Selasa, 14 Februari 2012

Isteriku ngidam


Pagi-pagi sekali. Bahkan matahari pun belum beranjak dari ranjang tempat tidurnya. Tapi isteriku sudah membuat geger, dengan berteriak-teriak tidak karuan. Suaranya menggelegar seperti petir yang sedang main kejar-kejaran di kamar ini.
“Papa, Papa, Papa!” Teriaknya dengan penuh histeris, sambil tangannya tak henti-hentinya memukul-mukul wajahku dengan bantal. “Cepat bangun!” katanya, “Aku hamil! Lihatlah perutku buncit!”
“Ma, kau yang benar saja…” kataku. Aku pun mengucek mata, “Tadi malam kan belum?”
“Lihat, lihat sendiri kalau tidak percaya!” Suaranya makin melengking. Kedua tangannya langsung menarik pakaian yang dikenakannya dengan paksa. Kancing-kancing bajunya pun berlompatan tidak karuan, seperti semburan kembang api. Kancing-kancing baju itu ada yang melesat ke kiri mengenai meja, ke kanan jatuh ke lantai, ke atas lalu jatuh di kasur, dan ada juga yang masih terlilit benang dan menggantung di pakaiannya. “Kau bisa lihat sendiri sekarang,” katanya lagi. “Kenapa malah bengong!”
Sejujurnya aku masih mengantuk, tapi seketika rasa mengantuk ini jadi hilang. Mungkin saat isteriku berteriak, suaranya berubah menjadi pisau, lalu mengusir rasa ngantuk ini, atau mungkin malah membunuhnya. “Ah, eh ya…” jawabku sekenanya.
“Aku hamil, lihatlah perutku yang buncit ini!” katanya dengan nada sedikit terkesan manja. Tingkahnya seperti bocah berumur empat tahun yang ingin menunjukan sebuah gambar pada orangtuanya. Kedua tangan isteriku merentang, sambil memegang ujung bajunya, memperlihatkan perutnya yang buncit.
Padahal aku ingat betul, kalau tadi malam perut isteriku masih rata. Maklum dia selalu menjaga tubuhnya dengan rajin berolah raga. Tapi sekarang? “Kenapa bisa begini, tadi malam bukanya belum? Sekarang sudah hamil berapa bulan?” Aku membelai perut isteriku yang membuncit. Sejujurnya aku masih sangat bingung. Dan banyak sekali pertanyaan yang terlintas di pikiranku.  
“Aku juga tahu, tadi malam aku memang belum hamil. Tapi sekarang kau bisa lihat sendiri perutku sudah buncit. Katanya sih sudah jalan empat bulan!”
“Kata siapa?” tanyaku antusias.
“Tidak tahu,” jawabnya dengan nada datar, “pokoknya begitu!”
“Tidak tahu,” kataku. “Aneh…”
“Kalau tidak percaya, tanya saja sendiri sama perutku yang buncit ini!” katanya. Dan jari telunjuknya tertuju tepat pada pusarnya. Seakan-akan ia memberitahuku pusarnya itu adalah telinga.
Aku masih belum gila, pikirku. Bagaian mungkin, aku harus bertanya sama perut isteriku? Perut mana bisa menjawab, berbicara saja tidak bisa. Tapi aku tidak mau memperburuk keadaan, apalagi melihat wajah isteriku yang masih tampak kebingungan dan panik. “Ya sudah, sudah… kau jangan bersedih,” kataku menghibur. “Kalau sedang hamil itu harus dibawa senang dan bahagia.”
“Pa…”
“Iya Cintaku?”
“Sekarang aku ngidam.”
Meskipun isteriku sudah bisa menguasai diri, sudah tidak berteriak seperti sebelumnya, dan sudah bisa tersenyum pada saat bicara, tapi pada saat kudengar kata ngidam keluar dari mulutnya. Spontan saja aku jadi terperanjat dan kaget. “Pagi-pagi begini,” Aku meyakinkan kalau yang kudengar itu benar. “Apa tidak sebaiknya kita tidur lagi…”
“Pagi, siang, malam, memangnya ngidam ada aturannya!” Seketika ia kembali membesarkan volume suaranya.
“Tap—”
“Pokoknya aku ngidam! Ngidam! Ngidam! NGIDAM!!” Teriakannya malah semakin bertambah keras.
“Ya, ya, ya…” Aku berusaha menenangkannya. “Memangnya kau ngidam apa?”
“Aku ingin makan hati petani yang di baka dan ditusuk seperti sate” Ia diam, tapi bola matanya bergerak-gerak. Dahinya juga berkerut. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. “Oseng-oseng kulit nelayan,” lanjutnya. “Usus goreng orang kampung. Daging bakar penyair. Otak anak-anak kecil yang direbus setengah matang,” Namun kali ini nada bicaranya pelan, seperti memohon.
“Wah kalau itu gampang!” kataku penuh percaya diri, “Itu sudah pekerjaanku setiap hari.”
“Aku minta pagi ini! Cepat! Cepat! CEPAT!!” Isteriku kembali berteriak lagi.
“Ya, ya, ya…” kataku. “Aku berangkat!”
Aku segera beranjak dari tempat tidur. Padahal, kupikir setelah aku mengatakan gampang, aku bisa kembali tidur lagi. Soalnya aku benar-benar masih mengantuk sekali. Tapi mendengar isteriku yang terus berteriak-teriak, aku jadi tidak tahan, lama-lama gendang telingaku bisa pecah juga. Selain itu aku juga tidak tega kepada isteriku yang terus merengek dan berteriak-teriak hingga urat di lehernya terlihat membesar seperti mau putus, ditambah lagi ia sedang hamil anak pertama.
Aku segera mengenakan celana dan pakaian.
“Jangan lama-lama ya,” Isteriku berpesan.
“Sabar sayang! Aku mengenakan sepatu saja belum selesai!” kataku tanpa menoleh ke arah isteriku, dan terus menyelesaikan ikatan tali sepatuku.
“Kau tidak pernah menjadi wanita!” katanya, “Kau tidak bisa hamil, jadi kau tidak akan pernah tahu rasanya ngidam. Jadilah suami yang baik, kau juga harus menuruti isterimu yang sedang hamil ini,” Isteriku berkicau menjelaskan.
“Iya, tapi kau jangan marah-marah terus. Lihat, sekarang aku sudah siap berangkat,” kataku sambil mengikatkan tali sepatuku yang terakhir.
“Aku tidak marah,” ia berdalih. “Semua ini permintaan jabang bayi dalam perutku ini, jadi harus dituruti kemauannya. Kalau tidak, ia bisa ngambek, dan tidak mau keluar dari perutku.”
Isteriku berkicau terus tiada henti. Padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini, ia sangat jarang bicara, bahkan bisa dibilang ia tergolong pendiam. Maklum aku ini orang yang kaya raya, jadi setiap ia menginginkan sesuatu, dengan cepat aku langsung memberikan keinginannya. Apapun yang dibutuhkannya, aku pasti dengan mudah bisa mewujudkannya.
Pagi ini isteriku benar-benar cerewet minta ampun. Padahal selama aku menikah dengannya belum pernah sekalipun ia membentakku. Mungkin benar apa yang dikatakan isteriku, bahwa apa yang dinginkannya itu sebenarnya bukan keinginannya, melainkan keinginan jabang bayi dalam kandungan perutnya.
“Mwuaach,” Kucium bibir isteriku.
“Hati-hati…” Isteriku berpesan.
“Kau juga… Jaga baik-baik bayi dalam perutmu.”

Segera kupanggil supirku. Aku tahu saat aku membangunkan supirku, ia pun masih mengantuk, tapi mana berani ia menolak. Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya kebingungan, tapi ini jelas bukan salahku. Selama hidupku aku belum pernah bangun pagi seperti sekarang ini. Biasanya aku bangun siang, setelah itu aku duduk santai minum kopi, sambil membaca koran. Maklum saja selain aku ini orang kaya raya, semua urusanku sudah ada yang mengaturnya, jadi aku hanya tinggal terima beres.
Hanya pagi ini saja aku terpaksa turun tangan sendiri. Maksudku aku tidak bisa menyerahkan urusan ini begitu saja kepada bawahanku. Ini soal penting! Isteriku sedang ngidam, nanti kalau semuanya tidak sesuai dengan kemauan jabang bayi di dalam perutnya, bisa membawa malapetaka. Aku sangat mencintai isteriku, dan aku juga sangat mengharapkan anak di dalam kandungan perutnya baik-baik saja. Aku ingin anak itu lahir dengan sehat, dan akan menjadi generasiku kelak. Jadi aku tidak bisa menyepelekan masalah ini.
Sebenarnya isteriku mau ngidam apapun, itu terserah saja. Ia mau hamil, dan ngidam setiap hari, jam, menit, atau detik sekalipun, aku pasti masih bisa menyanggupi keinginannya. Aku orang kaya raya dan berpengaruh di negeri ini. Semua yang ada di negeri ini tidak ada yang sulit bagiku. Jadi pada intinya isteriku mau ngidam apapun dan kapanpun, aku pasti bisa mewujudkan keinginannya.
Asalkan isteriku jangan ngidam untuk dicarikan Tuhan! Soalnya beberapa kali aku mencoba datang ke rumah Tuhan, tapi aku malah sering kali nyasar ke tempat lain. Ketemu rumah Tuhan saja tidak, apalagi pemiliknya. Jadi sulit kan?

* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar