Rabu, 15 Februari 2012

Tamu


Tokk... Tokk... Tokk...

“Siapa?”
Aku menghentikan pekerjaanku, dan memandang ke arah pintu. Namun setelah kutunggu hingga beberapa menit suara ketukan pintu itu tidak terdengar lagi. Mungkin hanya orang iseng, pikirku. Aku pun kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Tapi tepat pada saat aku menyentuhkan penaku di atas kertas, suara ketukan pintu kembali terdengar lagi.
“Siapa di luar sana?” tanyaku dengan suara lebih keras.
Tapi setelah menunggu, kejadian yang sama terulang lagi. Suara ketukan pintu itu tidak terdengar lagi, dan juga tidak ada jawaban apa-apa.
Kejadian itu terulang lagi hingga empat kali.
“Siapa kau?” Irama detak jantungku mulai berpacu cepat.
Setiap kali terdengar ketukan, aku langsung menanyakannya. Tapi ketukan itu langsung berhenti lagi, bahkan aku juga tidak mendengar jawaban apa-apa.
Mungkinkah dia bisu, pikirku. Tapi seketika pikiranku yang lain menyangkal; tidak mungkin. Selama ini, aku tidak punya teman bisu. Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sepanjang hidupku, aku memang jarang punya tamu—maksudku tamu yang mengetuk pintu seperti ini. Teman-temanku kalau datang mencariku langsung nyelonong masuk ke dalam rumah, tanpa mengetuk pintu. Atau kalau tidak mereka akan berteriak dari luar memanggil namaku.
Jelas tamu ini akan merampokku, pikirku. Tapi seketika pikiranku yang lain menyangkal; mana ada yang mau merampok aku. Rumahku saja sangat jelek, sebenarnya justru lebih tepat disebut gubuk, selain sudah reot dan keropos kayunya, yang lebih parah lagi gubuk ini juga sudah doyong, nyaris ambruk. Jadi tidak perlu perampok, anak kecil pun tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Maksudku barang berharga yang bisa dijual.
Aku melihat ke arah sekelilingku. Sejujurnya aku sedang mencari kayu, atau apa saja yang bisa kugunakan sebagai senjata darurat. Tapi seperti yang sudah kubilang di rumahku tidak ada apa-apa. Yang ada hanyalah tumpukan kertas karyaku, dan beberapa pena bekas yang sudah habis tintanya. Maklum aku hanyalah seorang penulis miskin.
Mungkin aku bisa menggunakan kertas ini, pikirku. Ketika mataku tertuju pada tumpukan kertas hasil karyaku yang tersusun di dalam kardus. Aku bisa melemparkannya, pikirku. Aku yakin pasti dia akan pingsan tertimpa kardus ini.
Tapi ketika aku berusaha mengangkat kardus berisi tumpukan kertas karyaku, ternyata beratnya bukan main. Maklum kertas itu adalah karyaku yang kutulis sejak aku masih kecil, jadi wajar kalau sudah bertumpuk-tumpuk. Bahkan kertas di kardus itu sudah berkurang banyak, ibuku pernah menjualnya, maksudku bukan dijual ke penerbit, melainkan dijual sebagai kertas bekas ke pabrik kertas daur ulang. Tentu saja ibuku melakukannya tanpa sepengetahuanku, sebab jika aku tahu, aku pasti marah besar. Ibuku mengatakannya kemudian, ketika kami sedang makan malam. Lalu sempat kutanyakan uang hasil penjualan kertas karyaku itu. Ibuku hanya menjawab dengan menunjukkan jarinya ke arah hidangan makan malam. Begitulah nasib karyaku; menjadi hidangan makan malam kami, dan esok hari sebagian menjadi tahi di lobang kakus.
Tapi sekarang aku hidup sendiri, menghabiskan sebagian besar waktuku dengan menulis. Aku memang tidak bercita-cita menjadi penulis, apalagi menjadi penulis terkenal. Aku juga bukan seorang penulis yang berusaha keras ingin mencatatkan namanya pada dunia ini. Pada intinya aku menjadi penulis, karena aku memang ingin menulis, hanya itu.

Tokk... Tokk... Tokk...

“Sebenarnya siapakah kau?” Aku mengeraskan volume suaraku. “Apa tujuanmu ke sini!”
Kardus berisi kertas karyaku kuletakkan lagi, nafasku jadi terengah-engah. Aku tidak sanggup mengangkatnya lebih lama lagi. Aku mengambil pena bekas, dan menggengam kuat-kuat. Jika tamu itu masuk, aku akan langsung menubruk dan menancapkan pena tepat ke matanya. Kalau tidak kena matanya, mungkin di bagian lain tubuhnya, se-dapat-nya saja, yang penting pena ini harus menancap. Maklum aku belum pernah berkelahi.
Hening. Tidak ada lagi terdengar suara ketukan pintu, atau jawaban apapun. Justru nafasku sendiri yang kudengar, aku seperti baru saja berlari tujuh kali mengelilingi lapangan bola. Irama detak jantungku juga semakin berpacu cepat sekali. Menunggu, menunggu, dan menunggu… Hingga setengah jam berlalu, tapi tidak kudengar suara ketukan pintu, atau jawaban apa pun.
Bukankah aku tidak punya musuh, pikirku. Kenapa aku harus berprasangka buruk. Kalaupun tamu itu berniat jahat, apa yang mereka akan dapatkan dariku, aku tidak punya apa-apa. “Sangat bodoh!” Aku mengumpat pada diriku sendiri. Tapi suaraku sangat pelan, nyaris seperti berbisik.
Sekarang aku sadar diri, berlapang dada, siap menghadapi apapun yang akan terjadi padaku. Kubuang penaku, kutarik nafas lebih dalam, dan aku hembuskan perlahan-lahan. Lalu aku melangkah menuju pintu. “Maaf, kau yang ada di luar,” kataku pelan. “Sebenarnya siapa kau? Apa keperluan datang ke rumahku?” Aku diam sejenak. Tapi tetap tidak kudengar suara apa-apa. “Ayo jawab!” kataku lebih lebih keras. “Siapa kau? Sejenis apa kau itu? Manusia? Tumbuhan? Binatang? Setan? Atau… Tuhan?”
Jantungku yang berdetak cepat, semakin bertambah cepat. Nafasku yang memburu, sempat berhenti sejenak. Aku meraih gagang pintu dan langsung membukanya. Ternyata di depan rumahku sudah tidak ada siapa, apa, atau entahlah. Sejauh mata memandang yang kulihat hanyalah gelap, gelap, dan gelap.
Aku membiarkan pintu rumahku tetap terbuka. Aku duduk memandang ke arah luar, dengan setumpuk pertanyaan-pertanyaan yang berlompatan dalam pikiranku. Apa tujuan tamu itu mencariku malam-malam seperti ini? Sebenarnya siapakah tamuku itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang lainnya.
Aku menyesal terlalu lama berpikir, dan lambat bergerak. Seharusnya aku langsung membuka pintu rumahku, dan mengetahui siapa tamu yang mencariku itu. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Seharusnya tidak ada yang perlu kutakutkan. Seharusnya aku harus selalu berlapang diri menghadapi apapun yang akan menghampiriku, kapan dan dimana saja. Bukankah hidup ini penuh dengan kejutan? Jadi mungkin saja, kalau tamu yang datang tadi adalah Tuhan, yang akan mengajakku ke surga.
Aku hanya bisa berharap, semoga tamu itu akan kembali.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar