Sabtu, 18 Februari 2012

Hidup yang sangat memuakkan


Perempuan itu bernama Allany, umurnya 26 tahun. Sekarang, ia sudah tidak peduli lagi padaku. Ia tidak lagi mencintaiku. Ia sudah menikah, tepatnya setengah tahun yang lalu. Tapi yang membuatku tak habis pikir, ia tidak pernah memberikan kebebasan padaku untuk menikmati hidup.
Aku tidak bisa pergi kemana aku suka, meskipun aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana. Sejujurnya aku bisa saja kabur meninggalkannya, tapi entah kenapa aku tidak bisa. Sepertinya aku mempunyai hati yang tidak bisa dengan mudah melupakan kenangan indah yang pernah kami jalani bersama, meskipun harus aku katakana sekarang arahnya sudah berbeda. Bahkan hari-hari setelah pernikahannya, ia selalu berbuat kasar padaku, dan itu ia lakukan padaku sampai sekarang. Harus kuakui, aku memang tidak mengenal diriku secara utuh, jadi aku sendiri tidak tahu persisnya seperti apa hingga aku memutuskan masih bertahan dengan cinta dan setia kepadanya.  
Sepuluh tahun yang lalu, hari-hari yang kami lalui selalu penuh canda gelak tawa. Kami bahagia sekali. Hampir seluruh waktu kami habiskan bersama-sama; berlari pagi di taman, belanja ke supermarket, berlibur ke pantai, berkeliling di jalan-jalan kota, dan masih banyak sekali tempat-tempat lain yang kami kunjungi. Kami selalu mandi bersama; dengan tangannya yang lembut senantiasa mengusap punggungku, hingga ke bagian organ yang paling pribadi, busa samphoo dan sabun menjadi gelembung balon berwarna dan menjadi saksi keindahan yang pernah kami miliki. Saat itu aku sangat yakin, ia juga senang melakukannya, melihat pancaran mata dan senyumnya, ia begitu tulus mencintaiku. Ia selalu memperlakukanku layaknya pangeran. Kami selalu tidur dalam satu ranjang, bertelanjang di bawah selimut, saling membelai hingga menjelang tidur.
Suatu hari, tepatnya hari apa aku sudah lupa; pikiran yang liar berkata kepadaku, mungkin lebih tepatnya memperingatkan aku; ‘Sepertinya, selama ini hanya aku saja yang terlalu berlebihan menilai ia, maksudku, ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku, kalau pun benar, cinta yang ia punya tidak sebesar yang aku miliki. Aku pun segera bertindak ingin membuktikan yang sesungguhnya terjadi. Vicky yang akan menjadi targetku, Vicky akan aku jadikan umpan. Vicky adalah tetanggaku. Saat itu aku sengaja mengajak Vicky mengobrol di taman belakang rumah, supaya suatu saat Allany bisa melihatku dari kamarnya. Dan benar saja, saat kami tengah asyik mengobrol, Allany tiba-tiba datang sambil marah. Allany juga membawa pisau. Aku tidak tahu, apakah Vicky sengaja membawa pisau dan ingin menikamku, atau itu hanya sebuah kebetulan saja. Maksudku, Vicky sedang memasak, secara kebetulan melihatku, karena emosi sudah menguasainya, ia tidak sadar kalau masih memegang pisau saat menghampiriku. Matanya merah dan berkaca-kaca, tampak seperti marah dan ingin menangis. Aku juga tidak yakin, apakah ia benar-benar marah dan ingin menangis karena melihatku bercengkerama dengan Vicky, atau disebabkan bawang yang dikupasnya. Suara teriakan Allany sangat lantang menggelegar; “Dasar tidak tahu diri!” Ia menghampiriku sambil mengarahkan ujung pisau itu tepat pada wajahku, “Pulang! Mau pulang tidak! Cepat pulang!” Vicky yang ketakutan langsung berlari pulang, ia melompati pagar yang membatasi rumah kami. Aku pun segera menyadari kesalahanku, aku telah menyakiti hati Allany, aku pun segera minta maaf padanya. Dan pada saat itu juga aku merasa sangat yakin; Allany juga sangat mencintaiku, seperti aku mencintainya.
Sejak kejadian itu, hubungan kami pun semakin terjalin dengan sangat baik dan mesra. Kami selalu tidak terpisahkan. Hampir setiap hari kami selalu bersama, menyambut datangnya pagi, menikmati indahnya hidup. Sungguh tidak pernah aku bayangkan, dalam kehidupan yang serba carut-marut dan menyedihkan ini, justru aku menjalani hidup seperti di surga. Rasanya tidak ada kata yang bisa mengungkapkan perasaanku ini. Aku sangat bahagia sekali.
Dua tahun yang lalu, pada saat musim panas, aku dan Allany sedang duduk di taman menikmati udara pagi. Aku sendiri lupa awalnya bagaimana, karena pada saat itu aku begitu asyik menikmati udara pagi, dan memperhatikan indahnya pepohonan dan rerumputan yang tumbuh segar menghijau. Tiba-tiba secara tak sengaja aku menoleh ke arah Allany, dan tepat pada saat itu aku mendapati Allany sedang saling beradu pandang dengan seorang laki-laki. Mula-mula mereka sama-sama malu. Laki-laki itu duduk di bangku lain, jaraknya sepuluh meter dari tempat duduk kami. Karena aku merasa yakin Allany mencintaiku, aku pun tidak mempunyai pikiran buruk padanya. Mungkin, mereka hanya saling mengagumi, atau hanya sekedar ingin saling berkenalan, pikirku. Jadi aku berinisiatif untuk saling mendekatkan jarak mereka berdua, aku mendatangi laki-laki itu, dan mengajaknya untuk lebih dekat kepada Allany. Mereka pun saling berjabat tangan dan menyebutkan namanya. Laki-laki itu bernama, Jordan.
Sejak perkenalan kami dengan Jordan, dia sering mengunjungi kami di rumah. Lalu, kami bertiga sering meluangkan waktu untuk pergi bersama. Semuanya tampak biasa saja, tidak ada yang istimewa, kami bermain dan penuh canda tawa. Namun pada hari-hari berikutnya, Jordan dan Allany sering pergi berdua saja, tanpa mengajak aku. Mereka memaksa, aku tidak ikut. Aku mengakui, awalnya aku cemburu, tapi—menurutku mereka bisa dipercaya. akhirnya aku pun tidak keberatan melepas mereka pergi. Sepanjang hari aku menunggu mereka di rumah, sendirian.
Hari demi hari berganti seperti biasa, sangat normal. Suatu hari ketika aku bangun tidur, aku dikejutkan oleh suara riuh, tawa dan becanda. Bahkan aku juga mendengar denting gelas beradu. Pesta, pikirku. Saat aku akan keluar kamar, pintu terkunci. Aku berteriak sekuat tenaga, pintu kugedor, tapi hingga tenagaku habis, dan aku kelelahan; tak seorang pun yang membukakan pintunya. Sekitar sejam kemudian suara riuh itu hilang, sunyi sekali. Aku yakin semua orang yang ada di rumah ini telah pergi. Tapi aku juga tidak punya sedikitpun pikiran buruk pada mereka, terlebih lagi pada Allany. Mungkin pintu kamar ini terkunci dengan tidak sengaja, mungkin Allany berpikir aku sedang pergi, mungkin ia tidak tahu kalau aku berada di kamar ini, mungkin… Dan masih banyak lagi kata mungkin bersarang di kepalaku, hingga berakhir pada suatu puncak perasaan tidak yakin yang meresahkan perasaanku. Penantian panjang baru berakhir ketika hari sudah menjelang malam; Allany dan Jordan datang, mereka membuka pintu kamar dan langsung memelukku. Pada saat itu juga emosiku lenyap begitu saja, seperti api yang diguyur air, lalu muncul asap dan hilang entah ke mana. Setelah kami puas berpelukan, mereka berdua menatap ke arahku; mereka berdua terlihat sangat aneh, tidak seperti biasanya, pakaian mereka berbeda tidak seperti yang biasa mereka kenakan. Kalau aku tidak salah ingat, seumur hidupku aku belum pernah melihat mereka berpakaian seperti itu. Allany memakai gaun putih panjang dan berenda-renda, sementara Jordan mengenakan jas hitam dan sepatu hitam mengkilap. Wajah mereka juga penuh riasan. Rambut mereka disisir sangat rapi. Aku sangat yakin, bahwa mereka usai menghadiri sebuah pesta, pikirku. Tapi belum sempat hilang perasaan terkejut, mereka berdua menunjukkan cincin di jari mereka; “Kami telah menikah!” katanya hampir bersamaan. Mereka berdua tersenyum bahagia sekali. Mereka kembali memelukku. Setelah itu mereka berdua pergi begitu saja meninggalkanku. Aku tidak tahu harus berkata apa, tidak seluruhnya aku mengerti apa maksud mereka bicara seperti itu. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Sejak saat itu aku sudah tidak lagi tidur di ranjang Allany, laki-laki yang bernama Jordan itu yang telah menggantikan posisiku. Dan aku pun harus bisa menerima ketika mereka menyuruhku tidur di sofa dekat televisi. Kini, mereka berdua seakan-akan menganggap aku tak ada, kalau pun benar, aku yakin mereka tidak menganggap aku ada. Suatu malam—entah hari apa, bulan apa, jam berapa, aku lupa, padahal semua orang tahu aku pandai dalam soal mengingat, tapi entah kenapa aku bisa lupa pada kejadian yang menurutku itu sebuah peristiwa yang sangat penting dalam hidupku. Aku tidak bisa tidur, aku sangat kedinginan. Dan entah setan dari mana yang telah merasuki pikiranku, tiba-tiba aku mempunyai keberanian untuk mengetuk kamar mereka. Karena aku tidak mendapat respon, aku marah tidak terkendali. Aku dobrak pintu kamar itu. Aku hampir saja terjatuh menabrak meja kecil di dekat lemari pakaian, ternyata pintu itu tidak terkunci, langsung terbuka lebar dan membentur dinding kamar. Allany dan Jordan menatapku tajam. Aku yakin mereka sangat terkejut dengan kedatanganku yang secara tiba-tiba, tapi aku juga yakin mereka berdua marah padaku. Tidak lama kemudian Allany keluar dari selimut, dan bertanya; “Ada apa?” Tapi menurutku mempunyai arti lain, nadanya sama ketika ia mengatakan; “Apaan sih yang kau lakukan!” Allany menyambar kedatanganku dengan nada tinggi dengan kesan membenci. Tapi mataku jelas melihat yang ada di depanku, dan ternyata Allany setengah telanjang, ia hanya mengenakan celana dalam saja, putih warnanya. Kakinya yang jenjang melangkah perlahan mendekatiku. “Aku punya hadiah untukmu,” katanya lagi dengan nada pelan. Allany pun membuka lemari dan mengeluarkan sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Aku sendiri tidak tahu, entah kenapa, setiap kali aku kontak langsung dengan Allany, aku selalu tidak berdaya, secara otomatis; membuatku lamban bereaksi. Allany memelukku, dan tangannya yang lembut mengusap punggungku. Sejenak aku terbuai dan merasa sangat nyaman. Tidak lama kemudian Allany pergi meninggalkanku, dan kembali ke ranjang; di mana Jordan tampak tersenyum menyambut kembalinya Allany. Tepat pada saat aku akan menyusul Allany; bukan main terkejutnya, ternyata aku telah terikat. Ternyata tanpa aku sadari, Allany telah mengikatku dengan sebuah rantai besi; ujung satunya dililitkan di leherku dan ujung satunya lagi tertambat pada kaki lemari pakaian. Aku masih berpikir ini sebuah lelucon, maka aku pun menoleh ke belakang dan mencoba melepasnya, tapi ternyata tidak, serius, aku benar-benar terikat rantai besi. Inikah yang kau maksud hadiah, pikirku. Sudah tentu aku marah, tapi tepat pada saat aku mengalihkan pandanganku ke ranjang; Allany dan Jordan sedang bercumbu, mereka bercinta di depan mataku.
Sejak kejadian itu aku sering merenung memikirkan hidupku dan dunia macam apa lagi yang sedang kujalani ini, yang selalu, selalu, dan selalu berakhir dengan perasaan tidak yakin yang sangat meresahkan, sungguh sangat rumit sekali. Aku lebih sering menyendiri menghabiskan waktuku. Aku tidak lagi menyapa mereka; mungkin mereka pun juga berpikir apa gunanya menyapa aku, aku tak tahu.
Serentetan peristiwa pahit bagai hujan, dan aku terperangkap di dalam musim, menerima kuyup ini. Dan puncak dari semua peristiwa pahit itu terjadi seminggu yang lalu, laksana hujan badai dan ribuan petir menyambarku, menghantamku bertubi-tubi. Siang itu udara panas sekali, aku memutuskan berenang di kolam belakang rumah, aku bertelanjang diri membiarkan sejuknya air menyusupi pori-pori kulit di tubuhku yang keriput. Ketika aku tengah asyik menikmati kesenangan yang kuciptakan sendiri, meskipun sejujurnya aku tidak secara utuh merasakan senang, mungkin ini hanya sekedar pelepasan penat, sejenak melupakan masalah yang sedang kuhadapi, meskipun aku sendiri sangsi bisa melupakannya. Tiba-tiba mataku menangkap sepasang mata yang juga memperhatikanku. “Aku yakin bukan Vikcy,” kataku dalam hati, seperti mengingatkanku. “Ia lebih muda dan cantik.” Aku memang sudah tua, tapi aku belum pikun. Ingatanku selalu bagus. Entahlah, apa yang menggerakkan diriku hingga aku berani mengajaknya bergabung denganku. ‘Pucuk dicinta ulam pun tiba’ begitulah kata pepatah. Singkatnya ia mau dengan keinginanku. Tak berapa lama kemudian, kami sudah berada di dalam air, kami telanjang, bermain kecipak air. Setelah kami puas berenang dan bermain, kami sepakat untuk istirahat guna melepas lelah. Kami berbaring di atas rerumputan di pinggir kolam, kami berjemur, dan kami masih dalam keadaan telanjang.
Selama beberapa menit kami terdiam. Mataku jauh tertuju pada langit biru, dan pikiranku menyusup di antara gumpalan awan putih; mencari diri sendiri dengan masa laluku. Tiba-tiba saja aku seperti merasa sangat bodoh, mungkin aku memang bodoh dari dulu, tapi baru kali ini aku menyadarinya; kebodohan yang selama itu pula membayangi hidup dan membutakan mataku. Apa yang sebenarnya telah aku perbuat dalam hidup ini, pikirku. Dunia macam apa yang sedang kujalani. Kesetiaan, cinta, pengorbanan, pengabdian… Ternyata hanyalah omong kosong belaka.
Aku menolehkan kepalaku; tepat pada waktu yang bersamaan, perempuan di sebelahku melakukan hal yang sama, mata kami saling beradu pandang. Ada semacam gairah mengalir dalam tubuhku, menjentikkan percikan api di dalam diriku yang beku. Ia memandangku dengan tersipu malu. Antara takut dan ingin, aku menggerakan kaki untuk menyentuh paha perempuan di sebelahku, tapi aku buat supaya tidak terlihat disengaja. Tapi perempuan itu diam saja, ia malah tersenyum kepadaku. Aku memberanikan diri untuk berbuat lebih jauh, aku mengesekan kakiku dengan kakinya. Saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya, darahku mendesir bergejolak-gejolak, detak jantungku pun berpacu lebih cepat. Aku semakin berani, kucium pipinya. Ia diam saja. Aku pun lebih semakin berani, kucium bibirnya. Sejujurnya ada perasaan takut juga menghinggapi perasaanku, kalau ia tiba-tiba marah padaku, apalagi ia sama sekali tidak merespon. Tidak bisa aku pungkiri, sejujurnya aku pun telah lama bosan bermain dengan kelamin-ku sendiri. Sama sekali tidak bermaksud tidak menghormati perempuan di sampingku, tapi itulah yang kulakukan, mungkin percikan api yang membesar telah melumerkan bongkahan es dalam diriku. Aku menjadi gelap mata, aku semakin gencar melancarkan ciumanku. Tidak lama kemudian dengan malu-malu ia membalas ciumanku. Hingga akhirnya kami pun terlibat ciuman panas. Lidah kami saling membelit. Sejenak ia melepaskan diri dari pelukanku, ia memunggungiku, merendahkan kepalanya. Spontan saja aku terpesona saat mataku menangkap sejumlah rambut tipis di pinggir vagina. Dengan penuh nafsu aku singkapkan rambut-rambut halus dengan lidahku, dan kuciumi bibir vaginanya. Penisku berdenyut-denyut. Perlahan ia mulai memperlebar kakinya, seperti memberi isyarat supaya aku segara menuntaskan pekerjaanku. Perlahan-lahan aku mulai menyentuhkan ujung penisku pada bibir vaginanya, sebelum aku membenamkannya. Dan tepat pada saat itu juga terdengar suara ‘Bukk!’. Suara itu sangat keras sekali, dan aku merasakan sakit sekali di bagian punggungku. Keterkejutan mengalahkan sakitku, aku segera menoleh ke belakang; tampak Allany di depanku dengan terangkat memegang sapu. Aku, sangat banyak sekali yang terlintas dalam pikiranku, semuanya campur-aduk. Aku terdiam mematung, menatap ke arah Allany. “Anjing Sialan!” Allany memukulku dengan lebih keras lagi, kali ini di kepalaku. Yang terpikirkan saat itu, aku merasa sangat malu, sungguh sangat malu. Malu kepada perempuan yang sedang bersamaku. Sama sekali bukan sakit yang aku rasakan, tapi rasa malu ini jauh lebih menyakitkan daripada pukulan sapu dari tangan Allany. Aku segera balik badan, dan ingin meminta maaf pada perempuan yang bersamaku, tapi ternyata ia tidak ada. Kurasa ia lari ketakutan; melihat Allany marah dan memegang sapu.
“Anjing Keparat!” Allany memukulku lagi, “Masuk!” Aku pun mengikuti perintahnya. Tapi tepat pada saat aku sampai di depan pintu, Jordan menghadang langkahku. Jordan memandangku sambil tertawa penuh ejekan. Saat aku akan melewati kakinya, tiba-tiba tanpa pernah kuduga, Jordan melayangkan tendangan ke arah perutku, keras sekali. Aku pun terlempar, kepalaku membentur sudut tiang pintu, bagian pelipisku robek dan berdarah. Aku mencoba untuk bangkit, namun kepalaku seperti berputar-putar, aku limbung, dan terjatuh lagi. Antara sadar dan tidak, mereka membopongku masuk ke dalam rumah. Harus kuakui antara baik dan bodoh memang sulit dibedakan, hanya labirin yang sangat tipis sekali yang membatasi. Aku pun menjadi bingung memberi penilaian pada diriku sendiri, sebenarnya aku termasuk kategori ‘baik’ atau ‘bodoh’. Terbukti, meskipun aku sudah mendapat perlakuan kasar dari mereka berdua, aku masih saja berpikir positif. Maksudku, aku sudah tidak mempertanyakan; kenapa mereka begitu marah padaku, melainkan aku memikirkan penyebab segala kemungkinan lain. Mungkin mereka tidak sengaja, mungkin mereka sedang mengalami stress, dan mungkin ini, mungkin itu, dan masih banyak lagi mungkin yang lainnya. Kupikir, mereka telah menyadari kesalahannya karena telah berbuat kasar padaku, dan kini mereka menyesalinya. Dan untuk yang kesekian kalinya ternyata dugaanku salah; ternyata mereka membawaku masuk ke dalam rumah bukan untuk apa-apa, bukan bertujuan baik; ternyata masuk ke dalam rumah hanya sekedar numpang lewat, mereka membawaku dari pintu belakang, masuk ke dalam rumah, dan menuju pintu depan rumah, dan melemparkanku hingga ke pagar depan rumah, seperti membuang sampah.
“Jangan pernah kembali kau, Anjing Sialan!” umpat Allany suara menggelegar.
“Go hell, Anjing Keparat!” umpat Jordan. 
Kemudian mereka kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu.
Kini aku sadar, mereka tidak membutuhkan aku lagi, mereka telah mencampakkanku. Akhirnya, aku pun memutuskan pergi, meskipun harus aku akui juga, kalau sebenarnya tidak sepenuhnya aku benar-benar pergi. Sebuah jalan panjang ada di depan mataku, membentang tak berbatas, tapi aku tidak tahu ke mana kaki akan membawaku.
Setiap kali aku bertemu dengan orang, mereka berteriak; “Anjing Gila!” Aku harus lari menghindar, meskipun kakiku sudah rapuh, tapi tetap harus kupaksakan terus berlari entah bagaimana caranya. Sejujurnya, aku sama sekali tidak keberatan dengan gelarku yang baru, tapi aku tidak tahan dengan batu yang mereka lemparkan ke arahku. Belum lagi masalah itu selesai, masalah baru sudah muncul, aku harus menghindari kejaran orang-orang yang akan menjebloskanku ke tempat penampungan. Aku tahu, tapi bagiku penampungan adalah sebuah kekejaman yang disamarkan. Penampungan itu tidak ubahnya tempat jagal bagi yang terbuang, seperti aku. 
Aku tahu, hidup memang berat, juga memuakkan. Surga lenyap. Neraka hadir di ujung penghabisan detik-detik nafas yang terakhir dalam hidupku. Kini, aku harus menghadapi kenyataan; homeless, hopeless, loveless… Simpati? Aku sering mendengar orang berkata seperti itu, tapi mereka tidak melakukan apa-apa, tapi tidak apa, lagipula aku tidak membutuhkannya. Tapi harus aku akui juga, sebenarnya aku kesulitan membedakan arti hidupku sendiri; apakah sebuah ‘karunia’ atau ‘kutukan’. Tapi aku tidak mungkin bunuh diri, sejak dari jaman nenek moyang hingga detik ini, tidak ada sejarahnya kaumku berbuat konyol dan pengecut seperti yang dilakukan manusia. Apapun yang terjadi aku akan menjalani hidupku, meskipun seberat apapun rintangan yang akan kuhadapi, aku akan tetap mempertahankan nafasku hingga pada batas waktunya. Aku percaya, pasti ada cara lain yang lebih produktif untuk menyerahkan diri pada hidup, kehidupan, dan dunia ini.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar