Selasa, 21 Februari 2012

Biar bagaimanapun aku harus mengucapkan terima kasih pada wartawan di seluruh negeri ini.


Tidak aku pungkiri, sejujurnya dalam hatiku, bahwa wartawan itu hanyalah sekumpulan orang-orang munafik dan pengecut. Bagiku mereka itu sama saja dengan teroris. Hanya saja caranya tidak ekstrim seperti halnya teroris sungguhan. Para wartawan hanya menyiarkan ketimpangan dan segala kejahatan pada dunia. Dengan begitu mereka pun menciptakan teror pada orang-orang. Jadi aku tidak salah menilai kalau mereka bagian dari teroris.
Wartawan bisa membuat orang biasa menjadi orang yang sangat terkenal dan dipuja-puja. Tapi mereka juga bisa berbuat sebaliknya, mereka bisa membuat orang jatuh, atau membuat orang menjadi paling hina di dunia ini. Bagiku mereka juga tak ubahnya seperti bunglon, mereka selalu merubah kulitnya apabila mendadak situasi membahayakan, kemudian mereka akan menyelundup ke tempat yang lebih menguntungkan.
Tapi, apa mau dikata, kenyataannya mereka memang ada di dunia ini. Hidup yang serba sulit ini, bukan hanya munafik, orang yang menjual harga diri saja kadang masih belum cukup beruntung. Jadi menurutku itu sangat wajar saja, silahkan orang mau berbuat munafik, atau bahkan yang lebih parah dari itu semua.
Saat ini para wartawan memang sedang menyukai diriku, jadi berita mengenai diriku yang mereka sebarkan lewat media cetak maupun elektronik selalu yang baik-baik. Dan tidak aku pungkiri, bahwa jabatan yang sekarang aku duduki ini, juga tidak lepas dari peran dan bantuan mereka. Tapi sekali lagi aku bukan orang bodoh, aku sadar kelak mereka pun bisa saja berbuat yang sebaliknya padaku, untuk itu aku pun sudah mempersiapkan hal-hal sifatnya antisipasi atau pun cara untuk menghindarinya. Paling tidak sekarang aku mulai jaga jarak dengan mereka.
Tiga hari yang lalu di sejumlah media cetak memberitakan tentang aku di halaman pertama, bahkan media elektronik pun menyiarkan langsung dengan tajuk berita special. Dalam berita itu, judulnya saja sudah membuat banyak orang trenyuh; ‘Aku pergi ke sekolah selalu dengan berjalan kaki’.
Sejak berita itu muncul di televise dan media masa, semua orang jadi mengenangku dengan sosok orang yang sederhana, bahkan orang-orang mulai menganggap aku adalah orang yang tidak pantang menyerah. Dan sekarang seluruh negeri ini sangat mendukung dan mencintaiku. Harus kuakui kehebatan kerja para wartawan, dan sejujurnya dalam hatiku ingin mengucapkan banyak terima kasih pada mereka, khususnya wartawan di negeri ini.
Pada saat aku membaca berita itu, aku tidak sanggup menahan tertawa. Bagaimana tidak? Memang benar, pada saat aku sekolah dulu, aku memang berjalan kaki. Tapi jamannya tidak seperti sekarang ini. Dulu ketika aku bersekolah, maksudku, pada jaman itu, orang-orang disekitarku itu masih banyak yang kelaparan, jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja sangat sulit. Jadi bisa dibayangkan pada jaman itu kehidupan keluargaku sudah cukup mapan dibandingkan dengan orang lain. Singkat ceritanya, kebutuhan makan dan liburan sudah tercukupi, jadi aku pun masih bisa dengan mudah membayar biaya sekolah. Dalam berita itu juga ditulis aku selalu berjalan kaki ke sekolah, dan itu juga benar. Tapi kalau kalian tahu pada masa itu, jangankan kendaraan, jalan saja belum ada. Jadi bukan aku saja yang berjalan kaki ke sekolah, seluruh murid-murid di sekolahan itupun demikian, bahkan guru-guru juga. Pada masa itu kendaraan yang ada hanyalah sepeda, itupun sangat sulit untuk dikendarai karena jalan memang belum terbentuk dan penuh bebatuan. Jadi memang yang paling nyaman untuk pergi ke sekolah itu ya berjalan kaki, lagipula jaraknya tidak terlalu jauh.
Tapi semua yang baru saja kuceritakan ini tidak ada dalam berita itu. Tentu saja, aku bukan orang tolol, jadi jelas tidak mungkin aku menceritakan yang sesungguhnya pada wartawan. Hanya cukup aku dan orang-orang terdekatku saja yang tahu kejadian yang sesungguhnya.
Tokk… Tokk… Tokk…
“Masuk!” kataku pada seseorang yang mengetuk pintu, “Pintunya tidak dikunci!”
“Selamat Pagi, Bapak Presiden!” Pengawalku muncul dari dari balik pintu, dan memberi salam hormat padaku.
“Ada apa?”
“Maafkan saya, Bapak Presiden. Saya hanya ingin menyampaikan, kalau mobil sudah siap mengantarkan Bapak Presiden.”
“Siap?” tanyaku tidak mengerti, “Maksudmu apa?”
“Sekali lagi saya minta maaf, Bapak Presiden!” Ia menganggukkan kepala, “Bukankah hari ini Bapak Presiden punya janji, bertemu dengan masyarakat.”
“Oh iya aku lupa!” sahutku, “Ah itu pertemuan tidak penting. Lagipula yang akan mereka sampaikan pastilah tidaklah jauh dari kesusahan hidupnya.”
Ia mengangguk-anggukan kepala sambil tersenyum.
“Begini saja,” Aku memberikan usul. “Kau hubungi saja wakilku. Suruh dia yang menggantikan aku. Hari ini aku benar-benar sedang letih.”
“Pesan Bapak Presiden akan saya laksanakan dengan baik!” katanya, “Kalau begitu saya permisi dulu! Selamat pagi, Bapak Presiden!” Ia pun memberikan hormat padaku, kemudian pergi melaksanakan perintahku.
Memang enak jadi orang nomor satu di negeri ini, dengan begitu aku bisa berbuat sesuka hatiku. Kalau aku sedang malas untuk melakukan kegiatan dan tugasku, aku sudah mempunyai wakil. Bahkan kalau aku malas untuk bicara, aku pun sudah mempunyai juru bicara yang bisa menggantikanku.
Maaf pembaca aku harus menyudahi cerita ini. Aku letih sekali, dan ingin istirahat dulu. Bye-bye…

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar