Kamis, 23 Februari 2012

Suatu pagi

“Bangsat!”
“BANGSAT!” Aku mengumpat sekuat tenagaku.
Pagi seperti ini, aku harus terbangun dari tidurku yang nyenyak. Ini sungguh mimpi paling buruk dalam sejarah hidupku. Suara keras dan sangat berisik bagai ratusan petir berada di luar rumahku. Padahal belum pernah ada sejarahnya aku bangun tidur pagi seperti ini. Dan yang lebih parah lagi, aku bangun tidur bukan karena kemauanku sendiri. Ini benar-benar hal yang sangat kubenci.

Kami ingin keadilan!
Kami bukan hewan kurban!
Kami ingin… 

Aku pun segera keluar dari kamarku. Tapi tak kulihat siapa pun.

Kami ingin kesejahteraan!
Kami bukan budak!
Kami ingin hidup damai!
Kami bukan…

“PENGAWAL!” Teriakku dengan amarah yang tidak terkendali.
Tidak lama kemudian pintu rumahku pun terbuka. Pengawal pribadiku pun masuk dan menghampiri aku. “Selamat pagi, Bapak Presiden!”
“Apa yang terjadi?” kataku, “Kau dengar, apa yang terjadi dengan suara berisik di luar sana itu?”
“Maafkan saya, Bapak Presiden,” Pengawal itu menundukkan kepala. “Rakyat sedang dibakar murka, mereka datang berbondong-bondong ingin bertemu dengan Bapak Presiden.”
“Memangnya mereka mau apa?” Tanyaku bingung, marah, bercampur aduk.
“Maafkan saya, Bapak Presiden,” Jawabnya dengan suara gemetar.
“Jawab yang jelas!” kataku lebih lantang. “Jangan membuatku lebih marah.”
“Rakyat minta dikembalikan tanah mereka yang telah digusur ol—”
“Setan Alas!” potongku, “Kau itu tak lebih dari Pengawal Dungu! Percuma saja aku membayarmu mahal. Kau punya anak buah banyak, lalu apa yang kau kerjakan selama ini? Bagaimana rakyat bisa datang kemari?”
Pengawalku semakin ketakutan. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat yang mengucur deras dari dahinya. Kakinya juga gemetar. Ia hanya menunduk melihat ujung sepatunya sendiri, tidak berani menatap ke arahku.
“Sekarang, kau bisa lihat sendiri,” kataku lagi menjelaskan. “Aku ini presiden yang harus kau jaga! Nyawamu itu taruhannya! Bukan malah diam saja, membiarkan rakyat membangunkan tidurku nyenyak.”
“Sekali lagi ampuni saya, Bapak Presiden,”
Ini bukan pekerjaan mudah, pikirku. Biasanya rakyat kalau sudah datang, sulit untuk disuruh pulang begitu saja. Kalau rakyat sedang dibakar murka seperti ini sangat sulit untuk dipadamkan. Kalau saja para pengawalku pintar, seharusnya mereka bisa mencegat rakyat di tengah jalan, menghalangi tujuannya, dan jangan sampai ke sini. Seumpama rakyat masih bersikeras meneruskan tujuannya, mereka bisa memberikan beberapa tembakan, beberapa orang mati, pasti yang lainnya akan lari ketakutan. Seharusnya para pengawalku tahu gunanya memiliki senjata api, lagipula mereka sudah terlatih untuk membunuh, jadi tidak akan terlalu sulit melakukannya. Tapi kalau sekarang rakyat yang ada di depan rumahku itu dibunuh semua, rakyat di seluruh negeri ini akan tahu, dan menudingku sebagai presiden yang tidak punya perikemanusiaan. Bisa kacau citra baikku sebagai presiden di mata dunia.
“Sekarang, aku maafkan kau,” Aku mengecilkan volume suaraku. “Tapi ingat! Ini kejadian terakhir, dan aku tidak mau melihat yang seperti ini lagi.”
“Terima kasih banyak, Bapak Presiden,” Ia mengangguk-anggukan kepalanya berulangkali. “Saya tunggu perintah selanjutnya…”
“Sekarang katakan kepada seluruh rakyat untuk menungguku sebentar,” Aku memandangi pengawalku, “Kau tahu sendiri kebiasaan yang kulakukan setelah bangun tidur, aku harus minum kopi dan merokok dulu.”
“Saya siap menjalankan perintah Bapak Presiden,” Ia memberi hormat kepadaku, lalu balik badan, dan melangkah pergi meninggalkanku.
“Tunggu!” Ia pun langsung menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arahku. “Katakan kepada seluruh rakyat untuk jangan berisik.”

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar