Siang
itu banyak sekali orang-orang melewati jalan di depan rumahku, dari anak-anak
kecil, remaja, ibu, bapak, bahkan kakek dan nenek-nenek. Mereka semua berwajah
merah dan matanya nyalang bagai pisau yang tajam. Apa yang terjadi, pikirku.
Aku pun ikut bergabung dengan mereka. Tapi, aku tidak berani menanyakan kepada
mereka, tentang apa yang sebenarnya terjadi, sebenarnya aku berani, tapi
sebaiknya nanti saja itu kulakukan. Mereka tampak sangat marah, bahkan ketika
mereka berjalan, mereka pun acuh dengan orang yang ada di sebelahnya.
Sesampainya
kami di jalan utama yang menuju pusat kota, kami bertemu dengan rombongan
manusia dari kelompok lain. Jalan pun seketika menjadi lautan manusia. Sekarang
semuanya sudah tampak jelas apa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada yang perlu
kutanyakan lagi kepada mereka. Aku sudah tahu ke mana tujuan mereka, karena aku
melihat beberapa orang membawa spanduk bertuliskan: KAMI RAKYAT BUKAN BUDAK,
KAMI RAKYAT BUKAN SAPI PERAH… Dan ada lagi yang membawa papan dari kayu atau kertas,
bertuliskan: KEMBALIKAN PAJAK KAMI, TURUNKAN HARGA, TURUNKAN HARGA SEMBAKO…
Serta masih banyak lagi spanduk dan papan yang bertuliskan macam-macam protes
lainnya.
Lautan
manusia berwajah merah dan setajam pisau itu berteriak-teriak murka bagai petir
di siang bolong. Tangan-tangan mereka mengepalkan tinju, seakan-akan ingin
menggedor-gedor pintu langit.
Sejujurnya,
aku bangga dengan rakyat di negeri ini, bahkan aku sangat bangga sekali dengan mereka
semua. Perjuangan mereka yang tak pernah padam untuk membebaskan diri dari
belenggu penindasan para pemimpin di negeri ini.
Tapi
kadang-kadang, aku juga kasihan sama rakyat di negeri ini. Mereka sudah
meninggalkan pekerjaan dan segala aktifitasnya demi untuk memperjuangkan nasib.
Tapi hasilnya selalu saja nol, dan nol besar.
Kalau
para pemimpin di negeri ini mempunyai otak dan perasaan, mungkin mereka punya,
tapi mereka tidak bisa memfungsikannya, tentunya mereka akan malu dengan adanya
demonstrasi yang besar-besaran seperti ini. Padahal segala kebutuhan makan dan
fasilitas hidup para pejabat-pejabat negeri ini, asalnya dari pajak uang
rakyat. Tapi entah kenapa, timbal baliknya kenapa mereka malah lupa diri,
menindas, dan memeras rakyat yang telah memberikan kehidupan. Dan itu pun
mereka masih ada juga yang tega korupsi.
Rakyat
diam.
Para
pemimpin di negeri ini makin tidak tahu diri.
Rakyat
berdemonstrasi.
Para
pemimpin di negeri ini tidak juga sadar diri.
Bebal…
kataku dalam hati.
“Maafkan
aku, Saudara-saudara,” kataku kepada orang-orang di sekitarku. “Hari ini aku
tidak bisa ikut dengan kalian. Teruskan perjuangan kita!” Aku
melambai-lambaikan tanganku kepada mereka. Dan mereka pun membalasnya.
Dulu
ketika aku masih muda, aku juga seperti mereka. Tapi sekarang aku tidak kuat lagi
untuk berjalan kaki jauh, apalagi cuaca siang dan terik seperti ini. Tapi
kalian jangan salah sangka, meskipun aku sudah tua, semangatku untuk membela
rakyat yang selalu tertindas oleh para penguasa negeri masih membara dalam
diriku.
Sesampainya
di gapura yang menuju rumahku, aku seperti berada di kota mati. Pintu-pintu
rumah tertutup rapat, sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya. Yang kulihat
hanya ada beberapa anak-anak kecil dengan wajah muram duduk di teras depan
rumahnya.
Sesampainya
di kamarku, ternyata aku pun tidak seluruhnya membawa diriku. Jiwa dan
pikiranku masih tertinggal bersama rakyat yang sedang berjuang membela haknya
yang telah dirampas oleh para penguasa negeri ini. Aku ingat waktu masih muda,
ketika aku ikut berjuang melawan penjajah, membela negeri tercinta ini. Merdeka
negeri ini… tapi entah kenapa setelah negeri ini merdeka, para pemimpin yang
sudah dipercaya rakyat untuk membangun negeri ini malah menjadi lupa daratan.
Mereka sama sekali tidak berpikir dan menyadari, bahwa yang menjadi korban tumpahnya
darah saat membela negeri ini sudah terlalu banyak sekali.
Seharusnya
sekarang rakyat hidup dengan sejahtera, karena sudah terbebas dari segala
bentuk penjajahan. Rakyat sudah bisa hidup bahagia dan damai di negerinya
sendiri. Tapi kenyataannya?
Semakin
lama aku bisa gila, kalau memikirkan penderitaan rakyat yang kian hari semakin
memprihatinkan. Aku tidak tahu, pemimpin dan pejabat-pejabat negeri ini maunya
apa, dan akan dibawa ke mana negeri ini.
Tidak
terasa waktu berjalan cepat sekali, bahkan sekarang hari sudah menjelang malam.
Aku pun sudah mulai mengantuk dan ingin tidur. Namun hingga berjam-jam aku
berbaring di ranjang, aku tetap saja belum bisa tidur. Hanya mataku saja yang
terpejam, tapi pikiranku masih terbayang kepada rakyat yang menderita. Jiwaku
tidak bisa tenang.
Aku
bangun dan beranjak dari ranjang tempat tidur. Kubuka pakaian dan celanaku.
“Sial!” umpat-ku. “Kenapa cuaca menjadi panas begini!” Aku pun telanjang diri,
sambil terus mengomel-ngomel tidak karuan.
Aku
yakin, malam ini cacing tanah dan belatung sedang mengadakan pesta pora. Mereka
sedang membuat api unggun di bawah tanah, sambil membakar daging orang-orang yang
mati akibat ditembus peluru waktu berdemonstrasi tadi siang.
Ini
terbukti kamarku sekarang panas sekali.
*
* * * *
Asikk juga baca short story nya....keep it up
BalasHapusThanks, hopefully I can do better, and better...
BalasHapus