Jumat, 17 Februari 2012

Hanya mimpi yang aku miliki


Pergantian musim telah kulewati tanpa sesuatu yang istemewa. Ketika aku lahir ke dunia ini, dan mulai menghirup udara, aku pun menangis sama seperti sebagian bayi lain yang ada di dunia ini. Ketika aku menginjak masa kanak-kanak, aku kehilangan ayahku. Ayahku meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, ayahku tertabrak mobil pada saat menyeberang jalan. Ibuku sangat terpukul akan kejadian yang menimpa ayahku, begitu juga denganku. Sejak kepergian ayahku, ibuku masih merasa sangat kehilangan, sehingga ibuku sering tidak bisa menguasai diri, dan terbawa perasaan sedih yang berlarut-larut. Pada akhirnya ibuku pun jadi jarang makan dan sering sakit. Tidak berapa lama kemudian, ibuku pun menyusul ayahku.

Semuanya berlalu begitu cepat, dan aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun sangat kehilangan kedua orangtuaku, karena pada masa-masa itu aku sangat membutuhkan mereka. Aku masih kecil, dan belum cukup untuk mengerti apa-apa dalam hidup dan mengepakkan layar mengarungi kehidupan ini.
Kedua orangtuaku sama sekali tidak meninggalkan warisan apa-apa. Sebelum mereka meninggal, kami tidak mempunyai tempat tinggal, dan selalu berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain. Terkadang kami tidur di halte atau di bawah jembatan. Mungkin ayahku hanya mewariskan senyum kepadaku, karena hanya itu yang selama ini kuingat darinya. Aku sama sekali belum bisa memahami atau mengerti sifat-sifatnya yang lain. Ayahku selalu bisa tersenyum dengan siapa saja, meskipun dengan keadaan sesulit apa pun. Sejujurnya aku juga belum yakin akan sifat ayahku yang satu ini. Apakah ayahku itu memang orang yang ramah tamah, orang yang selalu bisa menerima kenyataan dengan iklas, atau sebenarnya ayahku gila.
Sedangkan ibuku mewariskan kesetiaan dan cinta. Aku selalu teringat sifat ibuku, karena ketika ayahku pergi mencari uang, ibuku akan sabar dan tabah, dengan setia ibuku akan menunggu ayahku sampai larut malam. Ibuku juga tak henti-hentinya berdoa supaya ayahku cepat pulang dengan selamat dan membawa rejeki yang banyak. Akan tetapi ketika ayahku pulang dan tanpa membawa uang sepeser pun, ibuku tetap menyambut ayahku dengan bercahaya seperti wajah matahari pagi. Kemudian ibuku akan memeluk ayahku dengan penuh kebahagiaan, sambil mengatakan; “Terima kasih Tuhan.” Kemudian kami akan tidur dengan perut lapar.
Menjelang subuh ketika ayahku kembali ingin pergi mencari pekerjaan, ibuku pun selalu setia mengantarkan kepergian ayahku. Ibuku akan memandang ayahku hingga hilang dalam gelapnya kabut subuh. Apa pun yang terjadi, ibuku akan setia menunggu ayahku, dan menunggu lagi dengan tabah. Ibuku juga senantiasa setia berdoa dan penuh harapan.
Aku benar-benar telah mewarisi sifat kedua orangtuaku, terbukti aku masih bisa terus tersenyum dan selalu bisa menjaga kesetiaanku pada kemungkinan, juga pada hidup. Pernah ketika aku merasakan sendiri yang benar-benar sendiri, aku ingin mengakhiri hidupku dengan bunuh diri, karena tidak sanggup untuk melanjutkan hidupku. Mungkin bukan tidak sanggup lebih tepatnya, tapi aku merasa sangat putus asa, dan aku sudah tidak punya keinginan lagi untuk menjemput pagi. Tapi untungnya, aku kembali teringat kedua orangtuaku—kepada ayahku yang selalu tersenyum meskipun dengan keadaan sulit dan pahit, serta kepada ibuku akan cinta dan kesetiaannya pada hidup —maka aku pun segera mengurungkan niat. Aku menyesali jalan pikiranku yang sangat sempit itu. Lalu aku menjalani hidupku dengan warisan kedua orangtuaku. Aku selalu mencoba tersenyum kepada orang, meskipun dalam keadaan sulit atau pahit. Aku juga setia menjalani hidup dan setia kepada mungkin, —mungkin hidupku hari ini tidak beruntung, mungkin esok akan lebih baik, atau mungkin saja lusa, atau mungkin, dan mungkin yang lainnya.
Bergulirnya waktu telah menuntunku menjadi dewasa, bahkan telah menyeretku pada usia renta. Sudah terlalu panjang dan sangat melelahkan perjalanan yang sudah kutempuh. Aku telah menuju delapan penjuru arah mata angin, menjelajah belantara kehidupan yang sangat beraneka ragam, tumpang tindih, jungkir balik dan tidak karuan. Kemaksiatan yang dijual dengan sangat murah, bahkan sudah banyak tersebar di sudut jalan, dan dengan berbagai cara dilakukan untuk cepat laku. Sementara kebaikan dan kebajikan dikubur jauh di dalam tanah. Apabila mulut masih saja ngoceh tentang kebaikan dan kebajikan, mereka akan dijebloskan ke dalam penjara atau ditembak mati, karena dianggap sebagai pengacau, pemabuk, dan gila.
Pada intinya di jaman dan kehidupan sekarang ini; bilamana orang yang masih berbuat kebaikan dan kebajikan, umurnya pasti tidak sampai senja.
Memang kalau dipikir-pikir hidup semakin hari semakin tidak jelas iramanya, seperti pita kaset yang sudah sangat kusut. Kehidupan serba semrawut ini membuat manusia menjadi sempit jalan pikirannya. Mereka hanya ingin mendapat kesenangan sesaat tanpa berpikir lebih panjang. Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, semua begitu mudah untuk dijumpai di setiap sudut di negeri ini. Hingga akhirnya tidak sedikit orang yang tidak bisa lagi berjalan dengan lenggang-kangkung. Setiap kita melangkah pergi, ke mana-mana selalu diliputi perasaan was-was, serta pikiran yang tidak pernah bisa merasa tenang dan nyaman.
Mungkin hanya beberapa gelintir orang saja yang berpikiran sedikit santai, itu pun pasti tidak jauh berbeda dengan kondisiku yang seperti sekarang ini. Aku tidak perlu takut ketika berjalan, karena aku tidak mempunyai apa-apa. Aku tidak punya harta atau barang lain yang berharga yang bisa dirampok. Tubuhku yang dekil dan sangat bau ini juga tidak mengundang orang lain bernafsu untuk memperkosaku. Apalagi ditambah senyum warisan dari ayahku ini, sudah tentu orang lain mengira aku gila.
Sejujurnya untuk orang seumuranku ini, kurasa belum terlalu tua sekali, tapi entah kenapa aku tidak sesehat orang lain yang umurnya sama denganku. Mungkin kerapuhan dan kerentaanku ini disebabkan aku yang selalu tak henti-hentinya berjalan. Karena aku hanya akan berhenti atau istirahat kalau memang tenagaku sudah habis terkuras, atau kakiku sudah gemetar untuk melangkah. Atau mungkin karena aku tidak pernah teratur makan, atau mungkin juga karena makananku dari sampah dan hanya dari sisa-sisa orang. Jadi makanan itu sengaja dibuang karena memang sudah dihisap lebih dulu sari vitaminnya.
Dulu ketika aku masih muda, aku masih bisa berjalan di gelapnya malam, meskipun dinginnya sampai ke dalam tulang sekalipun. Bahkan tenagaku masih sangat kuat, sehingga aku pun bisa berlari membelah kabut. Tapi sekarang, aku baru berjalan sebentar saja, jantungku sudah berdebar-debar, kepalaku pusing seperti dikelilingi ribuan kunang-kunang. Pandangan mataku kabur. Dan yang lebih parah lagi, kakiku gemetaran. Aku benar-benar telah renta sekali, tubuhku semakin membungkuk, serta rambutku yang semakin putih.

Malam ini aku sudah sangat lelah sekali, setelah sekian hari menyusuri jalan-jalan kota, memanjati tebing-tebing hidup. Aku merasa semakin hari semakin lebih jelas melihat kemaksiatan, keserakahan, kebengisan dan kebiadaban yang dipertontonkan dimana-mana. Bahkan orang-orang yang tinggal di pemukiman jalan sempit sekalipun, kehidupannya benar-benar makin tidak jelas arahnya. Bisa dibayangkan orang-orang yang hidupnya susah saja tidak lagi peduli dengan sesamanya, lalu bagaimana dengan orang-orang lain yang lebih kaya dan mempunyai kekuasaan?
Aku sudah menemukan tempat yang kupilih untuk tidurku malam ini. Aku ingin membaringkan letih di pinggiran trotoar. Sebenarnya aku lebih menyukai tidur di sebuah halte bus, selain tempatnya lebih lapang, suasana malam seperti ini juga tidak terlalu ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang. Tapi apa boleh buat! Aku benar-benar sudah tidak mampu untuk mengayunkan kakiku, bahkan untuk berdiri saja aku sudah sangat pusing, dan kakiku juga sudah gemetaran serasa tidak kuat lagi menopang tubuhku. Padahal tubuhku juga kurus. Betapa sangat tidak bisa dibayangkan seandainya tubuhku gemuk, pastilah aku tidak bisa berjalan? Dengan badan yang kurus seperti ini saja kakiku sudah sangat gemetaran untuk menopangnya, apa lagi kalau tubuhku gemuk. Tapi bagaimana mungkin juga aku bisa gemuk, itu juga jelas tidak mungkin terjadi, karena makan saja aku dari sampah dan sisa-sisa orang.
“Aku bisa gila kalau sedang memikirkan diriku sendiri!” Kataku pada diri sendiri sambil membaringkan tubuhku di trotoar. Namun ketika aku sedang mencoba untuk tidur, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara berisik dari segerombolan orang.
“APA YANG KAU LAKUKAN!”
Aku sangat yakin suara itu pasti sangat keras dan lantang. Karena selain suara itu membuatku terkejut, juga membuat terngiang-ngiang hingga ke telinga pendengaranku. Padahal pendengaranku sudah jauh berkurang, maksudku, aku ini sudah sedikit tuli. Tapi entah kenapa suara itu benar-benar sangat memekakkan telingaku. Dengan berat hati dan susah payah aku bangun dari posisiku yang sedang berbaring, kemudian dengan terpaksa aku duduk menyandar pada tembok di belakangku.
Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan,” jawabku jujur. “Saya sedang tidak melakukan sesuatu apa pun. Saya merasa lelah dan mengantuk saja, saya hanya ingin menumpang tidur di sini...”
Gerombolan orang-orang yang berdiri di depanku, menatapku dengan pandangan mata kelereng. Sejujurnya, aku tidak takut dengan pandangan mereka yang seperti itu, justru aku malah kasihan kepada mereka. Apa jadinya jika bola matanya jatuh dari sarangnya, tentunya mereka akan sangat kesakitan.
“Bapak Tua!” kata salah seorang dari gerombolan orang-orang itu. “Kau ingin tidur di sini? Apa yang akan kau gunakan untuk alas?” Kemudian disusul suara tawa keras. Dan diikuti yang lainnya, “Hahaha...”
“Maafkan aku, Tuan...” kataku pelan, “Saya tidak punya tikar untuk bisa dijadikan alas tidur. Saya ini hanya orang miskin yang tidak punya apa-apa, saya hanya punya mimpi yang bisa saya gelar di sini. Kebetulan mimpi saya ini selalu menemani sejak saya masih kecil, hingga sampai sekarang.”
“Hahaha...” Mereka tertawa liar. “Orang miskin seperti kau tentunya mempunyai mimpi yang sangat lebar dan panjang. Bukan begitu, Bapak Tua?”
Sungguh, tidak juga!” Jawabku cepat dan yakin. “Saya hanya punya mimpi tentang kedamaian, itu saja! Bukankah mimpi saya cukup kecil dan pendek, Tuan?” 
Gerombolan orang-orang itu terus tertawa liar makin keras dari sebelumnya. Seakan-akan aku baru saja mengatakan sesuatu yang lucu.
“Bapak Tua!” kata seorang dari mereka dengan lebih lantang.
Sejujurnya, aku senang mereka berbicara keras seperti itu, dengan begitu aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas. Maklum fungsi telingaku memang sudah agak rusak. Tapi kali ini, mereka terlalu berlebihan, sehingga malah membuat telingaku jadi sakit.
“Perlu kau ketahui,” katanya, “sebenarnya kau itu merusak pemandangan mata kami. Kau juga mengganggu kami untuk meneruskan perjalanan! Kami ingin lewat! Mimpimu ditarik dulu, nanti terinjak-injak kaki kami!” Lalu dia tertawa, “Hahaha...” Dan yang lain pun mengikutinya. Tawa mereka liar sangat keras, keras, dan semakin keras.
“Oh ya, silahkan Tuan lewat saja dengan santai...” Aku mengulurkan tangan mempersilahkan mereka berjalan melewatiku. “Silahkan Tuan-tuan semua menginjak-injak mimpi saya dengan sesuka hati. Saya sama sekali tidak akan marah, lagipula yang saya gelar hanyalah sebuah mimpi saja. Kelak nanti, besok, ataupun lusa, pasti saya akan mendapatkan kembali mimpi yang serupa. 
Gerombolan orang-orang yang baru saja melewatiku pasti tertawanya sangat keras dan lantang sekali. Ini terbukti, aku yang sudah kembali berbaring saja masih mendengarnya dengan sangat jelas. Bahkan ketika mataku sudah mulai terpejam menuju tidur, suara tawa mereka masih saja terdengar sayup-sayup dari kejauhan.

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar