cong!” Potongku dengan cepat. “Duduk!” kataku lagi, “Kau itu seharusnya tahu masalah yang akan terjadi sekarang ini, kalau hutan di negeri ini sedang digunduli oleh anak buahku...” Emosiku benar-benar semakin tidak terkontrol, “KENAPA KAU MALAH MELIMPAHKAN HUJAN DERAS? SEKARANG KAU BISA LIHAT SENDIRI, NEGERI INI DILANDA KEBANJIRAN! SIAPA YANG SALAH!!!”
“Ma—”
“JANGAN BICARA, AKU BELUM SELESAI!” Aku membesarkan volume suaraku hingga sampai pada titik paling keras. “DAN SEKARANG BANYAK ORANG KEHILANGAN RUMAH, MEREKA MENGUNGSI DAN MINTA BANTUAN PADAKU!”
“Ma—”
“SUDAH KUBILANG JANGAN BICARA!” Aku menggebrak meja. “DASAR GOBLOK! SUPER DUNGU! KALAU KAU TIDAK CEROBOH, TIDAK MUNGKIN INI TERJADI! DAN PERLU KAU KETAHUI, UANGKU SEHARUSNYA BISA AKU GUNAKAN UNTUK BERLIBUR DENGAN KELUARGAKU, BUKANNYA DISUMBANGKAN KEPADA MEREKA!” Karena tidak sanggup mengontrol emosiku, dan nada bicaraku yang sangat keras, akhirnya nafasku jadi terengah-engah.
“Maaf —”
“Maaf itu tidak penting,” kataku pelan, di sela nafasku yang masih terengah-engah. “Semuanya sudah terlambat...”
Aku mengambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya, asap putih aku hembuskan ke udara. “Ya, sekarang apa…” aku mengecilkan voleme suaraku. Aku berdiri, lalu berjalan menghampiri pintu, dan membukanya. “Kau boleh pergi,” kataku lagi. “Tapi ingat!” Aku mengambil nafas dalam-dalam. “KAU JANGAN MENGULANGI KECEROBOHAN LAGI!” Nada suaraku berubah menjadi keras dengan sendirinya, mungkin karena aku masih terbawa perasaan emosi.
Akhirnya urusan yang membuatku stress cepat selesai. Sekarang sebaiknya aku tidur saja. Aku jadi merasa sangat letih setelah berteriak-teriak, melepaskan amarahku. Nafasku juga masih terasa berat, jadi sebaiknya aku istirahat, daripada besok aku sakit.
Aku berjalan menuju ke kamarku.
“Kalian semua juga boleh pergi,” kataku kepada para pengawal. “Dan besok pagi sebarkan berita ke seluruh pejabat-pejabat negeri ini untuk mengadakan rapat. Besok aku akan menunda keberangkatanku ke luar negeri. Sekarang aku mau tidur dulu, aku butuh istirahat…”
“Siap laksanakan, Bapak Presiden!” jawab para pengawalku hampir bersamaan.
Sesampainya di kamar aku langsung naik ke ranjang kasurku yang empuk.
“Sepertinya, aku dengar ada yang datang,” kata isteriku, “siapa?”
“Tuhan,” jawabku pelan.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar