Pagi-pagi sekali.
Bahkan matahari pun belum beranjak dari ranjang tempat tidurnya. Tapi isteriku
sudah membuat geger, dengan berteriak-teriak tidak karuan. Suaranya menggelegar
seperti petir yang sedang main kejar-kejaran di kamar ini.
“Papa, Papa, Papa!” Teriaknya dengan penuh histeris, sambil tangannya tak henti-hentinya memukul-mukul wajahku dengan bantal. “Cepat bangun!” katanya, “Aku hamil! Lihatlah perutku buncit!”
“Papa, Papa, Papa!” Teriaknya dengan penuh histeris, sambil tangannya tak henti-hentinya memukul-mukul wajahku dengan bantal. “Cepat bangun!” katanya, “Aku hamil! Lihatlah perutku buncit!”
“Ma, kau yang benar
saja…” kataku. Aku pun mengucek mata, “Tadi malam kan belum?”
“Lihat, lihat sendiri
kalau tidak percaya!” Suaranya makin melengking. Kedua tangannya langsung
menarik pakaian yang dikenakannya dengan paksa. Kancing-kancing bajunya pun
berlompatan tidak karuan, seperti semburan kembang api. Kancing-kancing baju
itu ada yang melesat ke kiri mengenai meja, ke kanan jatuh ke lantai, ke atas
lalu jatuh di kasur, dan ada juga yang masih terlilit benang dan menggantung di
pakaiannya. “Kau bisa lihat sendiri sekarang,” katanya lagi. “Kenapa malah
bengong!”
Sejujurnya aku masih
mengantuk, tapi seketika rasa mengantuk ini jadi hilang. Mungkin saat isteriku
berteriak, suaranya berubah menjadi pisau, lalu mengusir rasa ngantuk ini, atau
mungkin malah membunuhnya. “Ah, eh ya…” jawabku sekenanya.
“Aku hamil, lihatlah
perutku yang buncit ini!” katanya dengan nada sedikit terkesan manja.
Tingkahnya seperti bocah berumur empat tahun yang ingin menunjukan sebuah
gambar pada orangtuanya. Kedua tangan isteriku merentang, sambil memegang ujung
bajunya, memperlihatkan perutnya yang buncit.
Padahal aku ingat
betul, kalau tadi malam perut isteriku masih rata. Maklum dia selalu menjaga
tubuhnya dengan rajin berolah raga. Tapi sekarang? “Kenapa bisa begini, tadi
malam bukanya belum? Sekarang sudah hamil berapa bulan?” Aku membelai perut
isteriku yang membuncit. Sejujurnya aku masih sangat bingung. Dan banyak sekali
pertanyaan yang terlintas di pikiranku.
“Aku juga tahu, tadi
malam aku memang belum hamil. Tapi sekarang kau bisa lihat sendiri perutku
sudah buncit. Katanya sih sudah jalan empat bulan!”
“Kata siapa?” tanyaku
antusias.
“Tidak tahu,”
jawabnya dengan nada datar, “pokoknya begitu!”
“Tidak tahu,” kataku.
“Aneh…”
“Kalau tidak percaya,
tanya saja sendiri sama perutku yang buncit ini!” katanya. Dan jari telunjuknya
tertuju tepat pada pusarnya. Seakan-akan ia memberitahuku pusarnya itu adalah
telinga.
Aku masih belum gila,
pikirku. Bagaian mungkin, aku harus bertanya sama perut isteriku? Perut mana
bisa menjawab, berbicara saja tidak bisa. Tapi aku tidak mau memperburuk
keadaan, apalagi melihat wajah isteriku yang masih tampak kebingungan dan
panik. “Ya sudah, sudah… kau jangan bersedih,” kataku menghibur. “Kalau sedang
hamil itu harus dibawa senang dan bahagia.”
“Pa…”
“Iya Cintaku?”
“Sekarang aku
ngidam.”
Meskipun isteriku
sudah bisa menguasai diri, sudah tidak berteriak seperti sebelumnya, dan sudah
bisa tersenyum pada saat bicara, tapi pada saat kudengar kata ngidam keluar
dari mulutnya. Spontan saja aku jadi terperanjat dan kaget. “Pagi-pagi begini,”
Aku meyakinkan kalau yang kudengar itu benar. “Apa tidak sebaiknya kita tidur
lagi…”
“Pagi, siang, malam,
memangnya ngidam ada aturannya!” Seketika ia kembali membesarkan volume suaranya.
“Tap—”
“Pokoknya aku ngidam!
Ngidam! Ngidam! NGIDAM!!” Teriakannya malah semakin bertambah keras.
“Ya, ya, ya…” Aku
berusaha menenangkannya. “Memangnya kau ngidam apa?”
“Aku ingin makan hati petani yang di baka dan ditusuk seperti sate” Ia diam, tapi bola matanya bergerak-gerak. Dahinya juga
berkerut. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. “Oseng-oseng kulit nelayan,”
lanjutnya. “Usus goreng orang kampung. Daging bakar penyair. Otak
anak-anak kecil yang direbus setengah matang,” Namun kali ini nada bicaranya
pelan, seperti memohon.
“Wah kalau itu gampang!” kataku penuh percaya diri, “Itu sudah pekerjaanku setiap hari.”
“Aku minta pagi ini!
Cepat! Cepat! CEPAT!!” Isteriku kembali berteriak lagi.
“Ya, ya, ya…” kataku.
“Aku berangkat!”
Aku segera beranjak
dari tempat tidur. Padahal, kupikir setelah aku mengatakan gampang, aku bisa
kembali tidur lagi. Soalnya aku benar-benar masih mengantuk sekali. Tapi
mendengar isteriku yang terus berteriak-teriak, aku jadi tidak tahan, lama-lama
gendang telingaku bisa pecah juga. Selain itu aku juga tidak tega kepada
isteriku yang terus merengek dan berteriak-teriak hingga urat di lehernya
terlihat membesar seperti mau putus, ditambah lagi ia sedang hamil anak
pertama.
Aku segera mengenakan
celana dan pakaian.
“Jangan lama-lama
ya,” Isteriku berpesan.
“Sabar sayang! Aku
mengenakan sepatu saja belum selesai!” kataku tanpa menoleh ke arah isteriku,
dan terus menyelesaikan ikatan tali sepatuku.
“Kau tidak pernah
menjadi wanita!” katanya, “Kau tidak bisa hamil, jadi kau tidak akan pernah
tahu rasanya ngidam. Jadilah suami yang baik, kau juga harus menuruti isterimu
yang sedang hamil ini,” Isteriku berkicau menjelaskan.
“Iya, tapi kau jangan
marah-marah terus. Lihat, sekarang aku sudah siap berangkat,” kataku sambil
mengikatkan tali sepatuku yang terakhir.
“Aku tidak marah,” ia
berdalih. “Semua ini permintaan jabang bayi dalam perutku ini, jadi harus
dituruti kemauannya. Kalau tidak, ia bisa ngambek, dan tidak mau keluar dari
perutku.”
Isteriku berkicau
terus tiada henti. Padahal sebelumnya ia tidak pernah seperti ini, ia sangat
jarang bicara, bahkan bisa dibilang ia tergolong pendiam. Maklum aku ini orang
yang kaya raya, jadi setiap ia menginginkan sesuatu, dengan cepat aku langsung
memberikan keinginannya. Apapun yang dibutuhkannya, aku pasti dengan mudah bisa
mewujudkannya.
Pagi ini isteriku
benar-benar cerewet minta ampun. Padahal selama aku menikah dengannya belum
pernah sekalipun ia membentakku. Mungkin benar apa yang dikatakan isteriku,
bahwa apa yang dinginkannya itu sebenarnya bukan keinginannya, melainkan keinginan
jabang bayi dalam kandungan perutnya.
“Mwuaach,” Kucium
bibir isteriku.
“Hati-hati…” Isteriku
berpesan.
“Kau juga… Jaga
baik-baik bayi dalam perutmu.”
Segera kupanggil
supirku. Aku tahu saat aku membangunkan supirku, ia pun masih mengantuk, tapi
mana berani ia menolak. Sebenarnya aku kasihan juga melihatnya kebingungan,
tapi ini jelas bukan salahku. Selama hidupku aku belum pernah bangun pagi
seperti sekarang ini. Biasanya aku bangun siang, setelah itu aku duduk santai
minum kopi, sambil membaca koran. Maklum saja selain aku ini orang kaya raya,
semua urusanku sudah ada yang mengaturnya, jadi aku hanya tinggal terima beres.
Hanya pagi ini saja
aku terpaksa turun tangan sendiri. Maksudku aku tidak bisa menyerahkan urusan
ini begitu saja kepada bawahanku. Ini soal penting! Isteriku sedang ngidam,
nanti kalau semuanya tidak sesuai dengan kemauan jabang bayi di dalam perutnya,
bisa membawa malapetaka. Aku sangat mencintai isteriku, dan aku juga sangat
mengharapkan anak di dalam kandungan perutnya baik-baik saja. Aku ingin anak
itu lahir dengan sehat, dan akan menjadi generasiku kelak. Jadi aku tidak bisa
menyepelekan masalah ini.
Sebenarnya isteriku
mau ngidam apapun, itu terserah saja. Ia mau hamil, dan ngidam setiap hari,
jam, menit, atau detik sekalipun, aku pasti masih bisa menyanggupi
keinginannya. Aku orang kaya raya dan berpengaruh di negeri ini. Semua yang ada
di negeri ini tidak ada yang sulit bagiku. Jadi pada intinya isteriku mau
ngidam apapun dan kapanpun, aku pasti bisa mewujudkan keinginannya.
Asalkan isteriku
jangan ngidam untuk dicarikan Tuhan! Soalnya beberapa kali aku mencoba datang
ke rumah Tuhan, tapi aku malah sering kali nyasar ke tempat lain. Ketemu rumah
Tuhan saja tidak, apalagi pemiliknya. Jadi sulit kan?
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar