Perempuan itu bernama
Allany, umurnya 26 tahun. Sekarang, ia sudah tidak peduli lagi padaku. Ia tidak
lagi mencintaiku. Ia sudah menikah, tepatnya setengah tahun yang lalu. Tapi
yang membuatku tak habis pikir, ia tidak pernah memberikan kebebasan padaku
untuk menikmati hidup.
Aku
tidak bisa pergi kemana aku suka, meskipun aku sendiri tidak tahu akan pergi
kemana. Sejujurnya aku bisa saja kabur meninggalkannya, tapi entah kenapa aku
tidak bisa. Sepertinya aku mempunyai hati yang tidak bisa dengan mudah
melupakan kenangan indah yang pernah kami jalani bersama, meskipun harus aku
katakana sekarang arahnya sudah berbeda. Bahkan hari-hari setelah pernikahannya,
ia selalu berbuat kasar padaku, dan itu ia lakukan padaku sampai sekarang.
Harus kuakui, aku memang tidak mengenal diriku secara utuh, jadi aku sendiri
tidak tahu persisnya seperti apa hingga aku memutuskan masih bertahan dengan
cinta dan setia kepadanya.
Sepuluh tahun yang
lalu, hari-hari yang kami lalui selalu penuh canda gelak tawa. Kami bahagia
sekali. Hampir seluruh waktu kami habiskan bersama-sama; berlari pagi di taman,
belanja ke supermarket, berlibur ke pantai, berkeliling di jalan-jalan kota,
dan masih banyak sekali tempat-tempat lain yang kami kunjungi. Kami selalu
mandi bersama; dengan tangannya yang lembut senantiasa mengusap punggungku,
hingga ke bagian organ yang paling pribadi, busa samphoo dan sabun menjadi
gelembung balon berwarna dan menjadi saksi keindahan yang pernah kami miliki.
Saat itu aku sangat yakin, ia juga senang melakukannya, melihat pancaran mata
dan senyumnya, ia begitu tulus mencintaiku. Ia selalu memperlakukanku layaknya
pangeran. Kami selalu tidur dalam satu ranjang, bertelanjang di bawah selimut,
saling membelai hingga menjelang tidur.
Suatu hari, tepatnya
hari apa aku sudah lupa; pikiran yang liar berkata kepadaku, mungkin lebih
tepatnya memperingatkan aku; ‘Sepertinya, selama ini hanya aku saja yang
terlalu berlebihan menilai ia, maksudku, ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku,
kalau pun benar, cinta yang ia punya tidak sebesar yang aku miliki. Aku pun
segera bertindak ingin membuktikan yang sesungguhnya terjadi. Vicky yang akan
menjadi targetku, Vicky akan aku jadikan umpan. Vicky adalah tetanggaku. Saat
itu aku sengaja mengajak Vicky mengobrol di taman belakang rumah, supaya suatu
saat Allany bisa melihatku dari kamarnya. Dan benar saja, saat kami tengah
asyik mengobrol, Allany tiba-tiba datang sambil marah. Allany juga membawa
pisau. Aku tidak tahu, apakah Vicky sengaja membawa pisau dan ingin menikamku,
atau itu hanya sebuah kebetulan saja. Maksudku, Vicky sedang memasak, secara
kebetulan melihatku, karena emosi sudah menguasainya, ia tidak sadar kalau
masih memegang pisau saat menghampiriku. Matanya merah dan berkaca-kaca, tampak
seperti marah dan ingin menangis. Aku juga tidak yakin, apakah ia benar-benar
marah dan ingin menangis karena melihatku bercengkerama dengan Vicky, atau
disebabkan bawang yang dikupasnya. Suara teriakan Allany sangat lantang menggelegar;
“Dasar tidak tahu diri!” Ia menghampiriku sambil mengarahkan ujung pisau itu
tepat pada wajahku, “Pulang! Mau pulang tidak! Cepat pulang!” Vicky yang
ketakutan langsung berlari pulang, ia melompati pagar yang membatasi rumah
kami. Aku pun segera menyadari kesalahanku, aku telah menyakiti hati Allany,
aku pun segera minta maaf padanya. Dan pada saat itu juga aku merasa sangat
yakin; Allany juga sangat mencintaiku, seperti aku mencintainya.
Sejak kejadian itu,
hubungan kami pun semakin terjalin dengan sangat baik dan mesra. Kami selalu
tidak terpisahkan. Hampir setiap hari kami selalu bersama, menyambut datangnya
pagi, menikmati indahnya hidup. Sungguh tidak pernah aku bayangkan, dalam
kehidupan yang serba carut-marut dan menyedihkan ini, justru aku menjalani
hidup seperti di surga. Rasanya tidak ada kata yang bisa mengungkapkan
perasaanku ini. Aku sangat bahagia sekali.
Dua tahun yang lalu,
pada saat musim panas, aku dan Allany sedang duduk di taman menikmati udara
pagi. Aku sendiri lupa awalnya bagaimana, karena pada saat itu aku begitu asyik
menikmati udara pagi, dan memperhatikan indahnya pepohonan dan rerumputan yang
tumbuh segar menghijau. Tiba-tiba secara tak sengaja aku menoleh ke arah
Allany, dan tepat pada saat itu aku mendapati Allany sedang saling beradu
pandang dengan seorang laki-laki. Mula-mula mereka sama-sama malu. Laki-laki
itu duduk di bangku lain, jaraknya sepuluh meter dari tempat duduk kami. Karena
aku merasa yakin Allany mencintaiku, aku pun tidak mempunyai pikiran buruk
padanya. Mungkin, mereka hanya saling mengagumi, atau hanya sekedar ingin
saling berkenalan, pikirku. Jadi aku berinisiatif untuk saling mendekatkan
jarak mereka berdua, aku mendatangi laki-laki itu, dan mengajaknya untuk lebih
dekat kepada Allany. Mereka pun saling berjabat tangan dan menyebutkan namanya.
Laki-laki itu bernama, Jordan.
Sejak perkenalan kami
dengan Jordan, dia sering mengunjungi kami di rumah. Lalu, kami bertiga sering
meluangkan waktu untuk pergi bersama. Semuanya tampak biasa saja, tidak ada
yang istimewa, kami bermain dan penuh canda tawa. Namun pada hari-hari
berikutnya, Jordan dan Allany sering pergi berdua saja, tanpa mengajak aku.
Mereka memaksa, aku tidak ikut. Aku mengakui, awalnya aku cemburu, tapi—menurutku
mereka bisa dipercaya. akhirnya aku pun tidak keberatan melepas mereka pergi.
Sepanjang hari aku menunggu mereka di rumah, sendirian.
Hari demi hari
berganti seperti biasa, sangat normal. Suatu hari ketika aku bangun tidur, aku
dikejutkan oleh suara riuh, tawa dan becanda. Bahkan aku juga mendengar denting
gelas beradu. Pesta, pikirku. Saat aku akan keluar kamar, pintu terkunci. Aku
berteriak sekuat tenaga, pintu kugedor, tapi hingga tenagaku habis, dan aku
kelelahan; tak seorang pun yang membukakan pintunya. Sekitar sejam kemudian
suara riuh itu hilang, sunyi sekali. Aku yakin semua orang yang ada di rumah
ini telah pergi. Tapi aku juga tidak punya sedikitpun pikiran buruk pada
mereka, terlebih lagi pada Allany. Mungkin pintu kamar ini terkunci dengan
tidak sengaja, mungkin Allany berpikir aku sedang pergi, mungkin ia tidak tahu
kalau aku berada di kamar ini, mungkin… Dan masih banyak lagi kata mungkin
bersarang di kepalaku, hingga berakhir pada suatu puncak perasaan tidak yakin
yang meresahkan perasaanku. Penantian panjang baru berakhir ketika hari sudah
menjelang malam; Allany dan Jordan datang, mereka membuka pintu kamar dan
langsung memelukku. Pada saat itu juga emosiku lenyap begitu saja, seperti api
yang diguyur air, lalu muncul asap dan hilang entah ke mana. Setelah kami puas
berpelukan, mereka berdua menatap ke arahku; mereka berdua terlihat sangat
aneh, tidak seperti biasanya, pakaian mereka berbeda tidak seperti yang biasa
mereka kenakan. Kalau aku tidak salah ingat, seumur hidupku aku belum pernah
melihat mereka berpakaian seperti itu. Allany memakai gaun putih panjang dan
berenda-renda, sementara Jordan mengenakan jas hitam dan sepatu hitam
mengkilap. Wajah mereka juga penuh riasan. Rambut mereka disisir sangat rapi.
Aku sangat yakin, bahwa mereka usai menghadiri sebuah pesta, pikirku. Tapi
belum sempat hilang perasaan terkejut, mereka berdua menunjukkan cincin di jari
mereka; “Kami telah menikah!” katanya hampir bersamaan. Mereka berdua tersenyum
bahagia sekali. Mereka kembali memelukku. Setelah itu mereka berdua pergi
begitu saja meninggalkanku. Aku tidak tahu harus berkata apa, tidak seluruhnya
aku mengerti apa maksud mereka bicara seperti itu. Aku benar-benar tidak tahu
apa yang harus kulakukan.
Sejak saat itu aku
sudah tidak lagi tidur di ranjang Allany, laki-laki yang bernama Jordan itu
yang telah menggantikan posisiku. Dan aku pun harus bisa menerima ketika mereka
menyuruhku tidur di sofa dekat televisi. Kini, mereka berdua seakan-akan
menganggap aku tak ada, kalau pun benar, aku yakin mereka tidak menganggap aku
ada. Suatu malam—entah hari apa, bulan apa, jam berapa, aku lupa, padahal semua
orang tahu aku pandai dalam soal mengingat, tapi entah kenapa aku bisa lupa
pada kejadian yang menurutku itu sebuah peristiwa yang sangat penting dalam
hidupku. Aku tidak bisa tidur, aku sangat kedinginan. Dan entah setan dari mana
yang telah merasuki pikiranku, tiba-tiba aku mempunyai keberanian untuk
mengetuk kamar mereka. Karena aku tidak mendapat respon, aku marah tidak
terkendali. Aku dobrak pintu kamar itu. Aku hampir saja terjatuh menabrak meja
kecil di dekat lemari pakaian, ternyata pintu itu tidak terkunci, langsung
terbuka lebar dan membentur dinding kamar. Allany dan Jordan menatapku tajam.
Aku yakin mereka sangat terkejut dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba,
tapi aku juga yakin mereka berdua marah padaku. Tidak lama kemudian Allany
keluar dari selimut, dan bertanya; “Ada apa?” Tapi menurutku mempunyai arti
lain, nadanya sama ketika ia mengatakan; “Apaan sih yang kau lakukan!” Allany
menyambar kedatanganku dengan nada tinggi dengan kesan membenci. Tapi mataku
jelas melihat yang ada di depanku, dan ternyata Allany setengah telanjang, ia
hanya mengenakan celana dalam saja, putih warnanya. Kakinya yang jenjang
melangkah perlahan mendekatiku. “Aku punya hadiah untukmu,” katanya lagi dengan
nada pelan. Allany pun membuka lemari dan mengeluarkan sebuah kotak yang
terbuat dari kayu. Aku sendiri tidak tahu, entah kenapa, setiap kali aku kontak
langsung dengan Allany, aku selalu tidak berdaya, secara otomatis; membuatku
lamban bereaksi. Allany memelukku, dan tangannya yang lembut mengusap
punggungku. Sejenak aku terbuai dan merasa sangat nyaman. Tidak lama kemudian
Allany pergi meninggalkanku, dan kembali ke ranjang; di mana Jordan tampak
tersenyum menyambut kembalinya Allany. Tepat pada saat aku akan menyusul
Allany; bukan main terkejutnya, ternyata aku telah terikat. Ternyata tanpa aku
sadari, Allany telah mengikatku dengan sebuah rantai besi; ujung satunya
dililitkan di leherku dan ujung satunya lagi tertambat pada kaki lemari
pakaian. Aku masih berpikir ini sebuah lelucon, maka aku pun menoleh ke
belakang dan mencoba melepasnya, tapi ternyata tidak, serius, aku benar-benar
terikat rantai besi. Inikah yang kau maksud hadiah, pikirku. Sudah tentu aku
marah, tapi tepat pada saat aku mengalihkan pandanganku ke ranjang; Allany dan
Jordan sedang bercumbu, mereka bercinta di depan mataku.
Sejak kejadian itu
aku sering merenung memikirkan hidupku dan dunia macam apa lagi yang sedang
kujalani ini, yang selalu, selalu, dan selalu berakhir dengan perasaan tidak
yakin yang sangat meresahkan, sungguh sangat rumit sekali. Aku lebih sering
menyendiri menghabiskan waktuku. Aku tidak lagi menyapa mereka; mungkin mereka
pun juga berpikir apa gunanya menyapa aku, aku tak tahu.
Serentetan peristiwa
pahit bagai hujan, dan aku terperangkap di dalam musim, menerima kuyup ini. Dan
puncak dari semua peristiwa pahit itu terjadi seminggu yang lalu, laksana hujan
badai dan ribuan petir menyambarku, menghantamku bertubi-tubi. Siang itu udara
panas sekali, aku memutuskan berenang di kolam belakang rumah, aku bertelanjang
diri membiarkan sejuknya air menyusupi pori-pori kulit di tubuhku yang keriput.
Ketika aku tengah asyik menikmati kesenangan yang kuciptakan sendiri, meskipun
sejujurnya aku tidak secara utuh merasakan senang, mungkin ini hanya sekedar
pelepasan penat, sejenak melupakan masalah yang sedang kuhadapi, meskipun aku
sendiri sangsi bisa melupakannya. Tiba-tiba mataku menangkap sepasang mata yang
juga memperhatikanku. “Aku yakin bukan Vikcy,” kataku dalam hati, seperti
mengingatkanku. “Ia lebih muda dan cantik.” Aku memang sudah tua, tapi aku
belum pikun. Ingatanku selalu bagus. Entahlah, apa yang menggerakkan diriku
hingga aku berani mengajaknya bergabung denganku. ‘Pucuk dicinta ulam pun tiba’
begitulah kata pepatah. Singkatnya ia mau dengan keinginanku. Tak berapa lama
kemudian, kami sudah berada di dalam air, kami telanjang, bermain kecipak air.
Setelah kami puas berenang dan bermain, kami sepakat untuk istirahat guna
melepas lelah. Kami berbaring di atas rerumputan di pinggir kolam, kami
berjemur, dan kami masih dalam keadaan telanjang.
Selama beberapa menit
kami terdiam. Mataku jauh tertuju pada langit biru, dan pikiranku menyusup di
antara gumpalan awan putih; mencari diri sendiri dengan masa laluku. Tiba-tiba
saja aku seperti merasa sangat bodoh, mungkin aku memang bodoh dari dulu, tapi
baru kali ini aku menyadarinya; kebodohan yang selama itu pula membayangi hidup
dan membutakan mataku. Apa yang sebenarnya telah aku perbuat dalam hidup ini,
pikirku. Dunia macam apa yang sedang kujalani. Kesetiaan, cinta, pengorbanan,
pengabdian… Ternyata hanyalah omong kosong belaka.
Aku menolehkan
kepalaku; tepat pada waktu yang bersamaan, perempuan di sebelahku melakukan hal
yang sama, mata kami saling beradu pandang. Ada semacam gairah mengalir dalam
tubuhku, menjentikkan percikan api di dalam diriku yang beku. Ia memandangku
dengan tersipu malu. Antara takut dan ingin, aku menggerakan kaki untuk
menyentuh paha perempuan di sebelahku, tapi aku buat supaya tidak terlihat
disengaja. Tapi perempuan itu diam saja, ia malah tersenyum kepadaku. Aku
memberanikan diri untuk berbuat lebih jauh, aku mengesekan kakiku dengan
kakinya. Saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya, darahku mendesir
bergejolak-gejolak, detak jantungku pun berpacu lebih cepat. Aku semakin
berani, kucium pipinya. Ia diam saja. Aku pun lebih semakin berani, kucium
bibirnya. Sejujurnya ada perasaan takut juga menghinggapi perasaanku, kalau ia
tiba-tiba marah padaku, apalagi ia sama sekali tidak merespon. Tidak bisa aku
pungkiri, sejujurnya aku pun telah lama bosan bermain dengan kelamin-ku
sendiri. Sama sekali tidak bermaksud tidak menghormati perempuan di sampingku,
tapi itulah yang kulakukan, mungkin percikan api yang membesar telah melumerkan
bongkahan es dalam diriku. Aku menjadi gelap mata, aku semakin gencar
melancarkan ciumanku. Tidak lama kemudian dengan malu-malu ia membalas
ciumanku. Hingga akhirnya kami pun terlibat ciuman panas. Lidah kami saling
membelit. Sejenak ia melepaskan diri dari pelukanku, ia memunggungiku,
merendahkan kepalanya. Spontan saja aku terpesona saat mataku menangkap
sejumlah rambut tipis di pinggir vagina. Dengan penuh nafsu aku singkapkan
rambut-rambut halus dengan lidahku, dan kuciumi bibir vaginanya. Penisku
berdenyut-denyut. Perlahan ia mulai memperlebar kakinya, seperti memberi
isyarat supaya aku segara menuntaskan pekerjaanku. Perlahan-lahan aku mulai
menyentuhkan ujung penisku pada bibir vaginanya, sebelum aku membenamkannya.
Dan tepat pada saat itu juga terdengar suara ‘Bukk!’. Suara itu sangat keras
sekali, dan aku merasakan sakit sekali di bagian punggungku. Keterkejutan
mengalahkan sakitku, aku segera menoleh ke belakang; tampak Allany di depanku
dengan terangkat memegang sapu. Aku, sangat banyak sekali yang terlintas dalam
pikiranku, semuanya campur-aduk. Aku terdiam mematung, menatap ke arah Allany.
“Anjing Sialan!” Allany memukulku dengan lebih keras lagi, kali ini di
kepalaku. Yang terpikirkan saat itu, aku merasa sangat malu, sungguh sangat
malu. Malu kepada perempuan yang sedang bersamaku. Sama sekali bukan sakit yang
aku rasakan, tapi rasa malu ini jauh lebih menyakitkan daripada pukulan sapu
dari tangan Allany. Aku segera balik badan, dan ingin meminta maaf pada
perempuan yang bersamaku, tapi ternyata ia tidak ada. Kurasa ia lari ketakutan;
melihat Allany marah dan memegang sapu.
“Anjing Keparat!”
Allany memukulku lagi, “Masuk!” Aku pun mengikuti perintahnya. Tapi tepat pada
saat aku sampai di depan pintu, Jordan menghadang langkahku. Jordan memandangku
sambil tertawa penuh ejekan. Saat aku akan melewati kakinya, tiba-tiba tanpa
pernah kuduga, Jordan melayangkan tendangan ke arah perutku, keras sekali. Aku
pun terlempar, kepalaku membentur sudut tiang pintu, bagian pelipisku robek dan
berdarah. Aku mencoba untuk bangkit, namun kepalaku seperti berputar-putar, aku
limbung, dan terjatuh lagi. Antara sadar dan tidak, mereka membopongku masuk ke
dalam rumah. Harus kuakui antara baik dan bodoh memang sulit dibedakan, hanya
labirin yang sangat tipis sekali yang membatasi. Aku pun menjadi bingung
memberi penilaian pada diriku sendiri, sebenarnya aku termasuk kategori ‘baik’
atau ‘bodoh’. Terbukti, meskipun aku sudah mendapat perlakuan kasar dari mereka
berdua, aku masih saja berpikir positif. Maksudku, aku sudah tidak
mempertanyakan; kenapa mereka begitu marah padaku, melainkan aku memikirkan
penyebab segala kemungkinan lain. Mungkin mereka tidak sengaja, mungkin mereka
sedang mengalami stress, dan mungkin ini, mungkin itu, dan masih banyak lagi
mungkin yang lainnya. Kupikir, mereka telah menyadari kesalahannya karena telah
berbuat kasar padaku, dan kini mereka menyesalinya. Dan untuk yang kesekian
kalinya ternyata dugaanku salah; ternyata mereka membawaku masuk ke dalam rumah
bukan untuk apa-apa, bukan bertujuan baik; ternyata masuk ke dalam rumah hanya
sekedar numpang lewat, mereka membawaku dari pintu belakang, masuk ke dalam
rumah, dan menuju pintu depan rumah, dan melemparkanku hingga ke pagar depan
rumah, seperti membuang sampah.
“Jangan pernah
kembali kau, Anjing Sialan!” umpat Allany suara menggelegar.
“Go hell, Anjing
Keparat!” umpat Jordan.
Kemudian mereka
kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu.
Kini aku sadar,
mereka tidak membutuhkan aku lagi, mereka telah mencampakkanku. Akhirnya, aku
pun memutuskan pergi, meskipun harus aku akui juga, kalau sebenarnya tidak
sepenuhnya aku benar-benar pergi. Sebuah jalan panjang ada di depan mataku,
membentang tak berbatas, tapi aku tidak tahu ke mana kaki akan membawaku.
Setiap kali aku
bertemu dengan orang, mereka berteriak; “Anjing Gila!” Aku harus lari
menghindar, meskipun kakiku sudah rapuh, tapi tetap harus kupaksakan terus
berlari entah bagaimana caranya. Sejujurnya, aku sama sekali tidak keberatan
dengan gelarku yang baru, tapi aku tidak tahan dengan batu yang mereka
lemparkan ke arahku. Belum lagi masalah itu selesai, masalah baru sudah muncul,
aku harus menghindari kejaran orang-orang yang akan menjebloskanku ke tempat penampungan.
Aku tahu, tapi bagiku penampungan adalah sebuah kekejaman yang disamarkan.
Penampungan itu tidak ubahnya tempat jagal bagi yang terbuang, seperti
aku.
Aku tahu, hidup
memang berat, juga memuakkan. Surga lenyap. Neraka hadir di ujung penghabisan
detik-detik nafas yang terakhir dalam hidupku. Kini, aku harus menghadapi
kenyataan; homeless, hopeless, loveless… Simpati? Aku sering mendengar orang
berkata seperti itu, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, tapi tidak apa,
lagipula aku tidak membutuhkannya. Tapi harus aku akui juga, sebenarnya aku
kesulitan membedakan arti hidupku sendiri; apakah sebuah ‘karunia’ atau
‘kutukan’. Tapi aku tidak mungkin bunuh diri, sejak dari jaman nenek moyang
hingga detik ini, tidak ada sejarahnya kaumku berbuat konyol dan
pengecut seperti yang dilakukan manusia. Apapun yang terjadi aku akan menjalani
hidupku, meskipun seberat apapun rintangan yang akan kuhadapi, aku akan tetap
mempertahankan nafasku hingga pada batas waktunya. Aku percaya, pasti ada cara
lain yang lebih produktif untuk menyerahkan diri pada hidup, kehidupan, dan
dunia ini.
*
* * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar