Senin, 13 Februari 2012

Sudah lama terluka



Kini aku benar-benar merasakan hidup yang sangat sepi, sendiri yang paling sendiri, meratapi luka yang teramat panjang. Penyakit yang menggerogotiku ini lebih parah dari tumor, atau kangker yang paling ganas sekalipun.
Luka ini juga lebih parah, dan lebih menyakitkan dari semua penyakit yang ada di dunia ini. Orang-orang begitu sangat membenciku, seakan-akan aku sosok yang sangat menjijikkan yang harus segera dimusnahkan.
Sudah terlalu lama tak lagi kutatap matahari.
Namun hari ini, aku seperti bom yang sumbunya telah dibakar, dan sedang menuju detik-detik akan meledak. Perasaan emosiku benar-benar sudah pada puncak tanduknya. Aku marah pada hidup, aku murka pada penyakit yang menggerogotiku.
Segera saja kujambak rambut Tuhan dan kubanting ke tanah. Lalu kucabut pedang yang menancap di jiwaku, dengan beringas kugorok juga leher Tuhan. Darah Tuhan yang segar pun menyembur ke udara, sebagian kuminum, dan sebagian lagi muncrat ke udara dan jatuh ke bumi, diserap tanah.
Kucabut pisau di dadaku, lalu kurobek dan kupotong-potong tubuh Tuhan yang tergeletak bersimbah darah, menjadi sepuluh bagian—setiap bagian kulemparkan ke segala penjuru arah mata angin, di atas, dan juga di bawah. Bangkai Tuhan pasti akan segera membusuk, dan bau menyengat akan mengepung di lingkar waktu, mengundang aroma bagi kaum binatang-binatang buas pemangsa daging. Aku yakin belatung, serigala, tikus, macan, ular, buaya, anjing, gagak, dan binatang pemangsa daging lainnya akan menyambutnya penuh kegembiraan. Dan sekarang mereka pasti sedang mengadakan pesta pora. Kelak mereka pasti juga akan sangat berterima kasih kepadaku.
Betapa bahagianya aku sekarang, dan hidupku akan terasa damai sepanjang hari, dan lebih berarti. Binatang-binatang laknat pemangsa daging itu bakal kekenyangan, dan tidak lagi mengejar, membantai, merongrong, manusia-manusia yang ada di bumi ini. Mereka juga tidak lagi saling memangsa binatang-binatang lainnya.
Dan hidup di dunia akan terasa lebih, aman, nyaman, indah, damai dan bahagia, juga menjadi lebih berarti.
Tetapi bukan main alangkah terkejutnya aku, ternyata dugaanku salah besar! Binatang-binatang laknat itu justru tidak mau memakan daging Tuhan, mereka malah kabur ketakutan berlari tunggang-langgang lebih cepat dari setan gentayangan.
Kenapa binatang laknat itu tidak mau makan, bahkan secuil pun tidak. Apakah mereka sedang kekenyangan? Ah, itu tidak mungkin! Mereka itu, binatang-binatang tidak tahu diri! Mereka itu binatang-binatang rakus, mereka itu tidak pernah kenal yang namanya kenyang! Dan masih banyak sekali pikiran yang berkecamuk di kepalaku.
Kupikir aku akan membuat senang bagi kawanan binatang-binatang itu, ternyata aku salah. Sekarang aku justru malah mendapat masalah besar yang harus kuhadapi, karena binatang-binatang laknat itu marah, aku dikelilingi wajah-wajah seram dengan mulut menganga dan menyeringai. Mereka mengepungku dari segala penjuru. Mereka menatapku tajam penuh angkara murka, matanya nyalang bak api merah. Taring dan kukunya yang runcing sudah bersiap-siap mencabik-cabik tubuhku.
Aku diam. Pikiranku sangat kacau. Aku menunggu reaksi mereka.
Tapi belum sampai hitungan detik, binatang-binatang laknat itu seperti dikomando, dengan serempak mereka langsung menyerangku. Spontan tanganku menggapai apa saja yang bisa kuperbuat untuk menghadapinya, entah apa saja yang kutemukan langsung kulemparkan ke arah mereka. Aku mengadakan perlawanan sekuat tenaga dan seluruh kemampuanku. Namun karena jumlah mereka terlalu banyak, aku pun kewalahan. Dan semua perlawanan ini akhirnya menjadi sia-sia. Aku kalah.
Binatang-binatang laknat itu menyekap aku, mencengkeram tangan dan kakiku. Aku pun menjadi tidak berkutik dibuatnya. Namun sesekali aku mencoba berontak, tapi semua usaha yang kulakukan kembali menuai sia-sia. Jumlah mereka terlalu banyak, dan tenaga mereka juga sangat kuat.
Kemudian para binatang pun menyeretku.
“Lepaskan! Lepaskan!” teriakku. Aku tahu, tenagaku tidak mungkin bisa menghadapi kekuatan mereka, tapi karena mulutku masih bebas, maka hanya berteriaklah yang bisa kulakukan. “Lepaskan aku…” Aku membesarkan volume suaraku hingga pada titik paling keras. “Aku akan kalian bawa ke mana! Apa akan kalian perbuat padaku!”
Mereka tidak ada yang menjawab, atau mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian mereka beramai-ramai menelentangkan tubuhku. Mereka juga mengikat tangan dan kakiku. Aku tahu, meskipun aku sudah terikat, tapi sesekali aku masih ingin menjajal kekuatanku, dengan memberontak sekuat tenaga secara tiba-tiba. Tapi lagi-lagi usahaku pun tidak membuahkan hasil.
“Lepaskan aku!” teriakku, “Cepat lepaskan aku!” Teriakku lagi dengan suara lebih keras dan lantang.
Serigala dengan bulu-bulu hitam lebat yang hampir menutupi sebagian wajahnya menatapku tajam dan sangat menyeramkan. Taringnya yang runcing seperti ujung belati terus saja diperlihatkan kepadaku. Air liurnya juga menetes dari mulutnya yang bau. Sangat, sangat, sangat menjijikan!
 “Kalian pikir, kalian itu siapa!” kataku berapi-api, “Berani sekali kalian membuatku seperti ini!”
“Aku dokter pimpinan di rumah sakit jiwa ini, sebaiknya kau tenang saja.” Serigala masih menatapku dengan mata kelereng. “Cepat ambil pil, dan segera masukan ke mulutnya!”
Ular langsung membelit leherku, lalu menjejalkan beberapa pil ke mulutku. Tapi aku berusaha menolaknya, aku berontak sekuat tenaga, dan menggeleng-gelengkan kepalaku. Beberapa pil itu sempat masuk ke mulutku, tapi langsung aku muntahkan lagi.
“Apa yang terjadi dengan pasien ini?” Serigala bertanya dengan nada keras dan marah. Wajahnya pun berangsur-angsur berubah menjadi merah.
“Aku tidak tahu!” Gagak menjawab dengan cepat, tanpa melepaskan kuku tajamnya yang mencengkeram pada lengan tanganku. “Dari tadi dia marah-marah sendiri, dan mengamuk.”
“Sekarang kau suntik saja!” Serigala memberi perintah.
Macan segera berlari gesit meninggalkan ruangan. Namun tidak lebih dari hitungan menit, ia sudah kembali lagi. Ia juga membawa suntikan ukuran besar. Buaya, Ular, Anjing… Semua binatang-binatang itu sepertinya sudah sangat terlatih untuk menangani orang seperti aku. Tanpa dikomando, mereka pun langsung mengambil posisinya masing-masing, lalu memegangi tangan dan kakiku.
Kepalaku pusing. Tulang-tulang persendianku seperti lepas satu per satu dengan sendirinya. Aku menjadi sangat lemas, terkulai tidak berdaya. Mataku berkunang-kunang. Terakhir kali yang sempat kulihat; binatang-binatang semakin banyak berdatangan, mereka semua mengerumuni dan menatap ke arahku. Dan mereka juga tertawa-tawa liar.
Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Ada hanya gelap!
Sangat gelap…

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar