Kini aku benar-benar
merasakan hidup yang sangat sepi, sendiri yang paling sendiri, meratapi luka
yang teramat panjang. Penyakit yang menggerogotiku ini lebih parah dari tumor,
atau kangker yang paling ganas sekalipun.
Luka ini juga lebih parah, dan lebih menyakitkan dari semua penyakit yang ada di dunia ini. Orang-orang begitu sangat membenciku, seakan-akan aku sosok yang sangat menjijikkan yang harus segera dimusnahkan.
Luka ini juga lebih parah, dan lebih menyakitkan dari semua penyakit yang ada di dunia ini. Orang-orang begitu sangat membenciku, seakan-akan aku sosok yang sangat menjijikkan yang harus segera dimusnahkan.
Sudah terlalu lama
tak lagi kutatap matahari.
Namun hari ini, aku
seperti bom yang sumbunya telah dibakar, dan sedang menuju detik-detik akan
meledak. Perasaan emosiku benar-benar sudah pada puncak tanduknya. Aku marah
pada hidup, aku murka pada penyakit yang menggerogotiku.
Segera saja kujambak
rambut Tuhan dan kubanting ke tanah. Lalu kucabut pedang yang menancap di
jiwaku, dengan beringas kugorok juga leher Tuhan. Darah Tuhan yang segar pun
menyembur ke udara, sebagian kuminum, dan sebagian lagi muncrat ke udara dan
jatuh ke bumi, diserap tanah.
Kucabut pisau di
dadaku, lalu kurobek dan kupotong-potong tubuh Tuhan yang tergeletak bersimbah
darah, menjadi sepuluh bagian—setiap bagian kulemparkan ke segala penjuru arah
mata angin, di atas, dan juga di bawah. Bangkai Tuhan pasti akan segera
membusuk, dan bau menyengat akan mengepung di lingkar waktu, mengundang aroma
bagi kaum binatang-binatang buas pemangsa daging. Aku yakin belatung, serigala,
tikus, macan, ular, buaya, anjing, gagak, dan binatang pemangsa daging lainnya
akan menyambutnya penuh kegembiraan. Dan sekarang mereka pasti sedang
mengadakan pesta pora. Kelak mereka pasti juga akan sangat berterima kasih
kepadaku.
Betapa bahagianya aku
sekarang, dan hidupku akan terasa damai sepanjang hari, dan lebih berarti.
Binatang-binatang laknat pemangsa daging itu bakal kekenyangan, dan tidak lagi
mengejar, membantai, merongrong, manusia-manusia yang ada di bumi ini. Mereka
juga tidak lagi saling memangsa binatang-binatang lainnya.
Dan hidup di dunia akan
terasa lebih, aman, nyaman, indah, damai dan bahagia, juga menjadi lebih
berarti.
Tetapi bukan main
alangkah terkejutnya aku, ternyata dugaanku salah besar! Binatang-binatang
laknat itu justru tidak mau memakan daging Tuhan, mereka malah kabur ketakutan
berlari tunggang-langgang lebih cepat dari setan gentayangan.
Kenapa binatang
laknat itu tidak mau makan, bahkan secuil pun tidak. Apakah mereka sedang
kekenyangan? Ah, itu tidak mungkin! Mereka itu, binatang-binatang tidak tahu
diri! Mereka itu binatang-binatang rakus, mereka itu tidak pernah kenal yang
namanya kenyang! Dan masih banyak sekali pikiran yang berkecamuk di kepalaku.
Kupikir aku akan
membuat senang bagi kawanan binatang-binatang itu, ternyata aku salah. Sekarang
aku justru malah mendapat masalah besar yang harus kuhadapi, karena
binatang-binatang laknat itu marah, aku dikelilingi wajah-wajah seram dengan
mulut menganga dan menyeringai. Mereka mengepungku dari segala penjuru. Mereka
menatapku tajam penuh angkara murka, matanya nyalang bak api merah. Taring dan
kukunya yang runcing sudah bersiap-siap mencabik-cabik tubuhku.
Aku diam. Pikiranku
sangat kacau. Aku menunggu reaksi mereka.
Tapi belum sampai
hitungan detik, binatang-binatang laknat itu seperti dikomando, dengan serempak
mereka langsung menyerangku. Spontan tanganku menggapai apa saja yang bisa
kuperbuat untuk menghadapinya, entah apa saja yang kutemukan langsung
kulemparkan ke arah mereka. Aku mengadakan perlawanan sekuat tenaga dan seluruh
kemampuanku. Namun karena jumlah mereka terlalu banyak, aku pun kewalahan. Dan
semua perlawanan ini akhirnya menjadi sia-sia. Aku kalah.
Binatang-binatang
laknat itu menyekap aku, mencengkeram tangan dan kakiku. Aku pun menjadi tidak
berkutik dibuatnya. Namun sesekali aku mencoba berontak, tapi semua usaha yang
kulakukan kembali menuai sia-sia. Jumlah mereka terlalu banyak, dan tenaga
mereka juga sangat kuat.
Kemudian para
binatang pun menyeretku.
“Lepaskan! Lepaskan!”
teriakku. Aku tahu, tenagaku tidak mungkin bisa menghadapi kekuatan mereka,
tapi karena mulutku masih bebas, maka hanya berteriaklah yang bisa kulakukan.
“Lepaskan aku…” Aku membesarkan volume suaraku hingga pada titik paling keras.
“Aku akan kalian bawa ke mana! Apa akan kalian perbuat padaku!”
Mereka tidak ada yang
menjawab, atau mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian mereka beramai-ramai
menelentangkan tubuhku. Mereka juga mengikat tangan dan kakiku. Aku tahu,
meskipun aku sudah terikat, tapi sesekali aku masih ingin menjajal kekuatanku,
dengan memberontak sekuat tenaga secara tiba-tiba. Tapi lagi-lagi usahaku pun
tidak membuahkan hasil.
“Lepaskan aku!”
teriakku, “Cepat lepaskan aku!” Teriakku lagi dengan suara lebih keras dan lantang.
Serigala dengan
bulu-bulu hitam lebat yang hampir menutupi sebagian wajahnya menatapku tajam dan
sangat menyeramkan. Taringnya yang runcing seperti ujung belati terus saja
diperlihatkan kepadaku. Air liurnya juga menetes dari mulutnya yang bau.
Sangat, sangat, sangat menjijikan!
“Kalian pikir,
kalian itu siapa!” kataku berapi-api, “Berani sekali kalian membuatku seperti
ini!”
“Aku dokter pimpinan
di rumah sakit jiwa ini, sebaiknya kau tenang saja.” Serigala masih menatapku
dengan mata kelereng. “Cepat ambil pil, dan segera masukan ke mulutnya!”
Ular langsung
membelit leherku, lalu menjejalkan beberapa pil ke mulutku. Tapi aku berusaha
menolaknya, aku berontak sekuat tenaga, dan menggeleng-gelengkan kepalaku.
Beberapa pil itu sempat masuk ke mulutku, tapi langsung aku muntahkan lagi.
“Apa yang terjadi
dengan pasien ini?” Serigala bertanya dengan nada keras dan marah. Wajahnya pun
berangsur-angsur berubah menjadi merah.
“Aku tidak tahu!”
Gagak menjawab dengan cepat, tanpa melepaskan kuku tajamnya yang mencengkeram
pada lengan tanganku. “Dari tadi dia marah-marah sendiri, dan mengamuk.”
“Sekarang kau suntik
saja!” Serigala memberi perintah.
Macan segera berlari
gesit meninggalkan ruangan. Namun tidak lebih dari hitungan menit, ia sudah
kembali lagi. Ia juga membawa suntikan ukuran besar. Buaya, Ular, Anjing… Semua
binatang-binatang itu sepertinya sudah sangat terlatih untuk menangani orang
seperti aku. Tanpa dikomando, mereka pun langsung mengambil posisinya
masing-masing, lalu memegangi tangan dan kakiku.
Kepalaku pusing.
Tulang-tulang persendianku seperti lepas satu per satu dengan sendirinya. Aku
menjadi sangat lemas, terkulai tidak berdaya. Mataku berkunang-kunang. Terakhir
kali yang sempat kulihat; binatang-binatang semakin banyak berdatangan, mereka
semua mengerumuni dan menatap ke arahku. Dan mereka juga tertawa-tawa liar.
Setelah itu aku tidak
ingat apa-apa lagi.
Ada hanya gelap!
Sangat gelap…
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar