Namaku Ganteng Tiada
Tanding, tapi dalam kehidupan sehari-hariku semua isteriku, maafkan aku soalnya
isteriku banyak, dan perempuan-perempuan simpanan memanggilku dengan Tuan
Ganteng. Tetapi pengawal, pembantu, orang-orang suruhan-ku, dan yang lainnya
memanggilku dengan Tuan Tanah. Tentunya mereka memanggilku
dengan sebutan itu bukan hanya asal sebut, atau tanpa pikir. Selain aku orang
yang sangat kaya raya, aku memang memiliki tanah hampir semua kota yang ada di
negeri ini. Itulah sebabnya aku bisa dipanggil Tuan Tanah, dan aku bangga
dengan sebutan yang aku sandang itu.
Pagi ini sebenarnya
bukan kebiasaanku, bahkan boleh dibilang belum pernah aku melakukannya. Maklum
sebagai orang terhormat dan sangat kaya raya, tentunya aku sangat sibuk dengan
aktifitasku. Dan semua bisnis sudah kupercayakan kepada para bawahanku, jadi
aku hanya tingal menerima beres saja.
Hari ini, aku ingin
melebarkan sayap bisnisku. Aku ingin membangun tempat perjudian, dan lokalisasi
kelas tinggi, elite, dan hanya diperuntukan bagi para pejabat negara, dan
orang-orang kaya saja. Untuk itu sekarang aku sedang ingin mencari lokasi yang
strategis.
Hanya dengan
menjentikkan jariku, pengawal pribadiku langsung datang menghampiri. Namanya
juga boss, jadi mana berani orang-orang melawanku, bisa kupecat dia.
“Segera siapkan
mobil,” kataku dengan suara keras, “Aku ingin melihat pemandangan di kota ini,
ak—”
“Siap laksanakan, Tuan Tanah!”
kata pengawalku dengan suara lantang.
“Kurang ajar kau!”
Aku membesarkan volume suaraku, “Ludahmu menyembur! Kalau sedang tidak disorot
kamera para wartawan, bicaramu pelan saja! Jangan membentakku, lagipula aku kan
belum selesai bicara! Kalau belum kusuruh menjawab, kau jangan menjawab dulu,
mengerti!”
“Maafkan saya, Tuan Tanah!”
Jawab pengawalku dengan nada pelan dan ketakutan. Kemudian ia pun menundukan
kepala, dan kakinya gemetar.
“Bagus, bagus
sekali!” Aku tersenyum melihat pengawalku yang sudah ketakutan. “Sudah sana
pergi!” kataku, “Ayo cepat, kenapa masih berdiri di sini!”
“Baiklah, Tuan
Tanah!” jawabnya. Tanpa membuang-buang waktu, ia pun membungkuk memberi hormat kepadaku,
lalu balik kanan, pergi.
Aku memang paling
senang mempermainkan pengawal atau bawahanku yang lain. Kadang aku membentak mereka kencing di celana, setelah itu aku menyuruhnya tertawa, sehingga mimik
wajahnya jadi terlihat sangat aneh. Jangankan hanya pengawal, hampir semua
orang di negeri ini tunduk sama perintahku, mereka tidak ada yang berani
membantahku. Ya memang seharusnya begitu. Aku kan orang terhormat, dan sangat
kaya raya di negeri ini.
Di dalam mobil
limosin aku ditemani dengan empat pengawal pribadiku. Seperti biasa setiap kali
aku dalam perjalanan menggunakan mobilku—di dalam mobilku ini selalu tersedia
bermacam-macam minuman keras. Maka aku dan pengawalku pun minum sambil
mengobrol tentang apa saja. Tapi sebelumnya aku harus menyuruh mereka untuk
minum dan mengobrol, kalau tidak, mana berani mereka melakukannya.
Pada saat pandangan
mataku menoleh ke arah keluar, aku terkejut bukan main dengan
penglihatanku sendiri. Aku melihat pemukiman orang-orang kampung, tentu saja
rumah-rumah mereka sangat jelek dan reot. Tapi masalahnya bukan itu!
Orang-orang kampung itu membuat rumah dan bermukim di atas tanahku. Jadi kata
lain dari terkejut bukan main bisa juga bermakna; aku sangat tidak suka,
dan benci hal ini, apalagi menyangkut tanahku.
“BERHENTI !!”
Teriakku dengan sangat lantang, “Pengawal Goblok! Cepat suruh supir
menghentikan mobil ini! CEPAT !!” teriakku lagi lebih keras. Ketika melihat
para pengawalku hanya menundukkan kepalanya, dan tidak segera menyuruh sopir
untuk menghentikan laju mobil.
“Sekarang buka
jendela kacanya, dan lihat apa yang terjadi di luar sana!” kataku. Mereka pun
berebutan untuk melongokan kepala ke luar melalui jendela mobil. “Kalau masih
tidak mengerti juga, tanya padaku!”
“Apa yang terjadi, Tuan Tanah?”
tanya salah seorang pengawal.
“Mata kalian buta!”
kataku, “Lihat baik-baik di luar sana!” Aku menunjuk ke arah orang-orang
kampung. “Kalau kalian masih belum mengerti yang kumaksud, tanya lagi padaku!”
“Orang? Rumah? Ad—”
“Bodoh!” umpat-ku,
“Kalian lebih bodoh dari babi! Tidak punya otak! Hanya soal makan saja yang
kalian pikirkan! Ka…” Aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku, tenggorokanku
terasa kering dan sakit sekali. Lalu aku menuangkan wisky ke gelas kosong di
tanganku, dan langsung menenggaknya. “Ehm, oke, sekarang dengarkan baik-baik apa yang aku katakan!
Sekarang tenggorokanku sakit, jadi aku akan bicara pelan saja. Tapi awas kalau
kalian masih juga tidak mengerti topic yang kubicarakan,” kataku mengancam.
Empat pengawalku
langsung duduk merapat.
“Orang-orang kampung
itu telah membangun pemukiman, membajak, berladang, dan mereka melakukannya di
atas tanahku. Dan perlu kalian ketahui, aku sama sekali tidak suka dengan itu
semua!” Kuperhatikan pengawalku satu demi satu. “Sampai di sini kalian mengerti
yang kumaksud?”
Empat pengawalku
langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dengar lagi
baik-baik,” kataku, “aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk menggaji kalian
semua. Kalian orang-orang kepercayaanku, tapi kenapa kalian bisa tidak tanggap
dengan ini semua. Apa saja yang kalian lakukan selama ini?” Kudorong kepala
mereka dengan jariku, “Dan sekarang juga kuperintahkan pada kalian semua. Aku
ingin orang-orang kampung itu lenyap dari tanahku! KALIAN MENGERTI MAKSUDKU!!”
Semula aku memang
bicara pelan-pelan, namun entah kenapa bisa menjadi keras dengan sendirinya.
Mungkin karena perasaanku yang sedih dan marah kepada orang-orang kampung yang
sama sekali tidak menghormatiku, dan ditambah lagi dengan para pengawalku yang
sangat bodoh.
“Sekarang juga,”
kataku, “kalian diskusikan apa yang seharusnya akan kalian lakukan!”
Kemudian empat
pengawalku saling berbicara. Entah, aku sendiri tidak begitu mengerti yang
mereka bicarakan. Kepalaku sudah pusing untuk mendengarnya.
“Maafkan kami, Tuan Tanah!”
Kata salah satu pengawal, “Biar sekarang juga saya habiskan orang-orang kampung
itu dengan senapan ini!” Ia pun menunjukan pistol yang diambil dari balik
jasnya.
“Jangan, jangan!”
Pengawal yang lain tidak menyetujui, “Nanti ketika senapan itu meletus, mereka
akan kabur! Dan kita akan kewalahan untuk mengejar yang lainnya!”
“Bagaimana kalau
mereka langsung dibom saja,” Pengawal lain memberikan usul.
“Wah, itu juga
jangan!” Pengawal lain kembali tidak menyetujui, “Suara ledakan bom itu akan
terdengar keras sekali. Dan orang-orang yang tinggal di tempat lain akan
berbondong-bondong datang ke tempat ini.”
“Bagaimana kalau kita
menyebar dan membakar rumah orang-orang kampung itu?” Pengawal lain memberikan
usul, “Lalu kita berjaga-jaga, nanti kalau mereka ada yang kabur, kita bisa
langsung menembaknya!”
Para pengawalku diam,
kemudian saling pandang satu sama lain. Tidak lama kemudian mereka saling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku juga tidak tahu apa maksud mereka
mengangguk-anggukan kepalanya, karena saat mereka berbicara aku kurang begitu
mendengarkan.
“Sekali lagi ampuni kami, Tuan
Tanah,” kata salah satu pengawalku, “Apakah usul saya diterima?”
Spontan saja aku
panik mendapat pertanyaan seperti itu. Usul yang mana, pikirku. Tapi aku tidak
mungkin menunjukan kepanikanku, nanti bisa membuat wibawaku tidak hormati di
mata mereka. “Terserah kalian!” kataku, “Aku sudah mempercayakan hal ini pada
kalian semua. Aku hanya ingin orang-orang kampung itu lenyap dari tanahku!
Mereka mau kalian tembak, bakar, tusuk… atau mau kalian kubur hidup-hidup, aku
tidak peduli! AKU HANYA INGIN ORANG-ORANG MISKIN ITU LENYAP!!”
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar