Pada saat aku sedang nyenyak tidur, tiba-tiba aku dibangunkan oleh malaikat, —menurutku sih begitu. Sejujurnya, aku jadi marah besar, kalian bisa bayangkan, malaikat itu tanpa mengetuk pintu, bilang permisi, dan tanpa ba-bi-bu langsung menarik tanganku. Malaikat Sinting!” umpat-ku melampiaskan kemarahan. “Malaikat tidak punya otak! Apa kau tidak tahu kalau aku sedang tidur?!”
“Aku hanya menjalankan tugas,” Malaikat tetap menarik tanganku dan membawaku terbang. “Kau telah dipanggil Tuhan…”
“Tapi kau kan bisa menungguku hingga bangun tidur,” kataku memberikan penjelasan. “Paling tidak aku bisa mandi dulu, atau minimal berpakaian rapi.”
Malaikat sama sekali tidak menggubris ocehanku.
Ada-ada saja yang dilakukan Tuhan, pikirku. Tuhan siapa lagi kalau bukan Sang Penguasa alam semesta raya, ‘lengkap dengan seisinya’ —yang dimaksud ‘lengkap dengan seisinya’ adalah apapun yang ada di dunia ini tanpa terkecuali, manusia (cacat, idiot, miskin, dungu, kaya, dan lain-lain), binatang (tikus, kadal, macan, anjing, kecoa dan lain-lain), tumbuhan (jagung, rumput, cemara, mangga, dan lain-lain), atau apapun yang ada di dunia ini (batu, tanah, laut, dam lain-lainya). Semua keinginan Tuhan, tak ada siapapun dan apapun yang mampu menolaknya, tanpa terkecuali aku sendiri—yang hanya seorang manusia biasa. Jadilah apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Tuhan sangat egois.
Aku hanya bisa pasrah mengomel dalam hati.
Tidak berapa lama kemudian aku pun sampai di kerajaan Tuhan. Dan sekarang aku sedang bertatap muka dengan Tuhan sang penguasa alam semesta raya lengkap dengan seisinya itu. Tuhan duduk di kursi kerajaan yang berlapis —aku tidak tahu, tapi kursi itu berkilauan seperti berlian.
“Duduk,” Tuhan berkata dengan nada ketus.
Suara Tuhan sangat keras dan menggelegar, seperti godam yang menghantam dadaku menembus hingga ke jantung. Seketika detak jantungku berpacu kencang sekali. Pasti jantungku sedang mengalami syok berat menerima perlakuan Tuhan yang sangat tiba-tiba.
“Terima kasih, Tuhan,” kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Padahal yang ingin kukatakan; “Sialan! Kau pikir aku ini apa, pembantumu!”
Ini benar-benar aneh, pikirku. Tentu saja saja aku jadi marah besar, karena selama aku hidup di bumi, aku tidak berbeda dengan raja. Aku yang selalu memberikan perintah, dan belum pernah sekalipun ada yang memerintahku. Jadi aku paling benci kalau diperintah oleh siapapun, tanpa terkecuali Tuhan sekalipun.
“Wahai manusia,” Tuhan menatapku tajam. “Kuminta kau memberikan laporan selama kau hidup di bumi, sekarang juga!”
“Aku sering membohongi rakyatku, aku juga sering menggusur rumah-rumah mereka. Bahkan kalau di antara mereka ada yang berani melawanku, aku selalu dengan senang hati membunuhnya.” Kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Padahal yang ingin kukatakan adalah sebaliknya.
Aneh, aneh, aneh... Setiap kata yang kuucapkan —kata yang keluar dari mulutku berbeda dengan yang sebenarnya ingin kuucapkan. Memang semua perkataan yang keluar dari mulutku itu benar kenyataanya —maksudku itu sungguh-sungguh terjadi dan kulakukan saat aku hidup di bumi. Aku ingin berbohong, karena aku tidak mau Tuhan mengetahui apa saja yang kulakukan sepanjang hidupku di bumi. Tapi kenapa aku tidak bisa?
“Ada lagi yang lainnya?” Mata Tuhan bercahaya sangat menyilaukan.
“Meskipun isteriku banyak, aku juga mempunyai perempuan simpanan dimana-mana. Dan kalau aku belum puas dengan itu semua, aku juga senang memperkosa gadis-gadis ingusan.” Kata-kata itu mengalir bak air sungai yang deras dari mulutku.
“Lainnya…”
Setiap kata yang diucapkan Tuhan seakan berubah menjadi ribuan anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan tak satupun anak panah yang melesat ke arah lain, semua tepat menuju ke arahku, dan menancap ke tubuhku.
“Aku paling senang mabuk dan berjudi. Kalau aku dalam keadaan mabok, biasanya akan keluar ide baru di kepalaku; seperti menghasut orang-orang tolol, atau mengadu orang kampung dengan pengawalku.” Aku benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan ucapanku.
“Apakah kau merasa bahagia?” tanya Tuhan.
“Tentu saja ya!” kata itu keluar dari mulutku dengan sangat cepat. Padahal aku sama sekali tidak sedang mengucapkan sepatah katapun. Aku malah sedang berusaha untuk diam, kata-kata itu keluar dengan sendirinya dari mulutku. Bahkan saat kata-kata itu keluar dari mulutku, nada suaranya terkesan sangat bangga dan gagah.
“Apa yang membuatmu paling bahagia dalam hidupmu?” tanya Tuhan dengan suara lembut.
Tapi suara Tuhan yang lembut itu, seketika berubah seperti cakar yang mengoyak dari dalam tubuhku. Hingga membuat sekujur tubuhku perih bermandikan luka, dan aku pun sangat kesakitan.
Padahal aku sudah berusaha keras untuk konsentrasi tidak memikirkan sepatah katapun, bahkan aku juga sudah membekap mulutku dengan kedua tanganku sendiri. Tapi semua usahaku sia-sia, dan tiba-tiba saja terdengar; “Yang membuatku paling bahagia adalah menyaksikan orang lain SENGSARA !”
Meskipun mulutku tidak bergerak, tapi aku kenal betul dengan suara yang baru saja kudengar itu. Tak lain dan tak bukan, itu adalah suaraku sendiri, dan sama persis dengan yang ada di dalam pikiranku. Semua yang kukatakan kepada Tuhan memang pernah kulakukan ketika aku masih hidup di bumi. Seketika aku pun menyadari tindakanku, ternyata Tuhan tidak bodoh yang kukira, Tuhan tidak bisa aku bohongi. Aku pun segera meratap minta ampun.
Tapi keanehan kembali terjadi padaku. “Ampuni aku Tuhan, dan bawalah aku ke surga.” Padahal kata-kata itu benar-benar memang yang kupikirkan, dan yang ingin kuucapkan, karena aku sudah menyadari kesalahan dan dosaku. Tapi entah kenapa kata yang keluar malah sebaliknya; “Tunggu apalagi Tuhan! Segeralah, Kau siksa aku dengan api neraka.”
“Baiklah…” kata Tuhan pelan.
Dan…
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar