Malam.
Dingin.
Tapi suara penyiar televisi itu
sangat menyakitkan telingaku, ia menuding pemerintah sebagai dalang penebangan
liar di beberapa hutan yang ada di negeri ini. Dan tepat jam sepuluh tadi pagi,
hujan deras mengguyur tak henti-hentinya hingga sore, menyebabkan beberapa
perkampungan di negeri ini tergenang air.
“Sial” mulutku terus mengumpat tak henti. Lalu kumatikan televisi.
“Sial” mulutku terus mengumpat tak henti. Lalu kumatikan televisi.
Seharusnya malam ini aku harus tidur
dengan tenang, karena besok pagi aku sudah mempunyai janji dengan isteriku
untuk mengajak berlibur ke luar negeri. Tapi gara-gara bencana banjir yang
melanda beberapa kota di negeri ini, aku jadi tidak bisa tidur dengan
tenang.
Aku sangat bingung. Marah. Berjalan
mondar-mandir di ruang tengah, seperti sedang merasakan nyeri kehilangan salah
satu biji kemaluanku. Sementara beberapa pengawal duduk menundukan wajahnya,
tidak ada yang berani menatap ke arah wajahku. Mereka memang sudah tahu
kebiasaan dan sifat burukku ketika aku sedang marah, jadi mereka mengambil
inisiatif untuk berdiam diri, daripada salah ucap dan akhirnya justru membuatku
makin murka. Karena kalau aku sedang dalam keadaan marah seperti ini, aku
selalu kesulitan mengontrol emosiku, apapun bisa aku anggap menganggu dan
membangkitkan emosi, sehingga sering orang-orang di sekitarku kena getahnya —pelampiasan-ku.
Isteriku yang paling mengetahui
seluruh sifat-sifat burukku, jadi kalau aku sedang dalam keadaan emosi seperti
sekarang ini, ia tidak mungkin ada di dekatku. Ia akan menghindariku sejauh
mungkin —berada di kamarnya, menonton televisi, atau membaca buku.
Tokk… Tokk… Tokk…
“Biar aku saja yang membuka!” kataku
kepada pelayan.
“Sel—”
“Sudah tidak usah banyak cing-cong!”
Potongku dengan cepat. “Duduk!” kataku lagi, “Kau itu seharusnya tahu masalah
yang akan terjadi sekarang ini, kalau hutan di negeri ini sedang digunduli oleh
anak buahku...” Emosiku benar-benar semakin tidak terkontrol, “KENAPA KAU MALAH
MELIMPAHKAN HUJAN DERAS? SEKARANG KAU BISA LIHAT SENDIRI, NEGERI INI DILANDA
KEBANJIRAN! SIAPA YANG SALAH!!!”
“Ma—”
“JANGAN BICARA, AKU BELUM SELESAI!”
Aku membesarkan volume suaraku hingga sampai pada titik paling keras. “DAN
SEKARANG BANYAK ORANG KEHILANGAN RUMAH, MEREKA MENGUNGSI DAN MINTA BANTUAN PADAKU!”
“Ma—”
“SUDAH KUBILANG JANGAN BICARA!” Aku
menggebrak meja. “DASAR GOBLOK! SUPER DUNGU! KALAU KAU TIDAK CEROBOH, TIDAK
MUNGKIN INI TERJADI! DAN PERLU KAU KETAHUI, UANGKU SEHARUSNYA BISA AKU GUNAKAN
UNTUK BERLIBUR DENGAN KELUARGAKU, BUKANNYA DISUMBANGKAN KEPADA MEREKA!” Karena
tidak sanggup mengontrol emosiku, dan nada bicaraku yang sangat keras, akhirnya
nafasku jadi terengah-engah.
“Maaf —”
“Maaf itu tidak penting,” kataku
pelan, di sela nafasku yang masih terengah-engah. “Semuanya sudah terlambat...”
Aku mengambil sebatang rokok dan
langsung menyalakannya, asap putih aku hembuskan ke udara. “Ya, sekarang apa…”
aku mengecilkan voleme suaraku. Aku berdiri, lalu berjalan menghampiri pintu,
dan membukanya. “Kau boleh pergi,” kataku lagi. “Tapi ingat!” Aku mengambil
nafas dalam-dalam. “KAU JANGAN MENGULANGI KECEROBOHAN LAGI!” Nada suaraku
berubah menjadi keras dengan sendirinya, mungkin karena aku masih terbawa
perasaan emosi.
Akhirnya urusan yang membuatku
stress cepat selesai. Sekarang sebaiknya aku tidur saja. Aku jadi merasa sangat
letih setelah berteriak-teriak, melepaskan amarahku. Nafasku juga masih terasa
berat, jadi sebaiknya aku istirahat, daripada besok aku sakit.
Aku berjalan menuju ke kamarku.
“Kalian semua juga boleh pergi,”
kataku kepada para pengawal. “Dan besok pagi sebarkan berita ke seluruh
pejabat-pejabat negeri ini untuk mengadakan rapat. Besok aku akan menunda
keberangkatanku ke luar negeri. Sekarang aku mau tidur dulu, aku butuh
istirahat…”
“Siap laksanakan, Bapak Presiden!”
jawab para pengawalku hampir bersamaan.
Sesampainya di kamar aku langsung
naik ke ranjang kasurku yang empuk.
“Sepertinya, aku dengar ada yang
datang,” kata isteriku, “siapa?”
“Tuhan,” jawabku pelan.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar