Minggu, 19 Februari 2012

Suatu malam di kamarku


Siang itu banyak sekali orang-orang melewati jalan di depan rumahku, dari anak-anak kecil, remaja, ibu, bapak, bahkan kakek dan nenek-nenek. Mereka semua berwajah merah dan matanya nyalang bagai pisau yang tajam. Apa yang terjadi, pikirku. Aku pun ikut bergabung dengan mereka. Tapi, aku tidak berani menanyakan kepada mereka, tentang apa yang sebenarnya terjadi, sebenarnya aku berani, tapi sebaiknya nanti saja itu kulakukan. Mereka tampak sangat marah, bahkan ketika mereka berjalan, mereka pun acuh dengan orang yang ada di sebelahnya.
Sesampainya kami di jalan utama yang menuju pusat kota, kami bertemu dengan rombongan manusia dari kelompok lain. Jalan pun seketika menjadi lautan manusia. Sekarang semuanya sudah tampak jelas apa yang sesungguhnya terjadi, tidak ada yang perlu kutanyakan lagi kepada mereka. Aku sudah tahu ke mana tujuan mereka, karena aku melihat beberapa orang membawa spanduk bertuliskan: KAMI RAKYAT BUKAN BUDAK, KAMI RAKYAT BUKAN SAPI PERAH… Dan ada lagi yang membawa papan dari kayu atau kertas, bertuliskan: KEMBALIKAN PAJAK KAMI, TURUNKAN HARGA, TURUNKAN HARGA SEMBAKO… Serta masih banyak lagi spanduk dan papan yang bertuliskan macam-macam protes lainnya.
Lautan manusia berwajah merah dan setajam pisau itu berteriak-teriak murka bagai petir di siang bolong. Tangan-tangan mereka mengepalkan tinju, seakan-akan ingin menggedor-gedor pintu langit.
Sejujurnya, aku bangga dengan rakyat di negeri ini, bahkan aku sangat bangga sekali dengan mereka semua. Perjuangan mereka yang tak pernah padam untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan para pemimpin di negeri ini.
Tapi kadang-kadang, aku juga kasihan sama rakyat di negeri ini. Mereka sudah meninggalkan pekerjaan dan segala aktifitasnya demi untuk memperjuangkan nasib. Tapi hasilnya selalu saja nol, dan nol besar.
Kalau para pemimpin di negeri ini mempunyai otak dan perasaan, mungkin mereka punya, tapi mereka tidak bisa memfungsikannya, tentunya mereka akan malu dengan adanya demonstrasi yang besar-besaran seperti ini. Padahal segala kebutuhan makan dan fasilitas hidup para pejabat-pejabat negeri ini, asalnya dari pajak uang rakyat. Tapi entah kenapa, timbal baliknya kenapa mereka malah lupa diri, menindas, dan memeras rakyat yang telah memberikan kehidupan. Dan itu pun mereka masih ada juga yang tega korupsi.
Rakyat diam.
Para pemimpin di negeri ini makin tidak tahu diri.
Rakyat berdemonstrasi.
Para pemimpin di negeri ini tidak juga sadar diri.
Bebal… kataku dalam hati.
“Maafkan aku, Saudara-saudara,” kataku kepada orang-orang di sekitarku. “Hari ini aku tidak bisa ikut dengan kalian. Teruskan perjuangan kita!” Aku melambai-lambaikan tanganku kepada mereka. Dan mereka pun membalasnya.
Dulu ketika aku masih muda, aku juga seperti mereka. Tapi sekarang aku tidak kuat lagi untuk berjalan kaki jauh, apalagi cuaca siang dan terik seperti ini. Tapi kalian jangan salah sangka, meskipun aku sudah tua, semangatku untuk membela rakyat yang selalu tertindas oleh para penguasa negeri masih membara dalam diriku.
Sesampainya di gapura yang menuju rumahku, aku seperti berada di kota mati. Pintu-pintu rumah tertutup rapat, sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya. Yang kulihat hanya ada beberapa anak-anak kecil dengan wajah muram duduk di teras depan rumahnya.
Sesampainya di kamarku, ternyata aku pun tidak seluruhnya membawa diriku. Jiwa dan pikiranku masih tertinggal bersama rakyat yang sedang berjuang membela haknya yang telah dirampas oleh para penguasa negeri ini. Aku ingat waktu masih muda, ketika aku ikut berjuang melawan penjajah, membela negeri tercinta ini. Merdeka negeri ini… tapi entah kenapa setelah negeri ini merdeka, para pemimpin yang sudah dipercaya rakyat untuk membangun negeri ini malah menjadi lupa daratan. Mereka sama sekali tidak berpikir dan menyadari, bahwa yang menjadi korban tumpahnya darah saat membela negeri ini sudah terlalu banyak sekali.
Seharusnya sekarang rakyat hidup dengan sejahtera, karena sudah terbebas dari segala bentuk penjajahan. Rakyat sudah bisa hidup bahagia dan damai di negerinya sendiri. Tapi kenyataannya?
Semakin lama aku bisa gila, kalau memikirkan penderitaan rakyat yang kian hari semakin memprihatinkan. Aku tidak tahu, pemimpin dan pejabat-pejabat negeri ini maunya apa, dan akan dibawa ke mana negeri ini.
Tidak terasa waktu berjalan cepat sekali, bahkan sekarang hari sudah menjelang malam. Aku pun sudah mulai mengantuk dan ingin tidur. Namun hingga berjam-jam aku berbaring di ranjang, aku tetap saja belum bisa tidur. Hanya mataku saja yang terpejam, tapi pikiranku masih terbayang kepada rakyat yang menderita. Jiwaku tidak bisa tenang.
Aku bangun dan beranjak dari ranjang tempat tidur. Kubuka pakaian dan celanaku. “Sial!” umpat-ku. “Kenapa cuaca menjadi panas begini!” Aku pun telanjang diri, sambil terus mengomel-ngomel tidak karuan.
Aku yakin, malam ini cacing tanah dan belatung sedang mengadakan pesta pora. Mereka sedang membuat api unggun di bawah tanah, sambil membakar daging orang-orang yang mati akibat ditembus peluru waktu berdemonstrasi tadi siang.
Ini terbukti kamarku sekarang panas sekali.

* * * * *


2 komentar:

  1. Asikk juga baca short story nya....keep it up

    BalasHapus
  2. Thanks, hopefully I can do better, and better...

    BalasHapus