Selasa, 14 Februari 2012

Hanya ingin melebarkan sayap bisnisku


Namaku Ganteng Tiada Tanding, tapi dalam kehidupan sehari-hariku semua isteriku, maafkan aku soalnya isteriku banyak, dan perempuan-perempuan simpanan memanggilku dengan Tuan Ganteng. Tetapi pengawal, pembantu, orang-orang suruhan-ku, dan yang lainnya memanggilku dengan Tuan Tanah. Tentunya mereka memanggilku dengan sebutan itu bukan hanya asal sebut, atau tanpa pikir. Selain aku orang yang sangat kaya raya, aku memang memiliki tanah hampir semua kota yang ada di negeri ini. Itulah sebabnya aku bisa dipanggil Tuan Tanah, dan aku bangga dengan sebutan yang aku sandang itu.
Pagi ini sebenarnya bukan kebiasaanku, bahkan boleh dibilang belum pernah aku melakukannya. Maklum sebagai orang terhormat dan sangat kaya raya, tentunya aku sangat sibuk dengan aktifitasku. Dan semua bisnis sudah kupercayakan kepada para bawahanku, jadi aku hanya tingal menerima beres saja.
Hari ini, aku ingin melebarkan sayap bisnisku. Aku ingin membangun tempat perjudian, dan lokalisasi kelas tinggi, elite, dan hanya diperuntukan bagi para pejabat negara, dan orang-orang kaya saja. Untuk itu sekarang aku sedang ingin mencari lokasi yang strategis.
Hanya dengan menjentikkan jariku, pengawal pribadiku langsung datang menghampiri. Namanya juga boss, jadi mana berani orang-orang melawanku, bisa kupecat dia.
“Segera siapkan mobil,” kataku dengan suara keras, “Aku ingin melihat pemandangan di kota ini, ak—”
“Siap laksanakan, Tuan Tanah!” kata pengawalku dengan suara lantang.
“Kurang ajar kau!” Aku membesarkan volume suaraku, “Ludahmu menyembur! Kalau sedang tidak disorot kamera para wartawan, bicaramu pelan saja! Jangan membentakku, lagipula aku kan belum selesai bicara! Kalau belum kusuruh menjawab, kau jangan menjawab dulu, mengerti!”
“Maafkan saya, Tuan Tanah!” Jawab pengawalku dengan nada pelan dan ketakutan. Kemudian ia pun menundukan kepala, dan kakinya gemetar.
“Bagus, bagus sekali!” Aku tersenyum melihat pengawalku yang sudah ketakutan. “Sudah sana pergi!” kataku, “Ayo cepat, kenapa masih berdiri di sini!”
“Baiklah, Tuan Tanah!” jawabnya. Tanpa membuang-buang waktu, ia pun membungkuk memberi hormat kepadaku, lalu balik kanan, pergi.
Aku memang paling senang mempermainkan pengawal atau bawahanku yang lain. Kadang aku membentak mereka kencing di celana, setelah itu aku menyuruhnya tertawa, sehingga mimik wajahnya jadi terlihat sangat aneh. Jangankan hanya pengawal, hampir semua orang di negeri ini tunduk sama perintahku, mereka tidak ada yang berani membantahku. Ya memang seharusnya begitu. Aku kan orang terhormat, dan sangat kaya raya di negeri ini.
Di dalam mobil limosin aku ditemani dengan empat pengawal pribadiku. Seperti biasa setiap kali aku dalam perjalanan menggunakan mobilku—di dalam mobilku ini selalu tersedia bermacam-macam minuman keras. Maka aku dan pengawalku pun minum sambil mengobrol tentang apa saja. Tapi sebelumnya aku harus menyuruh mereka untuk minum dan mengobrol, kalau tidak, mana berani mereka melakukannya.

Pada saat pandangan mataku menoleh ke arah keluar, aku terkejut bukan main dengan penglihatanku sendiri. Aku melihat pemukiman orang-orang kampung, tentu saja rumah-rumah mereka sangat jelek dan reot. Tapi masalahnya bukan itu! Orang-orang kampung itu membuat rumah dan bermukim di atas tanahku. Jadi kata lain dari terkejut bukan main bisa juga bermakna; aku sangat tidak suka, dan benci hal ini, apalagi menyangkut tanahku.
“BERHENTI !!” Teriakku dengan sangat lantang, “Pengawal Goblok! Cepat suruh supir menghentikan mobil ini! CEPAT !!” teriakku lagi lebih keras. Ketika melihat para pengawalku hanya menundukkan kepalanya, dan tidak segera menyuruh sopir untuk menghentikan laju mobil.
“Sekarang buka jendela kacanya, dan lihat apa yang terjadi di luar sana!” kataku. Mereka pun berebutan untuk melongokan kepala ke luar melalui jendela mobil. “Kalau masih tidak mengerti juga, tanya padaku!”
“Apa yang terjadi, Tuan Tanah?” tanya salah seorang pengawal.
“Mata kalian buta!” kataku, “Lihat baik-baik di luar sana!” Aku menunjuk ke arah orang-orang kampung. “Kalau kalian masih belum mengerti yang kumaksud, tanya lagi padaku!”
“Orang? Rumah? Ad—”
“Bodoh!” umpat-ku, “Kalian lebih bodoh dari babi! Tidak punya otak! Hanya soal makan saja yang kalian pikirkan! Ka…” Aku tidak jadi melanjutkan kata-kataku, tenggorokanku terasa kering dan sakit sekali. Lalu aku menuangkan wisky ke gelas kosong di tanganku, dan langsung menenggaknya. “Ehm, oke, sekarang dengarkan baik-baik apa yang aku katakan! Sekarang tenggorokanku sakit, jadi aku akan bicara pelan saja. Tapi awas kalau kalian masih juga tidak mengerti topic yang kubicarakan,” kataku mengancam.
Empat pengawalku langsung duduk merapat.
“Orang-orang kampung itu telah membangun pemukiman, membajak, berladang, dan mereka melakukannya di atas tanahku. Dan perlu kalian ketahui, aku sama sekali tidak suka dengan itu semua!” Kuperhatikan pengawalku satu demi satu. “Sampai di sini kalian mengerti yang kumaksud?”
Empat pengawalku langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dengar lagi baik-baik,” kataku, “aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk menggaji kalian semua. Kalian orang-orang kepercayaanku, tapi kenapa kalian bisa tidak tanggap dengan ini semua. Apa saja yang kalian lakukan selama ini?” Kudorong kepala mereka dengan jariku, “Dan sekarang juga kuperintahkan pada kalian semua. Aku ingin orang-orang kampung itu lenyap dari tanahku! KALIAN MENGERTI MAKSUDKU!!”
Semula aku memang bicara pelan-pelan, namun entah kenapa bisa menjadi keras dengan sendirinya. Mungkin karena perasaanku yang sedih dan marah kepada orang-orang kampung yang sama sekali tidak menghormatiku, dan ditambah lagi dengan para pengawalku yang sangat bodoh.
“Sekarang juga,” kataku, “kalian diskusikan apa yang seharusnya akan kalian lakukan!”
Kemudian empat pengawalku saling berbicara. Entah, aku sendiri tidak begitu mengerti yang mereka bicarakan. Kepalaku sudah pusing untuk mendengarnya.
“Maafkan kami, Tuan Tanah!” Kata salah satu pengawal, “Biar sekarang juga saya habiskan orang-orang kampung itu dengan senapan ini!” Ia pun menunjukan pistol yang diambil dari balik jasnya.
“Jangan, jangan!” Pengawal yang lain tidak menyetujui, “Nanti ketika senapan itu meletus, mereka akan kabur! Dan kita akan kewalahan untuk mengejar yang lainnya!”
“Bagaimana kalau mereka langsung dibom saja,” Pengawal lain memberikan usul.
“Wah, itu juga jangan!” Pengawal lain kembali tidak menyetujui, “Suara ledakan bom itu akan terdengar keras sekali. Dan orang-orang yang tinggal di tempat lain akan berbondong-bondong datang ke tempat ini.”
“Bagaimana kalau kita menyebar dan membakar rumah orang-orang kampung itu?” Pengawal lain memberikan usul, “Lalu kita berjaga-jaga, nanti kalau mereka ada yang kabur, kita bisa langsung menembaknya!”
Para pengawalku diam, kemudian saling pandang satu sama lain. Tidak lama kemudian mereka saling mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku juga tidak tahu apa maksud mereka mengangguk-anggukan kepalanya, karena saat mereka berbicara aku kurang begitu mendengarkan.
“Sekali lagi ampuni kami,  Tuan Tanah,” kata salah satu pengawalku, “Apakah usul saya diterima?”
Spontan saja aku panik mendapat pertanyaan seperti itu. Usul yang mana, pikirku. Tapi aku tidak mungkin menunjukan kepanikanku, nanti bisa membuat wibawaku tidak hormati di mata mereka. “Terserah kalian!” kataku, “Aku sudah mempercayakan hal ini pada kalian semua. Aku hanya ingin orang-orang kampung itu lenyap dari tanahku! Mereka mau kalian tembak, bakar, tusuk… atau mau kalian kubur hidup-hidup, aku tidak peduli! AKU HANYA INGIN ORANG-ORANG MISKIN ITU LENYAP!!”

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar